Seperti biasa, jalanan kota pada umumnya, selalu ramai dan memuakkan, aku menemani Ozi menunggu seseorang datang menjemputnya, kami berdua duduk manis di halte sembari memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang membawa kendaraan mereka masing-masing, jam pulang, lebih menyesakkan.
"Mbak Julia, Ozi boleh jajan itu nggak?" Aku menoleh ke arah jari mungil Ozi menunjuk jajanan cilok yang pedagangnya sedang sibuk melayani pembeli.
"Kenapa harus izin ke mbak segala? mau jajan cilok tinggal jajan kali Zi."
"Emang bisa bayar pakai Qris?"
"Hah? jajan gituan mah 5 ribu juga dapet banyak."
"Tapi Ozi nggak pernah bawa uang mbak, apa-apa bayar pakai hp."
Entah siapa yang harus ku kasihani disini, Ozi yang tidak pernah jajan cilok, atau aku yang ternyata kalah sama anak umur 10 tahun yang apa-apa serba canggih.
"Yaudah kamu tunggu disini, biar mbak beliin."
"Makasih banyak mbak." senyum kecil anak itu membuatku terenyuh, entah siapa orang tuanya, tapi tebakanku anak-anak orang kaya sepertinya pasti tidak boleh jajan sembarangan, jadi aku ingin mengenalkan betapa nikmatnya cilok di kala penatnya kepala karena pelajaran matematika.
Aku melenggang ke sebrang jalan, namun pandanganku tetap pada Ozi, setelah mendapatkan cilok seharga 5 ribu yang memenuhi satu kantong plastik, aku tidak sabar ingin melihat reaksi Ozi ketika mencicipi cilok paling best seller disekitar jalanan ini.
Namun sebelum genap aku sampai pada Ozi, sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat di depan halte dan memaksa Ozi untuk ikut pada si pengemudi, ia membelakangiku, jadi aku tidak bisa melihat sosok laki-laki itu dengan baik, apa mungkin orang tua Ozi? tapi ada baiknya aku tidak berbaik sangka.
"Ntar dulu, Ozi masih nunggu cilok."
"Cilok apaan sih Zi? kamu udah bikin khawatir nggak ngangkat telpon dan tiba-tiba hilang dari sekolah." Nada membentak laki-laki itu membuatku tak tahan lagi, mana ada orang tua yang tega berbicara setinggi itu pada anak seimut Ozi.
"Heh! jangan kasar dong sama anak kecil." aku melepaskan genggaman tangan pria itu dari lengan mungil Ozi, anak itu langsung beringsut dibelakangku.
Ternyata wajah pria itu tidak segarang caranya bicara, bahkan ia terlihat muda dan innocent, wajahnya juga berbeda jauh dari Ozi. Perawakannya kurus namun badannya cukup ideal, pakaiannya super rapi, rada mirip orang yang hendak melamar kerja, wajahnya super jutek, mata tajam dan sinis miliknya benar-benar mengintimidasi, benar-benar didesign tuhan seperti penculik di film-film yang aku tonton.
"Anda siapa ya?" sergahnya, nyaris di depan wajahku.
"Lo yang siapa! penculik? om-om pedofil? anak ini.. ehmm, adek gue! mau apa lo."
"Ozi! kamu kenal orang ini?"
"Mbak Julia, kakaknya teman Ozi."
"Jadi lo yang bawa anak ini keluyuran sampai petang begini? pakai ngaku-ngaku Ozi adik lo, yang penculik disini lo, bukan gue."
"Terus lo siapa? orang tuanya?! mana mungkin, muka kalian aja nggak ada mirip-miripnya, kalaupun iya, lo nikah umur berapa? 17 tahun?!"
Dia tidak menjawabku, hanya menarik nafas panjang, sebelum akhirnya menarik Ozi lagi.
"Ayo pulang."
Ozi menunduk dan akhirnya mengikuti kata-kata pria itu.
"Makasih ya mbak Julia."
"Tapi dia beneran papamu kan Zi? kalau dia nyiksa kamu, bisa kabarin mbak aja, biar dilaporin ke polisi sekalian."
"Lo jangan ngomong yang nggak-nggak sama Ozi ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Take A Chance With Me
RomansaJadi guru privat untuk anak tunggal seorang duda kaya raya? itu tidak pernah ada dalam agenda hidupku.. Selain itu, aku masih punya agenda khusus untuk menemukan manusia jahanam yang menyelipkan DVD bokep di hari pertamaku kerja! Namun aku tidak per...