Canggung.
Hanya itu yang aku rasakan sepanjang perjalanan pulang, aku sedang memikirkan kira-kira topik apa yang bisa aku pilih untuk sekedar mengusir kesunyian ini.
"Lain kali, kamu jangan sembarangan gitu dong Sam." inisiatif itu datang dari Jaka, agaknya Samsul sudah lebih tenang.Lain Ozi yang tertidur dalam pelukanku, aku duduk di kursi depan, tak berani menoleh pada sosok diselebahku, di kursi kemudi.
"Damar, maaf ya, gara-gara Samsul-"
"Nggak usah dibahas sekarang, gue nggak masalah kok, lagian malam ini kita lumayan seneng-seneng." Meskipun berujung chaos, kataku dalam hati, melanjutkan kata-kata Damar yang seharusnya tidak masalah kalau ia benar-benar menyampaikannya.
"Salah kita juga sih main ninggalin mereka gitu aja, tanpa mikir kemungkinan si Samsul buat onar." Janeta menoyor kepala Samsul, anak ini benar-benar tak tahu takut, ia cuma bisa garuk-garuk kepala karena merasa malu.
"Maafin saya ya Om, sumpah, kalau nggak keburu ketoilet, saya udah ngompol." akhirnya suasana kembali normal, ocehan menyebalkan Samsul ternyata bisa mencairkan suasana.
***
Gara-gara kejadian malam ini, aku teringat sesuatu, pengalaman yang membuatku yakin kalau sebenarnya, keberadaanku dipandang sebelah mata oleh Papa. Aku pernah hilang, hanya beberapa menit.
Saat itu, Papa dan Mama masih akur, mereka suka mengajakku untuk datang ke pasar minggu, pasar yang cuma buka di akhir pekan, biasanya aku merengek minta diajak kesana karena ingin membeli ikan hias. Aku ingat betul, saat baru memarkirkan motor, Papa sempat berbasa basi dengan salah satu kenalannya yang kebetulan juga mampir ke pasar minggu, jenuh menunggu, aku yang baru seumuran Samsul saat itu nekat berjalan sendirian untuk mencari pedagang ikan hias langgananku.
Aku kebingungan setengah mati saat aku menyadari, papa dan mama tidak bisa ku lihat dari jarak pandangku, aku berusaha tenang saat itu, namun semakin aku berjalan, semakin terasa asing lingkungan pasar minggu bagiku, hingga akhirnya aku mulai merengek, dan orang-orang iba padaku dan menanyakan dimana orang tuaku.
Tak lama, Mama yang lebih dulu menemukanku dan segera memelukku penuh syukur. Sementara Papa cuma sibuk memakiku, sambil sesekali menakut-nakutiku seandainya aku benar-benar di culik. Tidak ada sorot mata bersyukur, apalagi lega begitu mereka berhasil menemukanku.
Hubunganku dan papa bahkan jauh lebih buruk sekarang.
***
"Ayo turun Net, kok malah bengong."
"Eh iya,sorry." Diluar hujan deras, bahkan aku tidak sadar sejak kapan rintik hujan turun dan membasahi kaca mobil.
"Ozi mau ikut mbak Julia." anak itu terbangun dan merengek, tidak mau melepas pelukannya dariku.
Aku melirik Damar yang berusaha memisahkan tangan-tangan kecil anaknya dari lenganku, namun Ozi malah tambah mengerang dan tidak mau melepasku.
"Gue ikut aja deh sampai apartment, nanti bisa pesen taksi online buat pulang."
"Nah ide bagus, kayaknya Ozi masih ketakutan," Ujar Janeta, "Kalo gitu kita balik dulu, thanks ya, Damar, tumpangannya." Ia segera keluar dari mobil, berbekal payung kecil yang sebenarnya hanya cukup untuk satu orang. Jaka menarik jaketnya diatas kepala, untuk melindunginya dari deru air hujan.
lagi-lagi canggung. Ozi sudah jatuh tidur lagi, meninggalkan aku dan Damar dalam kesunyian, hanya terdengar bulir-bulir air hujan yang menabrak keras kap mobil.
terdengar suara ponsel berdering, saru diantara bunyi hujan, ponsel Damar tergeletak begitu saja di sebuah kotak kecil yang memisahkan kedua jok depan, nama Fenna tertera disana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Take A Chance With Me
RomanceJadi guru privat untuk anak tunggal seorang duda kaya raya? itu tidak pernah ada dalam agenda hidupku.. Selain itu, aku masih punya agenda khusus untuk menemukan manusia jahanam yang menyelipkan DVD bokep di hari pertamaku kerja! Namun aku tidak per...