21 | Rencana-rencana

196 8 0
                                    

"Ozi nggak mau perayaan apapun mbak." 

"Loh kenapa?" Disela-sela kesibukanku memberi Ozi les, aku berusaha untuk menjalankan misi menolong Damar memata-matai anaknya sendiri. 

"Banyak anak kecil diluar sana yang nggak seberuntung Ozi, nggak adil kan buat mereka, Ozi juga nggak mau bahagia sendirian." aku tidak tau bagaimana caranya merespon ucapan bijak dari anak sekecil Ozi, jauh lebih mungkin untuk menjabani semua rengekan Samsul yang sering meminta hal-hal di luar nalar, layaknya anak kecil pada umumnya. 

Andai Damar disini, dan ia bisa mendengar semua ucapan anaknya yang selalu membuatku lebih sering terpesona pada anaknya dibandingkan Damar sendiri. 

"Perayaan ulang tahun itu bukan cuma tentang kebahagian kamu aja loh Zi, ini juga tentang rasa syukur dari orang-orang disekitar kamu." 

"Kalau lebih banyak orang yang bersyukur karena ulang tahun Ozi, itu lebih baik kan mbak? ehmm, kalau boleh Ozi pengen banget kasih hadiah ke adik-adik Bu Nam di panti asuhan." 

"Kamu pernah ke panti asuhan?" ia menggeleng, tetap fokus melanjutkan latihan yang aku berikan padanya. 

"Bu Nam besar di panti asuhan, jadi Ozi banyak dengar cerita soal adik-adiknya disana mbak."

"Oh ya?" aku memangku dagu, mendengarkan ia menceritakan apa yang ia dengar dari cerita-cerita bu Nam, cara anak ini menjelaskan sesuatu memberiku perasaan yang sama saat Damar melakukan hal yang sama. 

"Mbak tau nggak, ternyata anak-anak disana cuma dapat baju baru setiap setahun sekali, sedangkan Ozi, tanpa Ozi minta ke papa, selalu ada baju baru dilemari." Aku mengelus lembut rambut Ozi yang beraroma citrus, merasa bangga aku menjadi salah satu manusia yang mengenal anak sebaik dia. 

***

"Panti Asuhan?!" aku tidak menyangka reaksinya akan selucu ini, ia urungkan niatnya meneguk ice americano yang aku belikan saat perjalanan kemari. Aku memenuhi janjiku untuk membantunya melakukan persiapan ulang tahun Ozi. 

Ia memijat tengkuknya, terlihat gusar, entah karena laki-laki ini baru bangun dari tidurnya, atau ia memang selalu terlihat galau dengan segala hal yang berhubungan dengan anaknya. Ada satu hal yang aku sadari, ia benar-benar terlihat muda, mungkin umurnya tak beda jauh dariku, obrolan masalah status duda yang ia sandang kembali berputar dikepalaku. 

Ia hanya mengenakan kaos polosan dan celana training yang membuatnya terlihat seperti laki-laki puber, sial aku tidak bisa menyembunyikan betapa menariknya ia saat ini. 

Diam-diam aku merasa senang karena hanya aku yang bisa melihat beberapa sisi lain dari sosoknya yang selalu terlihat maskulin di depan banyak orang, sisi dewasa yang membuat Janeta lupa berkedip saat pertama kali bertemu dengan Damar. 

"Berarti hari ini kita belanja banyak bukan buat Ozi?"

"Yap, tapi buat anak-anak di panti asuhan." 

"Dia beneran anak gue kan? hitungan sedekah gue bahkan masih bisa di hitung pakai jari." 

"Kenapa? nggak nyangka kalau kelakuan minus lo nggak nurun ke Ozi?" aku terkekeh melihat Damar menggerutu sambil menyeruput ice americano di depannya. 

"Nggak usah ngambek dong, gue kan cuma bercanda, justru lo harusnya belajar banyak dari Ozi," 

"Ide bagus." Ia duduk di sisiku, yang lagi asik nyemilin kacang dari toples cemilan, belakangan ini aku rada pw berada di apartment Damar. 

"Gue bakalan belajar buat deketin lo dari Ozi." ini kesekian kalinya aku tersedak saat bicara dengan Damar, kata-katanya berhasil membuatku syok berat, mungkin hanya satu kesamaan yang dimiliki ayah dan anak ini, yaitu bicara secara jujur.

Take A Chance With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang