"DASAR ANAK PEMBAWA SIAL!!!"
PLAK ...
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiriku. Tapi tak begitu terasa sakit, mungkin karena aku sudah terbiasa ditampar dan dipukuli. Dia adalah ibuku, yang selalu berharap agar aku tak pernah dilahirkan. Dari desas-desus yang aku dengar dari tetangga, ayah kandungku memukuli ibu saat sedang mengandung diriku. Setelah itu ayah ditangkap dan menghabiskan sisa hidupnya di penjara.
Saat kandungan ibu sudah tujuh bulan, seorang pria yang sekarang menjabat sebagai ayah tiriku, menikahi ibu. Aku yakin yang dia incar adalah harta milik ibu. Dia sering pergi mabuk-mabukan dan tak mempedulikan ibu saat kondisinya memburuk. Saat hari dimana aku lahir, ibu sempat koma beberapa hari sampai akhirnya dia kembali sadar.
Ibu membesarkanku dengan kasih sayangnya. Namun saat dia marah, ibu tak segan menamparku, memukulku dan apapun itu asal amarah ibu tersalurkan. Setelahnya, ibu akan menangis sambil memelukku. Dia meminta maaf berkali-kali sambil terus menangis sampai dia tertidur.
Oh iya, biar aku perkenalkan diriku. Namaku Andi Saputra. Tahun ini usiaku baru akan menginjak 17 tahun dan aku seorang siswa kelas tiga SMK. Diingat dari latar belakang keluargaku yang kurang beruntung, setidaknya masih ada hal yang bisa aku syukuri. Yaitu, kenyataan bahwa ibu masih mau membiayai sekolahku.
Ibuku terkena trauma mental, hal itu terjadi saat dia sadar setelah koma beberapa hari setelah melahirkanku. Itu yang dikatakan orang-orang. Sedangkan ayah tiriku adalah sampah masyarakat yang kerjaannya hanya mabuk-mabukan. Ada kalanya dia juga memukuliku. Aku ingin melawan, tapi tenaganya lebih kuat dariku.
Baiklah, aku rasa cukup menceritakan tentang "keharmonisan" keluargaku. Akan aku ceritakan tentang apa yang membuatku bisa bertahan selama ini. Yaitu, sekolah.
Di awal aku sekolah, aku benar-benar dirundung habis-habisan. Karena semua siswa di sekolah itu adalah anak-anak yang satu wilayah denganku, jadi mereka sudah tau latar belakangku. Aku dicap "anak haram", "pembawa sial", dan lain sebagainya. Aku tak memiliki teman dan kondisi itu terus berlanjut sampai saat kelas dua SMP.
Seorang murid pindahan masuk ke kelasku. Namanya adalah Arya Setiawan. Awalnya, dia juga tak memperdulikan aku yang selalu diam di kelas. Mungkin karena anak-anak lain sudah menceritakan latar belakangku padanya. Jika saat SD aku dirundung hanya dengan kata-kata, saat SMP, level rundungan mereka meningkat satu level, yaitu fisik.
Ada tiga anak yang kalau boleh jujur, ingin aku hajar sepuasnya. Mereka adalah Aldi, Rudi, dan Haris. Mereka menduduki jabatan sebagai preman sekolah dan aku adalah mangsa bagi mereka. Bisa saja aku melawan mereka, tapi yang ada adalah ibuku yang kena imbasnya. Tapi ada satu waktu saat mereka bertiga sedang menggangguku, seseorang datang dan memukul wajah Aldi. Dia adalah Arya si anak baru di kelasku.
"Kalo lu ngga ngelawan, selamanya lu bakal terjebak di posisi lu sekarang."
Satu kalimatnya itu yang sedikit memotivasiku saat itu. Aku juga tau akan hal itu, tapi aku tak ingin menambah masalah karena jika ada yang harus disalahkan, pasti mereka mengatakan bahwa aku yang memulainya. Walau begitu, aku masih tak bisa melawan. Tapi hari itu juga, aku melihat Arya yang mati-matian melawan mereka bertiga hanya demi melindungiku. Kakiku melangkah, tanganku mengepal dan satu pukulanku mengenai Rudi. Memang terdengar aneh, tapi aku merasa lega.
Kami berdua melawan mereka bertiga, dan kalian pasti sudah bisa menebak bagaimana hasilnya. Yap, kami kalah. Tubuhku terasa begitu lemas dan sakit. Tapi perasaan lega ini masih bersarang dalam diriku. Kami duduk menahan rasa sakit ini, dan dalam situasi ini, Arya tertawa.
"Hahaha ...,"
"Apa yang lu ketawain?"
"Kagak, gue cuma mikir kalo lu ternyata bisa berantem juga yah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jiwa yang Terikat
FantasyKematian yang tak masuk akal dan kebangkitan yang lebih tak masuk akal. Dunia lain? Apa benar hal itu nyata?