19 | Selangkah

220 14 0
                                    

Sudah dua minggu sejak pembicaraanku dengan Damar di balkon apartmentnya, saat itu aku cuma bisa terdiam, dan mencoba untuk menelaah dengan sungguh-sungguh pengakuan yang di selipkan dalam topik pembicaraan kami saat itu. Apa katanya? Ozi tau kalau Damar diam-diam menyukaiku? fakta mana yang harus ku tanyakan, kenyataan bahwa Ozi memang mengatakan itu, atau fakta yang ada di dalam kata-kata Ozi?

"Atas Nama Julia Monila?" aku tidak menyadari bahwa antrian di depanku sudah habis, seorang petugas menanyakan tanda pengenalku sebelum memasuki galeri. 

Yap, portofolio yang aku kirimkan ternyata di acc oleh Sangga, hari ini aku di minta datang untuk mendiskusikan beberapa hal dengan beliau. 

"Terimakasih." Ucapku sambil menerima nametag khusus sebelum akhirnya resmi memasuki salah satu galeri terbaik yang pernah aku kunjungi sejauh ini, tempatnya nyaman dan luas, beberapa karya belum genap di pajang.

Seseorang bertubuh tegap, dengan rambut ikal menghampiriku. 

"Sangga," ucapnya tanpa basa-basi sambil mengulurkan tangannya. 

"Julia." 

"Well, ternyata memang cantik." 

"Sorry?"

"Maksud saya karya kamu, ayo saya ajak keliling." wajahnya terlihat blasteran kalau semakin diperhatikan, cara bicaranya juga terdengar kaku. Aku berjalan tepat disampingnya, dan sesekali berhenti karena beberapa orang menanyakan banyak hal untuk persiapan pamerannya. 

"Ini pameran saya yang ke 7, kali ini saya kolaborasi dengan banyak seniman."

"Boleh tau kenapa anda meloloskan digital painting saya?"

"Saya suka bagaimana kamu memadukan warna-warna yang seharusnya tidak bertemu, menjadi satu." 

Aku nyaris memperhatikannya tanpa berkedip, apa ini aura orang yang bisa dikatakan seniman profesional?

"Terlebih karena Damar yang meminta, saya juga susah menolaknya."

"Tunggu, jadi anda memilih karya saya karena Damar?" 

"Bukan begitu, Damar yang meyakinkan saya untuk membuka email terakhir yang masuk, yaitu dari kamu," wajahku memanas, ini memang mimpiku, tapi aku tidak ingin melibatkan orang lain atas penilaian Sangga terhadap karyaku. terlebih lagi aku sudah bersumpah bahwa aku akan melakukan ini semua tanpa bantuan laki-laki. 

Aku sedang tidak ingin jatuh cinta pada laki-laki manapun, aku juga tidak mau terus-terusan dibantu oleh sosok yang paling sering menyakiti hatiku selama aku hidup, yaitu laki-laki. 

"Oh ya, hari ini saya juga mau makan siang bareng Damar, kamu mau ikut?" 

"Lain kali saja ya Sangga."

"Kenapa nggak mau ikut?" aku menoleh pada sosok yang muncul dari balik sekat partisi, Damar, dengan kemeja light grey yang nyaris sempit karena kedua lengannya yang semakin hari ku rasa semakin membesar, aku mengibaskan kepala untuk menghilangkan hayalan konyol yang muncul.

Jujur saja melihat kehadirannya membuat hatiku sedikit berdenyut, denyut dalam artian baik. Senyumnya yang biasanya kalem, belakangan aku merasa senyumnya terkesan nakal dan jahil. 

"Saya mau periksa persiapan di lantai dua, enjoy your time, Julia." Aku tidak ingin ditinggalkan Sangga dengan laki-laki yang tiba-tiba saja jadi terasa menggelikan setiap aku berhadapan dengannya, ia mengajakku untuk mampir sebentar ke sebuah cafe tak jauh dari galeri. 

"Sangga itu agak sibuk, kalau memang nggak mau ikutan gue makan siang sama dia, setidaknya temenin gue ngopi."

"Sekarang seorang Damar yang sibuk bisa sempet-sempetin diri buat ngopi?" Ia menyisir rambutnya dengan tangan, lalu menggedikkan bahu sambil berjalan keluar gedung. 

Aku benci mengkhianati komitmenku sendiri, menyebalkan kalau ternyata pengkhianatan yang aku lakukan hanya akan menyakiti diriku sendiri. 

Hubunganku dan Randi berangkat dari status teman dekat, aku orang yang cukup naif, berkomitmen ingin membuktikan pada orang-orang kalau laki-laki dan perempuan bisa berteman tanpa embel-embel suka satu sama lain. Bodohnya, aku mengkhianati komitmen itu dengan mengatakan perasaanku lebih dulu padanya, dan selama itu juga Randi menahan diri demi menghormatiku, aku malu namun senang karena aku tidak merasakannya sendirian, meskipun pada akhirnya aku menyakiti diriku sendiri. 

Aku duduk di seberang Damar, setelah ia menarik kursi dengan manis untukku agar aku bisa duduk dengan nyaman, tidak ku sangka, dengan pertemuan pertama kami yang buruk dan saling memaki satu sama lain bisa berakhir menjadi teman. Jujur saja menyandang status sebagai teman Damar membuatku sedikit ragu, aku lebih memilih mengakui perasaanku pada Damar dibandingkan membohongi diri lagi seperti sebelumnya. 

"Kenapa lo tau gue ada disini?"

"Gue nggak mau lo menghindar lagi," 

"Gue, menghindar dari lo? kata Bu Nam sikap lo jadi aneh selama dua minggu ini, termasuk nggak mau keluar kamar setiap gue dateng buat ngasih Ozi les."  

"Lo mau pesen minuman apa?" Dia mengalihkan pembicaraan, itu artinya kata-kataku memang mengandung kebeneran.

"Cafe latte, pakai almond milk." kataku asal, tanpa memperhatikan menu,  Ia memilih minumannya, dan segera memanggil pelayan. 

Lagi-lagi ruang kosong diantara kami, aku berusaha mati-matian agar tidak mengingat kejadian tempo hari, caranya duduk, tatapan matanya saat itu, tidak bisa kuhilangkan, melekat, dan menghantuiku berhari-hari. 

"Ekhmm, oh ya, lo mau undang siapa aja besok?" Papa, ingin sekali aku mengundangnya, tapi rasanya mustahil setelah apa yang membuat kami semakin jauh sejak pertemuanku dengan istri barunya. 

"Janeta, Jaka." 

"Gue?"

"Ozi, Samsul."

"Gue?"

"Ozi nggak mungkin datang sendirian tanpa Papanya kan?" 

"Ya lo bener, thanks." Ia memiringkan kepalanya, tersenyum gemas ke arahku, sikapnya yang biasa terlihat dewasa dan tegas, kini dimataku ia terlihat remaja labil yang baru pertama kali jatuh cinta, namun bukanya ilfeel, aku justru menyukai sisi lain yang ia miliki. 

"Si Randi, mantanmu itu ganteng ya?" 

"Penting banget lo pengen tau dia ganteng atau nggak?"

"Bener ya kata Jaka, cewek itu bisa jadi sensitif kalau diajak ngobrol soal masa lalu."

"Randi itu ganteng, ganteng banget malah, 90% perasaan gue tumbuh juga karena ketampanan yang terpancar dari wajahnya," Aku menghentikan ocehanku saat ia tiba-tiba terlihat kecewa  dan enggan menatapku. 

"Kenapa?" Ia tidak menjawabku, aku bingung sendiri dan buru-buru menyesap caffe latte yang baru saja tiba di meja kami. Ia memesan es lemon , padahal ia yang bilang mau ngopi, tapi berakhir memesan minuman yang cukup jauh dari kategori kopi, benar-benar diluar prediksi. Ia menikmati es itu dengan tenang, sambil memperhatikan beberapa pekerja di geleri yang menurunkan banyak lukisan besar dari mobil box.

"Duda nggak menarik ya buat lo?" tanyanya tiba-tiba, membuatku tersedak minuman sendiri, memalukan.

"Lo nggak papa?, minum es gue dulu." Demi keselamatanku sendiri, aku segera menyesap es lemon super asam miliknya, tapi cukup melegakan. 

"Sorry ya, minuman lo hampir habis." 

"Nggak masalah, maaf ya pertanyaan gue bikin lo kaget." Ia menarik minuman itu dariku, lalu mengaduk sisa-sisa es batu dan air lemon yang tinggal seperempat gelas. 

"Tunggu, biar gue pesen lagi yang baru." Ia tidak mendengarkanku, dan memilih untuk minum dari sedotan bekas bibirku, sial aku malu sendiri melihatnya. 

"Kalo kata Jaka itu nggak higenis." 

"Lo juga minum bekas gue Julia, dari awal memang udah nggak higenis, kita impas." 

"Jadi gimana?"

"Gimana apanya?" Tanyaku, tak berani menatap matanya.

"Menarik atau enggak? status duda gue?" 

Take A Chance With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang