PBHIS-14

66.9K 1.4K 47
                                    

"It worked, Man." Arthur tertawa sambil menunjuk alat yang ada di bawah meja. Alat itu adalah hasil kerja sama Arthur dan Devan demi kepentingan pribadi mereka dan Arthur adalah orang pertama yang mencobanya. Arthur juga menyodorkan alat yang ia pakai di telinga saat mendengar percakapan antara Nadine dan Devan sebelumnya.

Arthur menoleh pada pengawalnya yang sedang berdiri di depan pintu. "Bawa dia ke mobil." ujar Arthur sambil menunjuk Nadine dan pengawalnya langsung masuk untuk membawa Nadine keluar.

"Biar apa lo ngomong begitu ke Nadine?" Arthur kembali bersuara saat Nadine sudah pergi.

Devan menghela napas. "Biar Nadine tau kalo apa yang lo lakuin ke dia salah."

"Dan dia tau, 'kan?"

"Tapi, dia nggak tau kalo lo udah lecehin dia, Thur."

Arthur tertawa. "Van, intinya dia udah tau. Nadine tau kalo apa yang gue lakuin nggak bener dan dia enjoy karena dia sadar kalo gaji yang gue kasih nggak main-main nominalnya untuk seorang sekretaris."

"Enjoy apaan, Sat. Nih alat rusak waktu Nadine ngomong dia ngerasa nggak nyaman?" Devan menunjuk sejenak alat penyadap suara yang sudah berpindah ke atas meja.

"Intinya, Nadine sadar kalo yang gue lakuin salah dan karena lo udah kasih materi ke dia yaitu soal pelecehan, gue yakin Nadine bakal makin sadar dan kalo setelah ini Nadine tetep diem sama apa yang gue lakuin, bisa dibilang mungkin aja dia suka?"

Devan tertawa meremehkan mendengar kalimat terakhir Arthur. "Kenapa lo bisa di sini?"

"Karena gue sama bokap, nyokap lunch di sini terus bodyguard gue dapet informasi kalo lo juga mau lunch di sini bareng Nadine. Ya udah, gue suruh tuh bodyguard gue pasang alat itu." Arthur menunjuk sejenak alat penyadap suara.

Devan diam, tidak ingin bertanya lagi dari siapa bodyguard Arthur mendapatkan informasi yang teman sekaligus bosnya maksud.

Arthur yang sedari tadi berdiri, beralih duduk di kursi Nadine. "Lo temen gue, lo juga rekan kerja gue. Jangan bikin dua hubungan itu rusak, Van. Lo nggak perlu cepu ke Nadine, pasang sikap nggak peduli aja, lah, soal apa yang gue lakuin ke Nadine. Ya, kecuali lo suka sama sekretaris gue, wajar kalo lo pengen Nadine benci sama gue." Arthur mengangguk sekali lalu pergi dari ruangan itu, meninggalkan Devan yang sedang menatap lurus kursi yang Arthur duduki tadi.

-pbhis-

Nadine melirik Arthur sekilas dengan kepala yang tertunduk, posisi Nadine berdiri di hadapan Arthur yang sedang duduk di tepi meja kerja pria itu dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada.

Bukankah posisi mereka berdua terbalik? Bukankah Nadine yang berhak memasang posisi seperti Arthur?

"Jadi, kamu udah tau pelecehan itu apa?"

Nadine mengangguk. "Udah, Pak."

"Kamu sakit hati sama apa yang udah saya lakuin ke kamu? Apa kamu ngerasa dilecehkan?"

Nadine melirik ke samping, bingung harus menjawab apa. "Saya ... Saya cuma ngerasa nggak nyaman sama apa yang Bapak lakuin, ya, nggak nyaman."

"Abis ini apa? Kamu mau laporin saya ke polisi?" Arthur mengambil satu permen yang ada pada mangkuk kaca.

Nadine langsung menggeleng. "Kenapa saya harus laporin Bapak?"

Arthur mengangguk-anggukkan kepala dengan permen yang sudah berada di mulut. "Yang tadi pagi, itu pelecehan, berarti kamu ngerasa nggak nyaman, dong?"

"Em ..." Nadine mulai mengangkat kepala sambil mengusap-usap lengan kiri dengan tangan kanan. "Ngerasa nggak nyamannya udah mulai berkurang, sih, Pak."

Arthur kembali mengangguk-anggukkan kepala, menahan bibir untuk tidak menyunggingkan senyum dengan mata yang tertuju pada dinding kaca ruangannya. Setelah dari restoran, mereka kembali ke kantor.

Arthur bangkit berdiri dan berjalan mendekati Nadine. "Itu artinya kamu mulai terbiasa."

Nadine mengangguk pelan. "Mungkin, Pak."

Arthur ikut mengangguk dengan posisi mereka yang saling berhadapan. "Oke, saya jujur. Saya emang lakuin pelecehan ke kamu, saya manfaatin kepolosan kamu. I sincerely apologize for any inconvenience I may have caused." ucap Arthur sementara Nadine kebingungan.

"Saya minta maaf." ucap Arthur lagi.

"Oh." Barulah Nadine tersenyum. "Kalo saya boleh jujur juga. Bapak emang keterlaluan sama saya, apalagi Bapak manfaatin saya. Tapi, karena Bapak udah mau jujur dan karena Bapak itu bos saya, saya masih pengen kerja, saya maafin."

Arthur tersenyum. "Okay, thank you. Jadi, apa saya boleh lanjut lec ... Maksud saya, pegang-pegang kamu?"

Nadine diam.

"Kamu juga mulai terbiasa, 'kan?"

Nadine masih diam dan kembali mengusap-usap lengannya.

"Atau kamu mau saya beliin tanah, rumah, dan sawah untuk orang tua kamu?"

Nadine terkejut. "Bapak tau dari mana soal itu?"

Arthur diam sejenak lalu tersenyum. "Dari Devan." Padahal Arthur mengetahuinya melalui alat penyadap suara, Arthur hanya malas menjelaskan tentang alat tersebut pada Nadine yang mungkin saja tidak paham dan akan banyak tanya.

"Gimana? Devan juga bilang kalo keluarga kamu jaga dan urus sawah orang? Saya bisa beli sawah itu untuk keluarga kamu."

"Bapak ngomong kayak gitu supaya tetep bisa sentuh saya, ya?" Nadine balik bertanya.

"Kamu nggak mau? Bukannya kamu udah mulai terbiasa?"

Nadine menghela napas. "Iya, sih, Pak."

"Ya udah, apalagi?"

Nadine menggeleng kecil. "Soal rumah, tanah, sama sawah nggak perlu, Pak. Tujuan saya kerja supaya bisa beliin itu semua untuk keluarga saya. Itu biar jadi tanggung jawab saya."

Arthur mengangguk, "oke."

"Terus, saya mau minta satu hal, Pak."

Arthur sedikit menaikkan alis, "apa itu?"

"Biarin saya tetep ... Perawan." Nadine tersenyum setelah berbicara sementara Arthur tertegun.

"Why? Kenapa?" tanya Arthur.

"Karena saya nggak mau lakuin hubungan suami istri kalo belum nikah."

Arthur menggaruk pelipisnya. Arthur membuka mulut untuk bersuara tetapi tak lama mulutnya tertutup rapat.

"Saya emang nggak ngerasa rugi sekarang tapi saya bakal rugi banget kalo udah sampe lakuin hubungan itu, 'kan, Pak?"

"Dari mana kamu tau soal itu? Dari Devan? Kapan Devan bahas tentang itu ke kamu?"

"Ya, saya ngerti aja kalo lakuin hubungan suami istri sebelum nikah nggak baik."

Arthur menghela napas. "Ya udah, setuju, terserah kamu."

-tbc-

Qotd: beneran setuju nggak tuh Arthur?

[Arthur Wilson] Perverted Boss and His Innocent Secretary [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang