Udah! Berhenti! Cukup-cukup!" Farah berteriak menggebrak meja makan sembari menangis menatap kedua orang tuanya.
Farah menangis hebat menatap kedua orang tuanya yang bertengkar hanya karena dia. Ia tak tahu jika respon papanya akan seperti itu. "Habiskan makanmu dan kembali belajar!" perintah Ansel menuding, menatap tajam pada Farah.
"Ansel!" bentak Cantika yang terus menyuruh Farah untuk belajar. Cantika kembali menatap Farah yang langsung melanjutkan makannya dengan terburu-buru hingga mulutnya penuh. "Pelan-pelan, Sayang, pelan-pelan makannya." Cantika ikut menangis melihat Farah yang tergesa-gesa dan gemetaran saat menyendokkan makanan ke dalam mulut. Ia memberi gelas berisi air putih untuk Farah minum. Takut jika anaknya akan tersedak.
Ansel berdiri diam menatap Farah, napasnya terengah setelah beradu mulut dengan Cantika. Ia menunduk dan kembali menatap Farah. "Aku udah selesai. Jangan bertengkar lagi kayak tadi sama mama." Gadis itu beranjak dengan tubuh yang masih gemeteran menuju kamar.
Cantika menatap khawatir pada Farah lalu menatap nyalang pada Ansel. "Tolong! Hentiin pikiran kamu yang nyuruh Farah belajar dan belajar terus! Aku tahu kamu nyuruh Farah begitu karena kamu mau yang terbaik buat anak kamu ... tapi, setelah aku perhatikan kamu makin menjadi-jadi sama jam belajar Farah!" Cantika menuding Ansel geram, ia sudah lama ingin berbicara berdua dengan Ansel dan baru hari ini dia bisa mengeluarkan apa yang ingin dia bicarakan.
"Bukan cuma buat kebaikan Farah juga, hasil nilai yang bagus pun bisa mempermudah dia untuk masuk ke jenjang perguruan tinggi dengan mudah, Tika." Ansel tetap dengan argumen yang menurutnya benar.
"Tapi, nggak dengan memforsir Farah belajar terus-menerus! Dia butuh istirahat dan main seperti temen-temennya!" Cantika maju beberapa langkah menuding Ansel beberapa kali, menatap suaminya melotot merah.
"Kamu nggak tahu ...." Belum selesai Ansel berbicara, Cantika menampar keras pipinya. Ia menaikkan dagunya, menatap nyalang Ansel. "Aku harap setelah ini kamu sadar dengan tingkah kamu!" Cantika meninggalkan ruang makan, membiarkan apa yang ada di meja makan tergeletak di sana.
***
Di dalam kamar, Farah menangis kembali, ia terisak keras serta menutup kedua telinganya rapat-rapat ketika mendengar kembali pertengkaran kedua orang tuanya karena dia sendiri. Farah meremas buku-buku yang ada di depan melampiaskan amarah yang tertahan.
Farah tahu jika ibunya diam-diam menyuruh dia untuk istirahat sejenak saat ia sedang belajar. Namun, tak disangka jika ibunya juga tak setuju dengan jam belajar Farah yang semakin hari semakin menggila.
Jujur saja, Farah pun kerap kali merasa pusing menatap buku, tulisan-tulisan yang selalu saja dia lihat. Ia hanya ingin istirahat selama satu jam atau setidaknya izinkan saja dia untuk sekadar refreshing tidak perlu sampai sehari. Satu atau dua jam saja sudah sangat cukup bagi Farah. Namun, melihat respon ayahnya tadi saat dia meminta untuk sekadar jalan-jalan, ia jadi sanksi jika dia akan diizinkan.
Suara tamparan yang sangat terdengar keras membuat Farah membeku di tempat. Pikirannya mulai memikirkan hal yang tidak-tidak. Apakah ibunya ditampar oleh ayahnya atau adakah sesuatu yang mau memberitahu keadaan di luar. Dia ingin sekali segera keluar, melihat kondisi kedua orang tuanya, tetapi Farah terlalu takut dengan ayahnya.
Farah berteriak tertahan. Ia menjambak helai rambutnya merasa frustrasi. Tatapnya meliar menatap ke sana ke mari lalu tatapnya tertegun ketika melihat benda silet itu berada di meja. Pikirannya semakin tak menentu, ia seakan mendengar bisikan-bisikan untuk segera mengambil benda itu. Melakukan sesuatu hal dengan benda itu.
Entah bagaimana, Farah sudah memegang benda itu di tangan sembari terkekeh kecil. Detik selanjutnya, ia menatap darah berlomba keluar dari pergelangan tangan. Biarlah kali ini dia melakukan tindakan bodoh agar ia bisa beristirahat sejenak saja tanpa harus membuat kedua orang tuanya saling bertengkar satu sama lain.
***
Hari semakin malam. Cantika yang berada di kamar tidur bergerak gelisah di atas ranjang. Mendadak dia diserang perasaan cemas dan gelisah memikirkan Farah. Ia memutuskan untuk menengok sebentar menuju kamar putrinya. Ansel sedang berada di ruang kerjanya setelah dia menampar keras pipinya.
Langkah Cantika terkesan terburu-buru menuju kamar Farah. Ia harus memastikan jika Farah baik-baik saja di dalam. Entah sudah tertidur atau sedang belajar, ia harus melihat Farah terlebih dahulu.
Cantika merasa gugup setelah sampai di depan pintu kamar putrinya. Ia membuka secara perlahan pintu kamar tersebut. Lampu dalam kamar terlihat menyala terang. Namun, ia tak menemukan Farah di ranjang. Cantika semakin masuk dan menjerit histeris mendapati anaknya tergeletak dengan darah yang menggenang.
"Ansel! Mas!" jerit Cantika memanggil suaminya. Ia berjongkok menepuk-nepuk pelan pipi Farah. Cantika berusaha mencari kain untuk menutupi pergelangan tangan Farah yang berdarah.
"Farah, Sayang! Nak, bangun, nak!" seru Cantika yang kepalang panik. "Ansel!" jeritnya lebih keras, ia beranjak meninggalkan Farah dengan tangis yang kembali pecah menghampiri sang suami ke ruang kerja dengan berlari.
Ia membuka pintu ruang kerja tersebut kasar dan memanggil Ansel dengan keras. "Ansel! Farah, Ansel!" pekik Cantika yang membuat Ansel terkejut dengan kedatangan tiba-tiba Cantika. Terlebih lagi, ia melihat Cantika menangis keras. Cepat, dia mengikuti langkah Cantika menuju kamar Farah dan langkahnya sontak berhenti.
Tubuhnya membeku melihat putrinya tergeletak di lantai dengan genangan darah yang mengelilingi tubuh Farah. "Ansel! Cepat gendong dia! Kita ke rumah sakit!" Ansel seakan tersadar, dia langsung membopong tubuh Farah. Berlari menuju mobil diikuti Cantika yang tergesa-gesa menuju kamar tidurnya terlebih dahulu. Ia mengambil dompet dan cardigan panjang untuk menutupi baju tidurnya.
Segera Cantika duduk di bangku belakang menemani Farah sembari membetulkan letak kain agar tidak terlalu banyak mengeluarkan darah. Ansel mengendarai mobilnya cepat, mengklakson kendaraan yang menghalangi jalan mobilnya.
Sekitar dua puluh menit, mobil Ansel baru saja sampai menuju rumah sakit. Laki-laki itu bergegas keluar dari mobil, ia membuka pintu belakang menggendong Farah menuju UGD untuk segera ditangani.
Baik Ansel dan Cantika, kini mereka duduk menunggu dengan harap cemas pada putri mereka. Cantika menangis dalam diam. Merasa gagal menjadi ibu hingga putrinya melakukan bunuh diri. Tangis yang tadi dia pendam, kini menjadi terdengar hingga membuat Ansel menoleh.
Ia merengkuh tubuh istrinya yang malah membuat Cantika menangis pilu. "Anak kita gimana, Mas? Farah bakal baik-baik aja, kan?" Pertanyaan yang sangat menyayat hati bagi Ansel. Ia bungkam tak bisa menjawab pertanyaan Cantika. Dalam hati dia hanya bisa merapalkan doa agar putrinya baik-baik saja di dalam.
Ansel menatap pada pintu UGD yang tak kunjung terbuka. "Papa minta maaf, Nak, untuk kesalahan, Papa. Papa tau kamu kuat di dalam."
NAAHH LHOO! 😱
Kasih komen kalian denganchapter ini gess 💃✨
Btw, happy 1500 view 😭💖AAKHHH! Aku ucapkan terima kasih banyak yg sampai sekarang masih mengikuti TTM 🥹😘 terima kasih banyak kalian masih kawal GilngVia sampai saat ini 💖
EEHH! Emang ada yg dukung kapal GilangVia? 😂 Okee, next chapter bakal ketemu sama mereka okee 😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Tetangga Tapi Mesra
Teen Fiction[CERITA INI DIIKUTKAN DALAM EVENT GREAT AUTHOR FORUM SSP X NEBULA PUBLISHER] "Jangan membenci seseorang terlalu dalam. Soal perasaan nggak ada yang tau ke depannya akan gimana. Awas nanti bisa berubah jadi cinta lho!" Mungkin kalimat itu sudah serin...