9 | Kebetulan

264 13 1
                                    

"Juleee! ayo, ini hari minggu, waktunya kita menerapkan healty life style!" Tubuhku diguncang hebat oleh Janeta, anak ini selalu semangat kalau hari minggu tiba, ia libur dan aku si pekerja serabutan jadi bahan yang empuk untuk menjadi temannya jogging. 

"Duhh, ajak si Jaka aja deh kali ini."

"Gue emang ngajak kalian berdua keles! si Jaka udah gue bangunin, dia lagi siap-siap buat jemput kita." 

"Gue nyusul deh kalo gitu." Aku menarik selimut lagi.

"Gue nggak percaya sama lo, ayo dong Lee!" Kali ini Janeta menggelitiki pinggangku.

Mau tak mau aku bangun karena kegelian sendiri.

"Alun-alun cuma 10 menit jalan kaki, gue nyusul aja."

"Nggak bisa!, ayo, baju lo udah gue siapin, cuci muka, gue sama Jaka tunggu di depan." Aku berdecak, beranjak dengan malas ke kamar mandi untuk mencuci wajah. 

Dengan gontai aku menemui Jaka dan Janeta yang lagi jajan kue pancong, aku yakin mereka tidak membelinya, karena si tukang kue tampaknya malas melayani mereka. 

"Nah udah bangun lo, semangat dikit dong Lee, bentar lagi kan lo bakal di lamar duda kaya." 

"Ck, kalo ngomong jangan suka sembarangan deh," Sergahku, sambil merebut kue pancong dari tangan kanan Jaka, sebelum ia sempat melahapnya. 

"Yah Lee, ini aja gue harus pargoy dulu biar dikasih gratis."

"Cih, udah gue duga muka-muka kaya kalian bayar kue pancong 1000 rupiah aja nggak mau."

"Bang, bagi satu lagi boleh nggak?"

"Kagak! gue cuma jualan kue 1000an aja pada minta gratisan, malu sama lemak." 

"Udah-udah, ayo berangkat." Janeta melangkah penuh semangat, sementara aku masih sedikit lesu, dan Jaka menoleh sekali lagi ke tukang kue, berharap kesempatan terakhir, tapi sayangnya harapan Jaka pupus. 

Kebiasaan hari minggu ini diterapkan Janeta sejak lama, memaksaku dan Jaka untuk mengikuti gaya hidupnya yang katanya sehat, meskipun cuma di hari minggu, karena 6 hari sisanya ia habiskan dengan pulang larut dalam keadaan mabuk dan migrain nyaris setiap hari. 

Berhubung ia sahabat karibku satu-satunya, dan Jaka yang memang harus sering-sering olahraga, aku mendukungnya. 

Salah satu aturan jogging dihari minggu ini adalah membawa uang hanya sebesar 5000 rupiah, cukup untuk membeli satu botol air, itu sebabnya Jaka tidak mampu membayar satu kue pancong dan membuat pedagang kue itu badmood, juga mempertimbangkan apakah lebih baik pindah tempat jualan. 

"Gilaa rame banget Net, pedagangnya." Sisi gelap dari kegiatan mingguan di alun-alun kota ini adalah banyaknya pedagang yang hanya muncul di hari minggu pagi dengan jajanan yang beraneka ragam. Orang-orang akan melakukan kegiatan olahraga begitu sampai, dan menghabiskan sisanya untuk kulineran. 

Aku bisa melihat wajah kecewa Jaka karena kali ini ia cuma mengantongi uang yang kalau ia jajan, ia akan mati kehausan. 

"Pstt.. Lee, air lo bagi dua ya sama gue, gue pengen banget jajan tahu bulat." 

"Lo pikir gue bawa duit? omongan lo barusan itu, rencana gue yang lo sampein duluan." 

"Kalian ngapain sih? ayo! jangan tergiur, kita ambil jalur kanan, ke arah bendungan, disana pedagangnya dikit, jadi aman." Aku dan Jaka beradu pandang, lebih tepatnya saling mengasihani diri sendiri. 

Sejujurnya, aku cukup lelah hari ini, karena sepulang mengajar Ozi, aku harus mengerjakan beberapa design pesanan klien yang sudah nyaris diujung deadline, Janeta tertidur lelap kala itu, andai saja aku jujur, aku yakin ia tidak akan tega memaksaku ikut kegiatan mingguannya. 

Take A Chance With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang