Mendengar suara lift, Nadine mengangkat kepala yang sedikit tertunduk untuk melihat siapa yang datang. "Pak Arthur mana, Pak?" tanya Nadine pada Devan.
Devan sedikit menyipitkan mata sambil berjalan mendekati kubikel Nadine. "Udah mulai cariin Arthur aja, nih, kamu."
Nadine tertawa. "Cuma nanya, kok."
"Keluar tadi, katanya mau makan siang di rumah orang tuanya."
Nadine pun mengangguk-anggukkan kepala dan kembali melanjutkan kegiatannya, menulis sebuah catatan di buku agenda.
Devan sudah menghentikan langkahnya. Pria itu berdiri di depan Nadine dengan kedua tangan yang berada di atas meja kubikel Nadine. Telunjuknya sedang mengetuk-ngetuk bagian atas kubikel tersebut sambil memperhatikan Nadine, pikirannya juga dipenuhi oleh kejadian saat ia memergoki apa yang Arthur lakukan pada gadis itu.
"Kamu belum pernah pacaran, ya?" tanya Devan.
Nadine kembali mengangkat kepala. "Belum, Pak."
"Emang nggak pengen pacaran atau gimana? Kayaknya nggak mungkin nggak ada yang mau sama kamu."
"Nggak pengen, sih, Pak. Lagian, kasihan pacar saya kalo harus ke rumah saya." Nadine tertawa.
"Jauh gimana maksudnya?"
"Iya, di sekeliling rumah saya nggak ada rumah lagi, yang ada sawah. Udah gitu, jalanan ke rumah saya masih tanah sama banyak batu-batu."
Devan mengangguk-anggukkan kepala. "Tapi, kamu punya temen, 'kan?"
"Punya, dong, Pak. Wulan namanya, kalo Wulan tinggalnya di daerah yang lumayan banyak rumah tapi jarang-jarang gitu. Jalannya juga masih tanah tapi nggak separah jalan mau ke rumah saya."
"Kamu udah punya uang, nggak mau bantu orang tua kamu? Beli rumah misalnya?" tanya Devan lagi.
"Udah, saya udah bahas soal itu tapi orang tua saya bilang kumpulin aja uangnya sampe banyak. Sampe bisa beli tanah, bangun rumah, sama beli sawah." Nadine tersenyum.
"Lho, sawah yang kamu bilang sebelumnya bukan punya keluarga kamu?"
Nadine menggeleng dengan cepat. "Bukan, Pak. Punya orang tapi kita di situ diminta untuk jaga terus ngurus sawahnya, sama orang yang punya sawah kita disediain tempat tinggal, deh."
Devan diam sambil menatap Nadine yang masih sibuk mencatat. Di dalam hati, Devan sudah memaki Arthur dengan tatapan iba yang terpancar di mata. Devan menatap jam tangannya di mana sebentar lagi jam makan siang akan tiba dan kembali berbicara pada Nadine.
"Kamu mau makan di luar nggak? Mau, ya?" ucap Devan sangat berharap Nadine mau menerima ajakannya.
-pbhis-
"Ya ampun, Pak, makanannya mahal-mahal banget." Nadine sampai melotot setelah pelayan pergi membawa buku menu.
Devan tertawa. "Harganya sesuai sama makanannya, kok. Enak-enak banget di sini."
Nadine mengangguk-anggukkan kepala sambil memperhatikan sekelilingnya di mana Devan sengaja memilih private room yang ada pada restoran yang mereka datangi.
Devan membenarkan posisi duduknya dan berdeham. "Kamu suka sama pekerjaan kamu?"
Nadine menatap Devan dengan sedikit mengangkat alisnya. Tak lama, Nadine mengangguk. "Suka, Pak. Apalagi gaji saya banyak."
Devan tersenyum. "Kamu nggak mau pekerjaan lain? Saya bisa kasih kamu pekerjaan yang jauh lebih bagus dari sekarang, soal gaji, saya jamin nominalnya sama kayak yang Arthur kasih."
KAMU SEDANG MEMBACA
[Arthur Wilson] Perverted Boss and His Innocent Secretary [COMPLETED]
RomanceMempunyai sekretaris yang polos adalah sebuah keberuntungan atau kesialan? Mungkin untuk Arthur adalah keduanya. Nadine, gadis polos yang berasal dari kampung, hanya tamatan SMA dan tidak pernah mengenal yang namanya sex education, menjadi korban k...