13 | Mimpi

241 12 0
                                    

Aku menyerah, tidak ada satupun ojek online yang mau bersedia mengantarku pulang, diluar hujan masih mengamuk, suara petir menyambar dan bersautan, jujur membuatku sedikit takut. 

Selimut yang diberikan Damar tergelung di tanganku, hangat, dan wangi, aroma yang sama dengan jas yang diberikan Damar padaku tempo hari. 

Aku duduk sendirian, di ruang tengah apartement ini, beberapa sudut ruangan gelap gulita, membuatku mulai dilanda perasaan ngeri. Aku menyenderkan kepala, dan menarik selimut, masih dengan ponsel yang nyaris kehabisan baterai, aku masih mencoba untuk menemukan driver ojol, namun kali ini sebuah majalah yang tergeletak diatas meja menarik perhatianku. 

Sekedar untuk mengusir rasa bosan, aku terpaku membacanya. Aku tidak bisa menahan kantuk, namun aku berusaha untuk tetap terjaga, sialnya, aku ini gampang tidur kalau mati kebosanan. 

Aku menyetel alarm, aku berjanji hanya akan tidur selama satu jam, dan kalau hujan reda saat itu, aku akan pulang berjalan kaki.

Aku bisa tidur dalam posisi apapun, termasuk duduk seperti ini, aku hanya ingin mengistirahatkan mataku, itu saja, jadi aku yakin tidak akan terlelap. 

Sekitar pukul 11 malam, aku merasa pintu di belakangku terbuka, pintu kamar Ozi, anak itu atau ayahnya yang terbangun? aku tidak tau, aku pura-pura terpejam, dan menajamkan pendengarkanku. 

Suara langkah-langkah kaki terdengar pelan dan tenang, sudah pasti itu Damar, mungkin ia bangun karena kehausan. Awalnya aku kira begitu, namun tubuhnya lagi-lagi memblokir cahaya lampu ruang tengah, ia sedang berdiri di hadapanku, dan aku masih berusaha untuk tidak terlihat mencurigakan. 

Mungkin ia hanya sekedar mengecek keadaanku, apakah aku mati kedinginan di apartmentnya yang super dingin ini. 

Namun tangannya yang hangat tiba-tiba menyentuh pelan tengkukku, sial, dia mau apa?

"Julia?" suaranya yang serak dan tenang membuatku bergidik, aku pura-pura menggeliat, agar tangan besarnya tidak berlama-lama menyentuhku. 

Hening, lama sekali. 

Aku mendengar ia melangkah menjauh, dan aku mendengar pintu lain terbuka, nampaknya ia kembali ke kamar, aku diam-diam merasa lega. 

"Udah gue bilang tidur di kamar aja." Dalam satu hentakan, ia tiba-tiba membopongku, tubuhku tiba-tiba menegang, mungkin karena badanya yang besar dan tubuhku yang kecil, aku jadi merasa takut, apa sebenarnya Damar ini tidak sebaik yang aku pikirkan? bagaimana kalau terjadi sesuatu, dengan hujan selebat ini, aku yakin tidak akan ada yang bisa mendengar suara teriakanku. 

Damar menjatuhkan tubuhku diatas kasur, empuk dan nyaman memang, namun aku tidak bisa lagi menahan diri, aku membuka mata, dan mendapati Damar sedang duduk di sampingku, telanjang dada. 

Aku beringsut menjauh ke arah sisi lain kasur, ia tersenyum, matanya menatapku penuh selidik. 

"Gue nggak sebaik itu, Julia.." Ia menarik pinggangku, ternyata aku tidak cukup jauh dari jangkauannya. 

"Malam ini, lo tidur bareng gue." tubuhku makin menegang, ia begitu dekat denganku. 

"Julia.." Lagi-lagi ia menyentuh tengkukku dengan lembut, dengan cara yang membuatku suka tapi juga membencinya. 

"Julia.."

"Mbak.. Mbak Juliaa.." Aku terbangun, kaget melihat Ozi ada di sampingku. Ternyata cuma mimpi, aku menatap Ozi, aku yakin ia bisa mendengar nafasku yang menderu padahal baru terbangun dari tidurku. 

Tunggu..

Aku ketiduran, dan posisiku benar-benar ada di kamar yang sama seperti di mimpiku semalam, jadi bagian mananya yang mimpi? . Aku mengedarkan pandangan, kamar ini terlihat begitu minimalis, sekaligus maskulin. 

Hanya ada lemari ukuran normal dengan kaca memenuhi pintu, TV di sebrang kasur, dan rak-rak buku yang masih belum penuh. 

Ada pintu kecil di pojokan ruangan, mungkin kamar mandi, saat aku memperhatikannya, pintu itu mengayun terbuka. Damar keluar dari sana, dengan rambut setengah kering, jatuh diatas keningnya. 

"Lo udah bangun?" Tanyanya dengan santai, ia melintasi ruangan, sambil menyibak rambutnya yang menjuntai memenuhi dahi, laki-laki ini kelihatan natural, setidaknya itulah yang muncul dari kepalaku. 

"Jadi bukan mimpi?" Aku menarik selimut, menatap Damar dengan sorot mata penuh selidik.

"Lo kenapa liatin gue kayak gitu?"

"Siapa yang mindahin gue kesini?" 

"Maksud lo?" 

"Gue awalnya cuma niat tiduran di ruang tengah, kenapa tiba-tiba gue ada di kamar ini?" 

Damar terlihat dongkol, ia menyilangkan tangan, dan menatap meledek ke arahku

"Lo lupa? semalam lo setengah sadar waktu gue bangunin, lo bilang tunggu 5 menit lagi, 5 menit lagi, karena lo nggak bangun bangun, dan posisi tidur lo diluar nalar, gue nyeret lo ke kamar." 

Harus kuakui mungkin Damar memang jujur, terutama soal posisi tidurku, Janeta selalu meributkannya setiap kali ia terbangun dan mendapati kakiku bersebalahan dengan kepalanya. 

"kalau lo nggak percaya, gue ada cctv-"

"Ahh, nggak, maksud gue, gue percaya kok," Aku menunduk malu, "Sorry ya, gue  ngerepotin."

"Santai aja." 

"Mbak, ayo sarapan, nanti mbak Julia pulang sekalian anterin Ozi ke sekolah, mbak mau liat sekolah Ozi nggak?" 

"Ehmm, kayaknya mbak pulang sendiri aja deh Zi," Harga diriku rasanya sudah sebanding dengan keset welcome yang teronggok bisu dan dekil di depan kamar mandiku di kost. 

Aku tidur di rumah orang yang memperkerjakanku sebagai guru privat anaknya, bagimana kalau Fenna datang dan mendapati keadaan kami semua seperti ini, mungkin aku juga akan merusak hubungan orang lain. 

"Lo cuci muka dulu, sarapan, biar gue anterin pulang." 

"Tapi gue nggak enak, lagian gue nggak seharusnya tidur disini, Janeta pasti bingung nyariin gue."

"Gue udah telpon Jaka, katanya aman." Jaka sialan, aku tidak punya alasan lagi untuk menyelamatkan harga diriku. 

Aku mengalah, dan akhirnya beranjak dari kasur, mengikuti Ozi ke meja makan. Pancake, lengkap dengan buah-buah berry yang kelihatan segar, berbeda dengan menu sarapanku dan Janeta yang nyaris setiap hari makan bubur kacang hijau, bahkan di tanggal tua hanya mampu membeli 5 biji kue pancong. 

Aku memperhatikan Ozi yang telaten menuangkan madu ke tumpukan pancake miliknya, Damar menyusul setelah suapan pertama masuk ke mulutku. 

"Enak? ini pertama kalinya gue buat sarapan setelah 5 bulan terakhir." aku nyaris terbatuk mendengarnya. 

"Ozi seneng kalau papa masak, berasa ada mama di rumah." Tenggorokanku tercekat, ku rasa Damar juga sama, karena ia langsung berdeham dan menengak air untuk menyembunyikan keresahannya. 

"Kenapa lo jarang masak?"

"Ozi lebih sering sarapan di sekolah karena gue telat bangun." 

Suasana sarapan pagi ini aneh, namun hangat, hangat karena Ozi terlihat jauh lebih sering menatap mata Damar dan bercerita mengenai pengalamannya semalam di pasar malam. Aku yang bukan siapa-siapa di kehidupan mereka, cukup merasa beruntung, mungkin aku bisa belajar, kalau nanti aku juga berkeluarga, tapi lagi-lagi, rasanya mustahil.

Mustahil karena aku tidak pernah melihat atau merasakan hubungan yang berhasil dari orang-orang di sekelilingku, bahkan dari keluarga kecilku sendiri, dari hubungan ku dengan Randi, semua itu terlalu nyata untuk meyakinkanku mengenai seperti apa kemungkinan buruk yang bisa terjadi dalam sebuah hubungan yang melibatkan dua isi kepala yang berbeda. 

"Hp lo bunyi terus tuh." Aku beranjak dari kursi, hpku masih tergeletak diatas meja ruang tengah, namun baterainya sudah terisi penuh, seketika aku kagum dengan kepekaan Damar untuk hal-hal kecil begini. 

Namun mataku langsung memanas begitu mendapati pesan dari Janeta. 

Janeta
Bokap lo disini.

Take A Chance With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang