23 | Kejujuran

187 11 0
                                    

Sangga yang menelponku kemarin malam, mengabariku bahwa ia memutuskan untuk menurunkan karyaku dari galerinya, meskipun ia sudah mendengar cerita lengkapnya dari Damar, ia tidak bisa melakukan apapun, ini demi nama baikku, dan nama baikknya.

"Lo seriusan nggak mau dateng? lo beneran sakit nggak sih?" Janeta menempelkan jemarinya di dahiku, tentu saja aku berbohong.

"Gue sakit kepala Net, ngapain lo nemplokin tangan di dahi gue, emang kerasa?" Ia mendengus, lanjut memasang anting-anting.

"Gue nggak tau apa yang terjadi diantara kalian berdua, tapi ini hari spesial buat Ozi, dan gue juga tau lo cuma gimick." kadang aku menyesal memiliki sahabat yang lebih tau aku dibanding diriku sendiri.

"Gue dicium Damar."

"What!!!" Janeta melempar brush make upnya dan beringsut disebelahku.

"Kapan? kemarin? kok bisa ? kalian udah jadian? jadi beneran duda kaya dan tampan itu naksir sama lo?"

"Duh Net, ini tuh nggak seindah yang lo pikirin, kita itu nggak pernah ngobrol seintens itu, apa gue sehaus itu sama laki-laki? arghh gue rasa yang bertindak kemarin itu cuma birahi gue doang!"

"Lee, dengerin gue, cinta sama birahi itu udah jadi satu paket! kalau dia senekat itu, itu artinya dia udah nggak mampu buat nahan diri untuk nggak milikin lo!"

Aku menyibak selimut dan menyembunyikan diri di dalamnya, aku tidak ingin memikirkan apakah yang dikatakan Janeta itu sebuah fakta, tapi aku benci mendengarnya.

"Lo pilih gue nyampein ke Damar atau lo yang mau bilang sendiri."

"Dia juga ngerti Net kalau gue lagi sakit."

"Bukan soal sakit, tapi soal isi hati lo." Aku melonjak bangun, menghampiri Janeta dengan kecepatan seribu langkah sebelum anak itu pergi.

"Please, Net!"

"10 menit gue tungguin di depan."

***

"Selamat ulang tahun ya, Zi." Samsul, yang hari ini kelihatan super cool dan klimis menyodorkan hadiah pada Ozi, hadiah yang ia beli hasil dari todongannya pada Jaka.

Ozi menerimanya dengan senang hati, wajahnya berseri-seri. Aku mencuri pandang ke arah Damar, ia terlihat tenang,  tak henti tersenyum, kalau mengingat pertama kali aku bertemu sosoknya yang kaku, ia memang banyak berubah sejak saat itu.

"Nah ini kado dari bang Jaka, sama mbak Janet."

"Makasih ya bang, mbak." Ozi memeluk Jaka dan Janeta bergantian, entah kenapa aku tiba-tiba merasa terharu, teringat Gio di hari ulang tahunnya saat keluargaku masih lengkap dan harmonis.

"Mbak Julia kenapa bengong?" Aku mengelus rambut Ozi yang tiba-tiba menghampiriku, aku sudah memberi kado untuknya saat pertama kali datang, karena anak itu langsung berlari kearahku dan memelukku untuk alasan senang karena aku datang.

Namun aku belum menyapa Damar sejak pertama kali sampai, ia juga terlihat canggung dan berusaha untuk tidak melihat ke arahku, apa yang kami lakukan tadi malam itu benar-benar semu, aku mengingatnya dengan jelas, itu membuat hatiku menghangat, tapi hubungan kami tak lebih dari teman biasa, jauh lebih baik di bandingkan hubungan antara guru privat dan orang tau dari anak yang aku ajari.

"Mbak lagi kangen Gio, liat kamu bikin mbak kepikiran sama dia."

"Kenapa nggak diajak aja mbak?" tentu saja tidak mungkin, bahkan belakangan ini Gio tidak pernah menjawab telponku lagi, aku yakin itu bukan karena keinginannya, tapi aku harap anak itu baik-baik saja untuk saat ini.

"Ayo, acaranya udah mau mulai." Bu Nam memanggil kami, kebetulan panti asuhan ini adalah panti asuhan yang diceritakan Ozi kapan lalu padaku, tempat Bu Nam di besarkan.

Take A Chance With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang