14 | Papa

236 10 0
                                    

Aku bukanya tidak bersyukur, tapi bertemu dengan ayah sendiri, adalah hal yang paling aku hindari dari segala jenis pertemuan di dunia ini. Aku mungkin terdengar durhaka, tapi beliau adalah orang yang paling meragukan kemampuanku, orang sarat kata yang tidak pernah mau mengucap satu kata dukungan untuk anak perempuannya. 

"Darimana kamu?" Aku mencium tangan legamnya dengan malas, sorot matanya yang selalu menatapku penuh kecurigaan, menilik satu persatu, jengkal demi jengkal keadaanku melalui bahasa tubuh. 

Untungnya Janeta selalu paham apa yang harus ia lakukan setiap Papa berkunjung kemari, meskipun aku berada di dalam kamar kost sekalipun, aku akan menyuruh Janeta untuk keluar menemuinya lebih dulu, dan meminta beliau menunggu di suatu tempat, aku tidak suka dihakimi di depan banyak orang. 

"Tadi ada kerjaan sedikit."

"Kerjaan? pekerjaan tetap?" belum apa-apa, aku sudah menelan ludah demi menahan emosiku sendiri. 

Aku menggeleng, membuat beliau berjengit dan memijat kepala. 

"Randi itu, awal bulan ini sempat minta restu buat lamar kamu loh, kenapa kamu putusin gitu aja ? berharap sama apa sih kamu ini?" 

"Pa.. Ini bukan hal yang jadi urusan papa."

"Jelas ini urusan Papa, kamu itu nggak pernah dengerin apapun yang papa bilang, coba kamu setuju buat masuk hukum, hidupmu nggak bakal luntang lantung kayak gini, bergaul sama anak-anak berandalan-" 

"Pa!" Bentakan itu membuat beberapa orang yang sedang asik piknik di dekat kami reflek menoleh, aku tidak suka penghakiman ini, ia selalu membuatku terlihat memalukan, kecil dan tidak memiliki kuasa apapun atas diriku sendiri. 

"Dengerin ini ya Julia, terserah kamu mau nurutin kata-kata papa atau enggak, yang pasti, jangan berharap papa bakal nolongin kamu kalau nanti kamu butuh bantuan papa." Hatiku memanas, ancaman itu membuatku makin yakin, tak ada dasar kekhawatiran atau keprihatinan dihati beliau, ia hanya ingin menang, Papa hanya ingin membuktikan bahwa aku tidak lebih dari seonggok daging yang ia besarkan dan bisa ia atur semaunya. 

Aku tidak berniat membantahnya, ataupun membela diri, karena itu hanya akan memperburuk ikatan yang sudah longgar diantara kami. Aku menarik diri dari hadapannya. 

"Papa nggak yakin kamu bertahan karena kerja, kamu masih gadis?" 

Aku memutar badan, Papa sedang menatapku, dingin.

"Kamu sama mamamu, nggak ada bedanya, sama-sama pelacur." 

"Julia malu tumbuh dikeluarga Papa, Julia malu jadi anak papa." Ucapku lirih, menahan tangis, tanpa menunggu reaksinya, aku berjalan cepat menuju salah satu halte, yang kebetulan sebuah bus siap mengantar para jiwa-jiwa penuh semangat yang mengawali hari mereka dengan penuh motivasi, sementara aku kehilangan motivasi. 

Sejak aku belajar mandiri, aku sering mendapati banyak orang menangis di dalam bus atau halte dipenghujung hari. Menyaksikan itu membuat bebanku sedikit membaik, aku tidak sendirian, semua orang berjuang dan semua orang merasakan kepedihannya masing-masing. 

Aku menyumpal kuping dengan earphone yang dihadiahkan Janeta dihari kelulusanku, memutar musik sekencang-kencangnya, jadi orang-orang tidak berniat bertanya kenapa aku menangis saat ini. 

Aku tidak turun meskipun bus ini beberapa kali berhenti, tadinya aku ingin menghabiskan waktu di mesuem, aku selalu suka tempat itu, tapi urung karena saat bus ini berhenti di sebrang bangunan museum sejarah itu, ada pengumuman kalau meseum sedang dalam perbaikan. 

***

Janeta memelukku begitu aku pulang dalam keadaan gontai, aku tidak suka menangis di hadapan Janeta, karena anak itu akan sama galaunya denganku, jadi aku hanya memeluknya erat, lama sekali. 

"Lo diapain lagi sama dia?" tanya Janeta setelah aku membisu cukup lama, ia menyeduh susu cokelat , ditengah keadaan ini aku diam-diam berharap jodohku nanti akan sepeka Janeta. 

"Masih kayak dulu, nggak lebih cuma buat ngeraguin gue, ngehina mimpi-mimpi gue," 

"Terus lo juga masih kayak dulu? belum kuat, masih cengeng! kalau lo gini terus, mau sampai kapanpun juga lo nggak akan pernah bisa buktiin kalau omongan bokap lo salah." Janeta benar, nasehatnya selalu benar.

"Gue cuma nggak habis pikir, dia itu nggak pernah peduli sama gue, tapi selalu berusaha buat ngerendahin anaknya sendiri, kalau dia memang nggak nganggep gue anak lagi, yaudah, gue juga nggak pernah ngerasain punya sosok papa!" meskipun ucapanku terdengar yakin, sejujurnya hatiku benar-benar sakit.

Malam ini aku tidur sendirian di kost, Janeta harus menjenguk salah satu rekan kerjanya yang jatuh sakit, dan kemungkinan mengingap di rumah pacarnya begitu pulang dari sana. 

hingga tengah malam, aku tidak bisa tidur sama sekali, jadi kuputuskan untuk membeli nasi goreng di warung sebrang, setelah merasa perutku terisi, dan yakin bisa tidur dengan nyenyak, aku kembali ke kost dan sialnya, hingga jam 3 dini hari aku masih tetap terjaga. 

aku ingin mengerjakan beberapa design yang mangkrak, namun aku kehilangan motivasi, jadi aku cuma rebahan, sambil membaca beberapa pesan dari grup angkatan yang sudah menumpuk, aku dan Janeta selalu menggunakan waktu-waktu gabut kami dengan membaca pesan-pesan grup yang nyaris berbulan-bulan tidak terbaca. 

Namun tidak ada yang menarik, kecuali salah satu teman kelasku menikah 3 bulan lalu, dan aku merasa bersalah karena tidak menghadiri acara itu sebab kebiasaanku yang tidak suka membaca grup kelas, jadi aku mengirim pesan padanya, hanya untuk mengucapkan selamat. 

tidak ada yang bisa ku lakukan lagi, jadi aku berusaha tidur, namun aku teringat sesuatu, pagi tadi Damar memintaku untuk mengkonfimasi permintaan berteman denganku di instagram, entah kenapa aku jadi sedikit bersemangat dan langsung membuka aplikasi yang paling jarang aku gunakan, selain untuk memposting beberapa karya digitalku. 

Akun Mr.Dmr tertera disana, nama yang kaku, aku membatin sendiri, tidak ada postingan dirinya disana, hanya ada satu postingan berisi foto Ozi dan almarhumah Oza, juga sosok misterius yang merangkul mereka, aku tidak tahu siapa sosok itu karena Damar memotong fotonya dari bagian bahu hingga ke atas. 

Begitu aku mengkonfirmasi pertemananku, sebuah DM masuk.

Mr.Dmr
Thanks!  btw pencarian karya kolaborasi buat art exibhition kakak gue seminggu lagi ditutup, jangan lupa join ya!

rasanya aneh bercampur senang melihat pesan singkat itu, meskipun ketikan itu tidak terdengar seperti Damar, tapi aku cukup senang membacanya, rasanya mendapat dukungan dari semesta, setelah apa yang dikatakan papa tadi padaku. 

Aku hanya membalasnya dengan emoticon jempol, aku tidak berani membalasnya dengan berbasa basi, terakhir aku melakukan itu saat membalas DM Jaka, manusia itu jadi patah hati sebulan karena diputusin pacarnya. Aku kan tidak mau Ozi kehilangan calon ibu hanya karena aku membalas pesan Damar, apalagi karakter Fenna yang super cemburuan, duh jangan sampai deh aku merusak hubungan orang lain. 

Sudah pukul 5, percuma kalau aku tidur lagi, hari baru untukku, tapi pikiranku masih terpaut dengan kejadian kemarin. 

Take A Chance With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang