Beberapa bulan kemudian..
"Hati-hati disini ya, nurut sama tante Alya, om Rehan sama Abang kamu."
"Iya ma."
Selepas di peluk sang mama kini gantian, ayahnya yang meluk. Naura anak satu-satunya, ya wajar kalo orang tuanya khawatir banget, mana perempuan.
"Gak boleh nakal, belajar yang bener."
Naura ngangguk, ngejawab perintah ayahnya itu.
Setelah berpelukan dan kedua orang tua Naura pulang. Gadis itu di persilahkan masuk, dan di ajak ke kamar yang akan di tempati nya beberapa tahun kedepan. Setelah perdebatan Naura dengan orang tuanya beberapa bulan yang lalu. Naura akhirnya memilih untuk menurunkan egonya, memilih untuk mengikuti kemauan orang tuanya. Dan ya, Naura masuk di universitas negeri yang ada di Jakarta. Bareng dengan abang sepupunya Kaivan.
Selepas membereskan pakaiannya Naura memutuskan untuk turun, haus sekali tenggorokannya.
"Adek udah makan?"
"Udah pas mau berangkat ke sini tante, bang Kaivan kemana deh?"
Setau dia, Kaivan tidak ingin keluar dihari Weekend seperti sekarang ini. Apalagi jam sudah menunjukkan pukul 4 sore.
Alya yang sedang memotong sayuran sekilas menoleh kearah Naura yang sedang mendengguk segelas air.
"Dikampus dia, persiapan buat hari Senin nanti. Dia jadi panitianya loh dek."
"Lah tumben banget, mau jadi panitia ospek."
"Bilangnya sih di ajak temennya. Sekalian nyari dedek gemes katanya."
Tawa Naura menggelegar, sudut matanya sampe mengeluarkan air mata.
"Apaan dah, nyari dedek gemes."
"Pantesan kuping Abang gak enak, taunya lagi di gibahin."
Mendengar ada suara ketawa yang dia sendiri sudah kenal Kaivan yang semula mau langsung naik ke kamar mengurungkan niatnya itu. Dia berbelok menuju dapur. Dan ya, dugaannya benar saja, sepupunya sudah datang.
Kaivan mengacak rambut Naura gemas, bagi dia Naura tetaplah bocah kecil yang harus dia jaga. Padahal jarak usia keduanya tidak begitu jauh.
"Rambutku kusut abangg," rengek gadis itu terdengar membuat tersangka tertawa.
"Rambut begini doang, jelek."
"Enak aja."
Kaivan hanya terkekeh dan hendak mencomot gorengan yang baru saja dihidangkan, sang mama yang melihat itu langsung menggeplak tangannya.
"Kebiasaan, sana cuci tangan dulu."
Kaivan hanya bisa meringis kesakitan, hal itu tak luput dari pandangan Naura.
"Rasain, lagian jorok."
"Bocil."
"Enak aja, aku udah mau kuliah. Udah gede aku tuh."
"Gede nangisnya."
"Tanteeeeee."
"Abanggg, jangan dijailin adeknya."
Merasa mendapatkan pembelaan, Naura menjulurkan lidahnya, meledek Kaivan.
Jam sudah menunjukan pukul 7 malam, Naura masih berkutat dengan tasnya. Berusaha mengingat apa yang belum dirinya masukan kedalam tas. Walaupun dirasa sudah semua, tapi hatinya berkata lain. Masih ada yang mengganjal, tapi Naura belum tau barang apa yang akan dia masukkan.
"Ya Tuhan, untung aja gw buka nih grup. Lagian kenapa dadakan gini sih, gak jelas banget."
Mengambil dompet serta jaket, gadis itu keluar kamar dan menuju kamar Kaivan yang ada di sebelah kamarnya.
"Bang, abang tolong anterin aku ke gramedia." Tidak, Naura tidak masuk. Walaupun Kaivan abang sepupunya gadis itu masih tau batasan untuk tidak memasuki kamar Kaivan sebelum Kaivan mempersilahkannya masuk.
"Kenapa?"
"Minta tolong anter ke gramedia," ucapnya disertai dengan cengiran yang khas.
"Mau ngapain?"
"Beli ini, aku baru tau dadakan dikasih taunya bang." Gadis itu memperlihatkan serangkaian perintah yang tertera pada grup ospek di ponselnya.
"Oke bentar, mau tunggu dibawah apa masuk?"
"Aku tunggu dibawah aja."
"Oke cil."
🐡🐡🐡🐡🐡
Dirta Biru Kaivandara memasuki Gramedia setelah tadi memarkirkan mobilnya, tujuan utama dia ialah untuk membeli beberapa perlengkapan yang kurang untuk keperluan besok. Bukan tanpa alasan seorang ketua BEM melakukan hal ini, Dirta hanya akan hadir dihari terakhir ospek karena ada beberapa kegiatan yang harus cowok itu ikuti. Oleh karena itu, Dirta menawarkan bantuannya untuk membeli beberapa peralatan yang kurang.
"Tinggal karton merah," gumamnya kemudian berjalan pada rak yang berisikan karton.
Hap!
"Eh." Dirta menatap gadis dihadapannya dengan muka yang datar, gadis yang ditatap seperti itu hanya tersenyum canggung dan segera melesapkan genggaman tangannya pada tangan Dirta yang juga sedang memegang karton.
"Butuh ini?" Dirta menyodorkan karton itu pada gadis di depannya "Ambil."
"H-hah?"
"Ambil, lo perlu kan?"
"I-Iya kak, m-makasih kak." Dirta hanya mengangguk dan menatap kepergian gadis didepannya dengan tersenyum tipis, tipis sekali. Gemas pikirnya.
Naura melangkahkan kakinya terburu-buru, Kaivan yang memang sedari tadi menunggu didekat kasir mengerutkan keningnya bingung. Ada apa? Pikirnya dalam hati.
"Kenapa kamu? abis liat setan?"
"Iya, setan cakep tapi bang."
Kaivan menempelkan punggung tangannya pada dahi Naura "Gak panas, tapi ko gila."
"Ngawur, udah ayo bayar."
"Ada uangnya?"
"Ada sih, tapi kalo Abang mau bayarin ya gapapa. Mba ini Abang ku yang bayar ya. Makasih Abang, aku tunggu disana."
Kaivan menggelengkan kepalanya beberapa kali, diluar nalar tingkahnya si Naura tuh. Tapi tak apa, dirinya turut senang kalo Naura senang.
Kaivan menggeser badannya, mempersilahkan seseorang dibelakangnya menaruh belanjanya terlebih dahulu sembari dia menunggu kembalian.
"Lah anjir, nyari apa lu ta?"
"Cabe."
"Gigi lu cabe, orang lagi di gramed begini."
"Ya lu pake nanya anjir."
"Basa-basi doang monyet."
"Lo udah tau, gak usah basa-basi segala." Kaivan memutar bola matanya malas, temannya yang bernama Dirta itu super duper menyebalkan sekali.
"Dahlah, gw cabut duluan."
"Ya."
Naura tersentak, kaget tiba-tiba ada yang ngelus rambutnya dari belakang.
"Lama banget bang."
"Ngobrol bentar tadi, ayo."
"Ngobrol sama siapa?"
"Tuh." Naura mengikuti kemana jari Kaivan menujuk. Dirinya seperti tidak asing dengan cowok itu. Tapi ah sudahlah mungkin hanya kebetulan saja.
Bersambung...
-Tulipputihhh
KAMU SEDANG MEMBACA
Biru Eila
General FictionRumit Ini adalah cerita lengkap perjalanan Biru dan Eila. Barangkali lebih dulu kalian mengenalnya dengan tokoh "Dirta Naura" pada cerita lengkap ini aku kemas dalam judul "Biru Eila."