"Sepertinya aku diciptakan sebagai manusia yang minim amarah, terutama sama kamu kak."
-Naura Eila Artama
"Kantin gak?""Warung ibu aja deh Bel, sekalian mau kasih bekal buat Kak Biru."
"Yaudah, ayo!"
"Kak Dirta sakit apa ra?"
Naura menoleh, kini mereka berdua sedang menyusuri koridor fakultas sebelah. Karena letak warung Ibu ada di belakang sekali membuat Naura harus sabar jika Bella mengeluarkan beberapa pertanyaan kepo nya.
"Salah makan, mungkin."
"Kok mungkin?"
"Gue gak tau pasti."
"Kenapa gitu? Lo gak tanya? Tanya dong, pacar apaan gak nanya cowok nya."
Naura diam, mencoba mencerna kata-kata Bella barusan. Benar juga, sebenarnya dia pacar yang seperti apa? Tidak tahu keadaan pacarnya sendiri apakah pantas disebut pacar?
"Kok diem ra?"
"Cerewet banget lo bel, bingung mau jawab apa gue."
"Yehhh."
Beberapa meter lagi dia sampai, warung Ibu sudah masuk kedalam pandangan Naura dan Bella. Sambil berjalan, sesekali Naura merapikan penampilannya. Bagaimanapun perempuan harus tampil cantik bukan? Apalagi ingin bertemu sang pujaan hati.
"Sik asik asik, punya pacar sekampung."
Plak!
"Lu demen amat ngegeplak pala gue sih van?"
Nah kan, baru datang saja sudah di sambut dengan suara Dewa yang menggelar. Naura tersenyum ramah pada Dewa, begitu pun sebaliknya. Karena posisi Dewa yang menghadap pada pintu keluar masuk, jadilah cowok itu yang pertama kali melihat Naura datang.
"Sik asik asik, di datengin dua bidadari cantik."
"Sik asik asik, senengnya dibawain bekal."
"Nyanyi yang bener bego!"
Rangga ikut menyaut kesal, bukannya mendapat hiburan menyenangkan sehabis kuis yang melelahkan, malah mendapat hiburan seperti ini.
"Soasik lu ga."
"Lu anying."
"Diem deh, mau menyambut bidadari gue nih. Sini ayang-ayangnya aku sini manisss."
Dewa merentangkan tangannya, mempersilahkan Naura dan Bella masuk kedalam pelukannya. Namun yang dipersilahkan malah bergidik ngeri. Ternyata hal itu tidak luput dari pandangan Kaivan dan Rangga yang kini sama-sama telah memusatkan pandangannya pada objek yang dimaksud Dewa.
"Yeeee cewek lu ceunah, digibeng Dirta mampus lu," ucap Rangga mengingatkan.
"Hai."
Naura menyapa, namun tatapannya langsung tertuju untuk seseorang yang sedari kemarin ia tanyakan keberadaannya. Mendengar itu, Biru juga menoleh, sekilas. Memastikan dugaannya, dan ternyata benar itu Naura. Dia kembali fokus pada laptop dihadapannya, lagi-lagi membuat Naura menghela nafas pelan. Oke dia harus terbiasa dengan sifat Biru yang seperti ini, memang jika sudah cinta harus ada pengorbanannya bukan?
"Hai."
Dewa dan Rangga menjawab serentak.
"Udah makan dek?"
"Belum, ini baru mau cari makan."
"Pesen di ibu aja kalo gitu."
Naura mengangguk sebagai jawaban, duduk pada kursi yang telah Kaivan persiapkan. Kursi itu berdampingan langsung dengan Biru, tapi perhatian Biru tetap saja tidak teralihkan. Naura merasa seperti seseorang yang tidak kenal, atau hanya perasaan Naura saja?
Gadis itu membuka kotak bekalnya, pagi tadi dia telah membuat sandwich. Bisa di katakan sandwich rasa cinta, karena dia buat dengan penuh kasih sayang. Ah lebay, tapi memang begitu kenyataannya.
"Aku ada buat bekal, makan ya kak."
Naura menyampingkan egonya, dia tidak ingin marah pada Biru hanya karena tidak mendapatkan kabar kemarin. Bisa saja Biru beristirahat seharian dan lupa mengabarinya kan? Ya itu bisa saja.
Biru melirik sekilas pada kotak bekal yang Naura suguhkan, kemudian melanjutkan lagi tugasnya.
"Aku gak bisa makan roti."
Naura mengerutkan dahinya, "Kenapa?"
"Kamu gak perlu tau."
"Ya kenapa kak? Aku udah buatin kamu sandwich, supaya kamu gak jajan sembarangan lagi. Aku gak mau kamu sakit."
"Aku gak minta."
Naura tercengang dengan jawaban yang diberikan Biru, untung saja temannya yang lain sibuk memilih makanan dan hanya menyisakan dia dan Biru.
"Aku butuh alasan kak, kenapa? Kamu gak mau hargain usaha aku?"
Biru mengalihkan pandangannya, seperti mencari keberadaan seseorang.
"Wa!" Panggilnya dan Dewa menghampiri.
"Nih, makan."
"Lah." Dewa bingung, menatap ketiganya, Sandwich, Biru, dan Naura secara bersamaan.
"Makan, gue udah makan tadi."
"Iya kak, makan aja, kebanyakan aku buatnya."
"Bolllehhhhh bangetttt, makasih yaaa maniessss."
Naura tersenyum kecut, bukan itu yang Naura mau. Naura hanya butuh penjelasan, kenapa Biru gampang sekali membuat hatinya bersedih. Kenapa Biru tidak pernah memikirkan perasaan Naura. Bahkan untuk marah kepada Biru pun kenapa Naura tidak bisa?
"Aku pergi dulu, kamu jangan lupa makan."
Bersambung...
-Tulipputih
KAMU SEDANG MEMBACA
Biru Eila
General FictionRumit Ini adalah cerita lengkap perjalanan Biru dan Eila. Barangkali lebih dulu kalian mengenalnya dengan tokoh "Dirta Naura" pada cerita lengkap ini aku kemas dalam judul "Biru Eila."