Sembilan

777 36 2
                                    

"Kok repot-repot bebawaan gini sih dek?"

Naura tersenyum, menanggapi sambutan dari Cicinya Dirta bernama Dita itu.

"Gapapa loh ci."

"Masuk dong ci."

"Ck! Sabar dong ta."

"Cepet."

"Sakit Dirta, astaga."

Naura tercengang melihat interaksi keduanya, tidak lebih tepatnya intraksi Biru kepada cicinya itu. Mengapa Biru berubah 180 derajat ketika dirumah? keterkejutan Naura tidak sampai disitu, ketika sampai didalam pun ia melihat sosok biru yang menghangat ketika tersenyum menghadapi bundanya dan dilanjut dengan mencium pipi wanita yang sudah melahirkannya itu.

"Oh ini yang namanya Naura."

Wanita bernama Irma itu tersenyum hangat, senyumannya persis sekali dengan Biru. "Iya tante, tante apa kabar?"

Irma mengerutkan dahinya, "Kok tante, bunda aja dong." dilanjutkan dengan senyuman khasnya.

"I-iya tan eh bunda."

"Kok repot-repot bawa makanan sih sayang? padahalkan disini juga mau makan kita."

"Gapapa bunda, semoga suka ya soalnya pas aku tanya kak Biru Ciwen atau bunda sukanya apa dia cuma jawab beli apa aja."

"Emang dia tuh ngeselin ra, kamu yang sabar aja."

"Masa?"

Atensi semuanya teralihkan dengan kehadiran Biru, setelah tadi berpamitan untuk mengganti baju kini cowok itu kembali dengan setelah casualnya.

"Yang bener ci?" Satu sentilan mendarat di kening Dira, ya siapa lagi kalo bukan Biru pelakunya. Perdebatan keduanya terjadi, hal itu tidak luput dari pandangan Naura. Gadis itu hanya menggaruk pelipisnya bingung, mengapa Biru mempunyai kepribadian ganda seperti ini?

"Kalian mau makan gak? kalo masih mau ribut bunda sama Naura mau makan duluan."

Memang pada dasarnya yang hanya bisa memisahkan perselisihan antara kakak dan adik iyalah suara orang tua. Naura tersentak kaget ketika bunda Biru mengelus tangannya dan tersenyum, "Ayo makan dulu nak."

"Ah, iya bunda."

"Naura ambil sendiri aja ya sayang, anggap aja rumah sendiri."

Naura tersenyum canggung, mau bagaimana pun keluarga Biru amat sangat baik memperlakukan dirinya. Seperti sudah akrab saja, padahal Naura hanya baru mengenal cicinya.

"Adek dimakan ikannya."

Uhuk!

Tuhan, untung saja masih bisa Naura tahan, kalo tidak dia sudah menyemburkan air yang sedang ia minum kepada Biru yang saat ini duduk di depannya. Modelan seperti Biru, manusia dingin yang disegani banyak orang ketika di rumah di panggil adek? tolong beri tahu Nair kalo dia tidak bermimpi.

Bunda Biru menepuk punggung Naura panik, sedari tadi batuknya tak kunjung henti. Naura langsung berpikir apakah ini azab karena ingin menertawakan seorang Biru, tapi benarkah secepat ini?

"Kerumah sakit aja yuk."

Naura menggelengkan kepalanya, menolak ajakan Dira. Hanya batuk begini saja, sampai harus di bawa ke rumah sakit. Yang bener aja?

"Udah mendingan?"

"Udah bunda."

"Minum, pelan-pelan."

Biru, lagi-lagi membuat hatinya goyah. Naura tidak bisa di beginikan, hati mungilnya langsung meronta-ronta.

Benar-benar berbanding terbalik. Entah mengapa ketika melihat Biru di rumah rasa kagum Naura terhadap Biru muncul. Bagaimana tidak tadi Biru menolak bantuan Naura untuk mencuci piring bekas makannya. Dengan dalih, "Lo tamu, duduk aja. Tamu kesini bukan buat cuci piring." Benar juga argumennya, tapi tetap saja Naura tidak enak. Dia tipikal manusia yang selalu menerapkan 'Jika sudah di beri makan, ya harap dibereskan' itu yang selalu orang tuanya ajarkan.

Dan saat ini Naura sedang duduk bersama Cici beserta bundanya Biru. Naura bukan manusia yang mudah bergaul, dia akan merasa welcome dan banyak omong ketika lawan bicaranya asik menurut dia. Ya seperti sekarang ini, Naura seperti pulang kerumahnya sendiri.

"Biru emang sering bantu beberes rumah Nau."

"Yang bener Bun?"

Bunda mengangguk, "Iya, nyuci piring tuh udah bagian tugas dia. Dia selalu bilang, bunda sama cici udah masak jadi bagian aku cuci piring."

Fakta baru terungkap, benar-benar Biru sulit ditebak.

"Bunda mau buat kue, kamu mau bantu bunda?"

"Mau bun."

"Tapi bunda belum beli bahan-bahannya, ci kamu ke minimarket gih."

Dira yang semula main hp, kini menampilkan deretan giginya kepada sang bunda. "Panas bun, Biru aja ya."

"Kalo di suruh ya jangan nyuruh balik," jawab Biru yang baru saja bergabung. Duduk di sebelah Cicinya itu.

Melihat adanya celah yang sangat memungkinkan untuk adek kakak itu kembali bertengkar, Naura memutuskan untuk menawarkan dirinya untuk membeli bahan-bahan yang bunda maksud.

"Kalo gitu, aku aja yang beli bun."

"Eh nggak, masa kamu yang beli." Bunda langsung mencegah dan menolak Naura. Dia yang mengajak Naura masa iya Naura yang harus membeli bahan-bahannya.

"Itu dek, berangkat sama Naura sana."
Cici menaik turunkan alisnya, mungkin berniat menggoda adiknya itu.

"Ayo."

"Hah?"

"Ayo."

"Kemana?"

"Lama. Bunda kirim aja list belanjaan nya sama aku."

Naura tercengang, Biru mengajaknya? Biru berbicara kepada siapa? Tapi tadi Biru tepat di depan dia.

"Susul sana Ra."

"H-hah i-iya ci."

🐡🐡🐡🐡🐡

"Terigu kak, bukan tapioka."

"Ini juga, bunda mintanya mentega bukan margarin. Taruh lagi."

Entah sudah kali keberapa Naura menggerutu kesal, Biru nih kalo tidak tahu ya sudah bilang. Jangan mengulang pekerjaan dua kali.

Sedari tadi yang melihat list belanjaan itu Naura, tugas Biru yaitu membawa troli. Tapi dengan insting dari seorang Biru dan bermodal ingatan yang tadi dia lihat pada layar ponselnya yasudah Biru ikut membantu, meskipun bantuannya membuat Naura kesal.

"Di cek dulu, sebentar."

Biru menatap Naura dengan tatapan kagum, namun tatapan itu berubah ketika Naura juga menatapnya.

"Udah?"

"Udah kak, ayo."

Mengapa cuaca akhir-akhir ini panas sekali, itu merupakan pertanyaan yang selalu berputar di kepala Naura ketika dia merasakan paparan sinar matahari yang luar biasa.

Naura mengibas-ngibaskan tangannya, udara yang keluar dari kibasan tangannya membatu sedikit untuk mengurangi rasa gerah. Mobil baru di hidupkan, AC pun belum terasa dingin.

Biru tadi pamit keluar, katanya sebentar, tapi sudah lebih dari 10 menit Naura menunggu dan cowok itu tidak kunjung datang. Menyebalkan.

Naura mendengar ketika suara pintu terbuka, tapi dia ingin acuh dengan memainkan ponselnya. Ya siapa suruh Biru lama sekali.

"Minum, trus iket rambutnya."

"Kamu tau dari mana aku suka matcha?"

"Gak perlu tau."

"Dihhh."

"Ikut rambut lo, apa perlu gw yang bantu iket?"

"Gak perlu, aku aja."

"Makasih loh kak, Matchanya sampe repot-repot beliin aku iket rambut juga."

















Bersambung...
Tulipputihhh

Biru EilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang