17 | Tenang

204 10 0
                                    

Damar meninggalkan aku di mobil sendirian, sambil meluapkan segala kekesalanku, dia laki-laki yang cukup peka ternyata, membiarkan aku membuncahkan sisa air mataku, hingga nyaris membuatku kesulitan bernafas. 

Tak lama aku tertidur karena kelelahan menangis, aku juga sering begini kalau di kost, menangis tak tau waktu hingga tertidur dan terbangun dalam keadaan kepala pusing tak karuan. 

"Julia.."

"Ehm.." Aku mengerjap, hari sudah gelap, dan kepalaku benar-benar pening.

"Samsul!, aduh, dia masih di apart ya?"

"Udah tenang aja, dia aman kok, udah dianterin ke rumah." 

Aku lega mendengarnya, tapi kepalaku benar-benar berdenyut hebat, sial, aku makin merasa bersalah pada Damar.

"Sorry ya, padahal ini hari libur lo." 

"Santai aja, lo mau nemenin gue makan? lo juga pucet banget, kita beli obat dulu ke apotek." 

"Nggak perlu, gue selalu bawa obat kok kemana-mana." 

"Lo mau makan apa?" 

"Kan lo yang mau makan, kenapa nanya ke gue?"

"Gue ada tempat yang selalu gue datengin kalau lagi sedih, lo mau kesana?"

"Tunggu, kayaknya gue mau pulang aja deh, hari ini gue udah cukup ngerepotin, lagian kasihan Ozi sendirian." Aku meneguk obat penenang yang selalu terselip di dalam tas kecilku. Sekarang aku bisa berpikir jernih, aku harus mengingatkan diri sekali lagi, aku bukan siapa-siapa bagi Damar. 

"Ozi udah tidur, dan gue nggak pernah ngerasa di repotin." Aku tidak sadar kalau sejak tadi mobil Damar numpang parkiran mini market, apa aku sepulas itu sampai tidak sadar kami sudah jauh dari rumah sakit. 

Waktu selalu berjalan cepat kalau aku berada di dekat laki-laki ini, karena tak lama aku dan Damar akhirnya sampai di kafe kecil yang cukup jauh dari kota, bisa dibilang daerah yang belum banyak bangunan tinggi, hanya ada beberapa rumah warga yang kami lewati dan banyak perkebunan sepanjang jalan. Damar bilang ini daerah perbukitan, tempat semua orang dulunya berasal.

"Kafe ini punya sepupu gue, memang kecil tapi makanannya enak semua, ayo." menyadari aku hanya menggunakan kaos, dan diluar cuaca menusuk tulang, Damar memaksaku memakai sweater miliknya, aromanya sama dengan jas yang kapan lalu ia pinjamkan untukku.

"Lo nggak kedinginan?" 

"Aman, tiap minggu gue selalu rutin icebath, jadi gue suka cuaca kayak gini." 

"Aneh," Gumamku. 

Ia hanya terkekeh, "Ozi juga bilang hal yang sama waktu mergokin gue mandi pakai es batu." ini pertama kalinya aku melihat senyumnya yang tenang, seakan-akan beban yang belakangan ini tersirat diwajahnya terangkat. 

aku mengekor di belakang Damar, memasuki kafe bernuansa homie  beraroma orange yang menenangkan tercium di seluruh bagian kafe. 

"Mas Damar! tumben banget kesini, lagi sedih ya?" Sosok laki-laki bertubuh pendek menghampiri kami, ia memakai celmek dan berkeringat meskipun cuaca sedingin ini. 

"Lo habis ngapain? kucel banget."

"Habis mindahin mesin kopi, kafenya habis di rombak, kita punya rooftop sekarang." 

"Keren!" 

"Yang ini beda nih sama Fenna, pacar baru?"

"Wuss, ngomong jangan sembarangan." 

"Ini Julia," aku menyalami uluran tangan laki-laki itu.

"Sena, owner kafe ini." 

"Siap si paling owner." ejek Damar, membuat Sena tersipu. 

Take A Chance With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang