27 | Take a chance with me

242 14 2
                                    

Damar menyuguhkan teh chamomile di atas meja balkon. Ia tau keberadaanku dari instastory Sena, sesaat sebelum pementasan monolog tadi dimulai, anak itu memang sempat mengajakku foto bareng, berkedok kenang-kenangan.

Entah bagaimana ia tiba-tiba muncul di sebelahku, aku bahkan tidak menyadarinya kapan ia menggantikan Sena disana. Aku terlalu hanyut dalam pementasan itu, terlalu hanyut dalam pikiranku yang melayang jauh, mengingat kenangan dulu dimana aku merasa menjadi anak paling spesial karena keberadaan seorang ibu di sebelahku.

"Lo baik-baik aja? Lo mau makan sesuatu? kata Janeta, kalau lo lagi sedih, biasanya bisa seneng lagi kalau makan." aku tersenyum mendengar perhatiannya, namun aku menggeleng pelan untuk tawarannya. informasi itu tidak salah, aku memang suka menghabiskan waktu sambil makan kalau sedang sedih, namun jangankan makan, merasa lapar pun aku tidak, rasanya rongga kosong yang kini makin ku sadari keberadaannya dalam hidupku, membuatku kehilangan semangat untuk melakukan apapun.

"Gue harus cari Gio." hatiku terasa pedih lagi mengingat sosok kecil itu, aku merindukannya, melihat kedua mata miliknya sama saja seperti menatap ibuku, menenangkan.

"Memang Gio kemana?"

"Papa bawa dia pergi, pindah, nggak tau kemana." Ia terdiam, menatapku penuh iba.

"Gua bakal bantu, tenang aja."

"Thanks."

"Tapi untuk saat ini, boleh gue mohon satu hal ke lo?"

"Apa?"

"Gue nggak bakal minta sesuatu dari lo, gue cuma pengen lo lebih mentingin diri lo sendiri," aku tertegun, aku pikir selama ini aku sudah cukup egois. Meninggalkan keluarga sendiri dengan Gio di dalamnya, itu sudah lebih dari kata mementingkan diriku sendiri.

"Gue selalu begitu kok, gue selalu mentingin diri gue sendiri, gue ini egois." Aku menunduk, menahan diri agar tidak tersedu.

"Kalau gitu, lo harusnya nggak perlu khawatir mengenai hal ini, Gio sama papanya, dia nggak mungkin disakitin kan?"

"Lo udah boleh dewasa, Julia."

Damar tak henti menatapku, aku juga tak akan bisa berhenti untuk mendengarkannya.

"Lo udah boleh memutuskan apapun tanpa rasa takut, lo udah bebas buat menjalani kehidupan yang lo mau, dan apapun yang lo lakukan, buktikan ke diri lo sendiri lebih dulu, semuanya bakal lebih mudah. Trust me." Semua kalimatnya, benar-benar membuatku tersadar, kalau selama ini hal yang membuat semuanya terasa berat adalah kehausanku akan validasi, aku selalu berusaha mati-matian untuk membuktikan sesuatu kepada papa, menunjukkan pada beliau kalau aku mampu.

Aku lupa pada tujuan besarku, pada mimpi utamaku, mungkin kalau aku lebih fokus pada hal itu, papa akan merasa bangga dengan sendirinya.

"Lo bener, thanks udah ngingetin gue soal ini."

"Dan mulai sekarang, tolong kasih gue kesempatan buat ada disana, buat gue ada disetiap cerita hidup lo." Caranya memohon membuat hatiku berontak hebat. Jemari tangannya yang hangat mengelus punggung tanganku dengan lembut.

"Ini bukan soal kita aja, mungkin Ozi udah setuju, tapi ibu lo, keluarga lo?" Tanpa ragu aku membuka semua ketakutanku jika aku benar-benar menjalin hubungan dengannya.

Ia tersenyum simpul, saat aku akhirnya menyesap sedikit teh hangat yang kami abaikan sejak awal pembicaraan ini dimulai.

"Soal restu mama itu urusan gue, dia nggak berhak mengatur kalau memang hati gue ternyata jatuh ke lo, Julia." Ucapan yang sama sempat dilontarkan Randi saat pacaran denganku dulu, restu kami terhalang kakak perempuannya yang amat sangat tidak menyukaiku karena kondisi keluargaku yang menurutnya akan membuatku buta soal bagaimana membangun keluarga yang harmonis.

"Bukan cuma soal restu, gue masih belum yakin buat terikat hubungan sama laki-laki, dan gue nggak mau keraguan gue nantinya bisa nyakitin lo." Damar menatapku dalam, mata indah dan tenang itu tertuju ke arahku, seakan akan sedang mengatakan kalau ketakutanku itu tak berarti apa-apa untuknya.

"Julia, setiap orang berhak dapat kesempatan." Aku menatapnya balik, kali ini menimbang kata-kata yang penuh keyakinan itu.

"Gue punya perasaan yang sama, tapi gue juga takut." Damar menarik kursi miliknya dan duduk tepat disebelahku, ia mengelus tengkukku, dan lagi-lagi menatapku sendu, kali ini aku jauh di dalam hati, benar-benar munafik kalau aku bilang aku tidak menginginkannya.

"Semakin lo takut, semakin yakin gue buat perjuangin lo." Ia menarikku lebih dekat, aku luluh.

Cuaca memang tidak bisa di tebak, hujan tiba-tiba turun dengan deras dan menyebabkan tempias yang membuat kami berdua setengah kebasahan.

Kami berlari kecil ke dalam apartment, kemudian terbahak, Damar memelukku sembari mengusap pipiku yang dipenuhi tetesan air.

"Can i ask you again, Julia?"

"Yes?"

"Randi pernah nyentuh lo?" Tubuhku meremang mendengar pertanyaan konyolnya.

"Gue nggak mahir, atau mungkin dia juga sama." Jawabku, malu, sambil melingkarkan tangan di pinggangnya.

"But im a professional, so can i have you?" Ia mencium keningku begitu lama, hingga rasanya aku terhanyut ke dalam suasana yang belum pernah tersentuh oleh naluriku sebelumnya.

Perlahan tapi pasti, kini aku merasakan hangatnya hembusan nafas miliknya beradu dengan milikku, ia menciumku teramat lembut, perlahan dan begitu teratur. ia mulai menempatkan bibirnya di setiap jengkal tubuhku. Kini aku mengerti, kenapa Janeta selalu mengajariku terang-terangan soal tabiat lain yang dimiliki oleh laki-laki. Yang bisa membuatnya terlihat berbeda dan menjadikan hal ini sebagai alasan untuk jatuh lebih jauh.

Ponsel di saku celananya berdering, membuat kami tersentak sesaat, aku tidak sadar kapan ia membawaku hingga masuk ke kamarnya. Damar menerima telepon sambil mendorongku hingga tubuhku bersender di pintu. Kemudian mengisyaratkan untuk diam dengan menaruh telunjuknya di bibirku.

"Ya bu nam? Ada apa?" Aku sedikit bersyukur mengetahui siapa yang menelpon.

"Hari ini nggak usah datang, Ozi lagi di rumah mama, saya juga-" ia menatapku sebelum melanjutkan.

"Sibuk, saya lagi pengen home workout hari ini," Damar tersenyum jahil, sambil tak henti mengelus rahangku.

Untuk pertama kalinya, aku rasa ada satu hal yang mungkin bisa membuatku merasa jika aku benar-benar diinginkan. Bagaimana Damar selalu berdiri tanpa menghakimi setiap tindakan atau mimpi-mimpiku.

Kehadirannya sebagai sosok laki-laki, yang awalnya tak ada bedanya dari lelaki manapun, aku mulai menaruh harapan lagi, pada mahluk yang dulunya sangat aku ragukan keberadaannya.

Sungguh lucu cara Tuhan mempertemukanku dengannya, dan baru aku sadari betapa indahnya cara kami saling jatuh satu sama lain, mungkin aku terdengar munafik, namun ada hal-hal yang pertama kali aku rasakan yang justru membuatku bisa kembali percaya akan hal sangat aku ragukan.

Walaupun hal itu bukan sesuatu yang istimewa, meskipun orang itu adalah Damar, ayah dari seorang anak laki-laki yang membuat kisah kami dimulai, yang membuat lembar-lembaran kosong kisahku selanjutnya terisi.

Dan meskipun hati yang sedang ia coba raih dipenuhi luka, dan hati yang aku yakini bisa memberinya cinta kehilangan banyak cinta.

Kami saling memberi kesempatan, setidaknya itu yang kami yakini.

Tamat.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 06 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Take A Chance With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang