Arthur duduk di kursi besarnya dengan posisi miring, menghadap ke arah dinding kaca tanpa melakukan apa-apa. Mendengar pintu terbuka, Arthur melirik sejenak dan mendapati Nadine sedang berjalan ke arahnya.
"Tanda tangan, Pak." kata Nadine sambil menaruh map yang ia bawa di meja.
Arthur mengambil kotak berukuran kecil di mana pulpennya selalu berada dengan mata yang sedang membaca isi dari map tersebut. Setelah membacanya, Arthur pun menandatangi kertas yang ada pada map dan mendorong map itu pada Nadine.
Nadine pun mengambil map tersebut sambil menatap Arthur yang sudah kembali ke posisi sebelumnya, duduk menghadap dinding kaca dan kali ini seraya memainkan ponsel.
Nadine dibuat bingung, biasanya Arthur akan berbicara atau melakukan sesuatu padanya, tapi, kenapa kali ini Arthur diam saja bahkan tampak acuh?
Baru sebentar memainkan ponselnya, Arthur menatap jam lalu bangkit berdiri seraya menyimpan kembali pulpen dan mengambil jas yang ada di sandaran kursi. Tanpa mengucapkan apa-apa pada Nadine, Arthur mulai melangkah menuju pintu ruangannya, meninggalkan Nadine sendirian.
Nadine balik badan, memperhatikan kepergian Arthur dengan raut bingung yang semakin menjadi-jadi, Nadine juga bertanya-tanya pada dirinya mengapa Arthur tampak berbeda kali ini? Saat berbicara setelah kembali dari restoran, apa ada yang salah dengan ucapan Nadine?
Nadine menghela napas dan meletak map yang sudah ia pegang di kursi karena Nadine ingin membereskan meja Arthur. Kepala Nadine mulai dipenuhi oleh sikap Arthur barusan dengan rasa bersalah yang tiba-tiba saja menyerang Nadine.
"Arthur di mana, Nad?" tanya Devan yang baru saja masuk.
"Udah pulang, Pak." jawab Nadine walaupun jam pulang tersisa sepuluh menit lagi.
"Oh." balas Devan sambil berjalan mendekati Nadine yang masih membereskan meja kerja Arthur.
"Pak, kayaknya Pak Arthur lagi marah sama saya." Nadine menegakkan tubuhnya yang sedikit berbungkuk, tangannya berhenti membereskan meja Arthur.
"Hah? Marah kenapa emang?" Devan mengerutkan dahi.
"Kayaknya saya ada salah ngomong, deh, waktu kita balik dari restoran." Nadine tampak gelisah.
"Emang kamu ada ngomong apa? Garis besarnya aja, intinya." Devan duduk di kursi khusus untuk tamu yang ada di depan kursi Arthur.
"Em ... Saya nolak waktu Pak Arthur bilang mau beliin sawah, tanah, sama rumah untuk keluarga saya."
"Nggak mungkin Arthur marah soal itu." kata Devan.
"Terus, saya juga ada bilang kalo saya pengen tetep perawan."
"Mungkin Arthur marah soal itu." Devan mengangguk sekali.
Nadine tampak semakin gelisah.
Devan beranjak untuk mendekati Nadine lalu menyentuh kedua bahu gadis itu. "Kenapa kamu khawatir? Seharusnya kamu bersyukur karena Arthur yang lagi marah, itu artinya Arthur nggak akan lakuin pelecehan lagi ke kamu."
Nadine menghela napas. "Saya takut dipecat, Pak."
Devan tertawa. "Kamu khawatir karena takut dipecat? Bukan khawatir karena Arthur yang nggak bakal sentuh kamu lagi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[Arthur Wilson] Perverted Boss and His Innocent Secretary [COMPLETED]
RomantizmMempunyai sekretaris yang polos adalah sebuah keberuntungan atau kesialan? Mungkin untuk Arthur adalah keduanya. Nadine, gadis polos yang berasal dari kampung, hanya tamatan SMA dan tidak pernah mengenal yang namanya sex education, menjadi korban k...