SEMBILAN-DAPHNEY FAMILY

18 4 0
                                    

Sembilan

Arusu hanya diam sambil menatap Helcia yang baru tiba di ruang keluarga, putrinya itu menunduk karena tidak berani menatap matanya. Amaya memilih untuk diam karena tidak ingin terkena semprotan dari Arusu, sedangkan Casildo menunggu Helcia untuk bicara, pria itu berharap apa yang akan dikatakan Helcia nanti sesuai dengan apa yang ia harapkan.

"Maaf karena sudah membuat malu keluarga." Helcia sadar bahwa tindakannya tadi benar-benar membuat malu, sama sekali tidak mencerminkan keluarga Daphney.

"Maaf itu tidak akan merubah apapun," kata Arusu dengan raut wajah sinis.

"Aku menerima perjodohan itu," kata Helcia dengan ragu, jelas saja dia tau bahwa Arusu tidak suka basa-basi, lebih baik dia mengatakan langsung keputusan yang belum ia yakini sepenuh hati itu.

"Jika sudah tau akan kalah, seharusnya tidak ada drama sebelum ini," ujar Arusu. Wanita itu merasa lega, tetapi tetap saja tidak bisa menghapus rasa kesalnya karena perbuatan Helcia yang benar-benar membuat dirinya malu di hadapan keluarga Byakta.

Helcia tidak membalas perkataan Arusu, cewek itu tetap diam karena masih merasa ragu dengan keputusannya sendiri. Helcia belum sepenuhnya menerima keputusan itu. Ucapan Casildo adalah satu-satunya alasan bagi Helcia untuk menerima perjodohan tersebut, jika bukan karena ucapan Casildo, Helcia tidak akan pernah menyetujuinya, tidak peduli jika Arusu akan sangat marah dan berakhir dengan memusuhinya.

Casildo menatap Helcia lalu tersenyum saat adiknya itu juga menatapnya, mencoba meyakinkan Helcia bahwa keputusan yang diambilnya ini tidaklah salah. Casildo akan memastikan Helcia hidup bahagia, meskipun tanggung jawab atas Helcia akan berpindah ke orang lain. Sedangkan Amaya hanya diam, suaranya tidak dibutuhkan disini, sehingga daripada membuat Arusu merasa marah, maka lebih baik Amaya diam.

"Casildo, kabarkan keluarga Byakta bahwa perjodohan ini akan tetap berlanjut," titah Arusu yang dibalas dengan anggukan oleh Casildo, pria itu langsung meninggalkan ruang keluarga karena handphonenya berada di kamar.

"Amaya, kau yang akan mengurus segala hal yang dibutuhkan, mulai dari pertunangan hingga pernikahan nantinya. Makanan, tempat, pakaian, dan yang lainnya, itu semua menjadi tanggungjawab mu."

Amaya menatap Arusu dengan pandangan terkejut, tidak menyangka jika Arusu akan memberikan tanggungjawab seperti itu padanya.

"Ada apa? Kau tidak mampu? Sebagai menantu, sudah seharusnya kau mengurus pernikahan adik dari suamimu," kata Arusu yang sadar jika Amaya terkejut mendengar ucapannya.

"Tidak, Ma. Saya akan melakukannya." Amaya merasa senang karena Arusu memberikan tanggungjawab tersebut padanya, Arusu bersikap seolah-olah dia adalah menantu yang diharapkan.

"Bagus, kita akan segera membahasnya dengan keluarga Byakta." Arusu mengalihkan pandangannya dari Amaya ke Helcia. "Kau pergilah beristirahat, dan jangan membuat kekacauan lagi."

Helcia mengangguk sekali lalu pergi menuju ke kamarnya, cewek itu masih merasa kecewa pada Arusu yang mengambil keputusan tanpa bertanya apa yang diinginkannya. Mamanya mengambil keputusan itu hanya untuk keuntungannya sendiri, menjalin hubungan kekeluargaan dengan keluarga Byakta tentunya akan memberikan banyak keuntungan pada bisnis yang mereka jalankan.

Amaya duduk dengan kaku karena hanya tinggal dirinya dan Arusu yang berada di ruang keluarga, tentu saja hal itu bukanlah sesuatu yang bagus mengingat hubungan keduanya yang tidak seakrab itu meskipun sudah tinggal bersama bertahun-tahun.

"Dan kau Amaya, pergi dan pastikan ketiga anakmu baik-baik saja, khususnya Barbie karena besok dia memiliki banyak kegiatan. Pastikan dia istirahat dengan cukup dan minum susu sebelum tidur," titah Arusu.

Amaya mengangguk dengan cepat karena hal itu bisa menjadi alasannya untuk segera pergi dari ruang keluarga.

"Baik, Ma. Saya permisi dulu."

Amaya berjalan dengan perlahan menuju ke kamar Barbie karena wanita itu tau jika mertuanya masih memperhatikannya, dan jika ia jalan dengan terburu-buru maka Arusu pasti akan kembali menegurnya. Arusu sudah memperingatkan Amaya agar selalu bersikap anggun meskipun di dalam rumah agar Amaya terbiasa.

"Barbie? Kamu belum tidur sayang?" tanya Amaya pada Barbie yang sedang memperhatikan kotak musiknya dengan seksama.

"Mama kenapa Barbie harus ikut banyak les? Barbie capek, Mama. Setelah selesai satu les, Barbie harus ikut les lain," keluh Barbie.

Jadwal yang begitu padat membuat anak tersebut merasa lelah dan juga bosan, jarang sekali dirinya bermain di taman ataupun bersama teman-teman sebayanya. Sejak pagi hingga malam, selalu saja ada kegiatan yang harus dia lakukan dan semakin hari jumlahnya semakin banyak saja.

Amaya tidak bisa mengatakan apapun, dia memahami apa yang dirasakan Barbie, tetapi tidak ada yang bisa dia lakukan. Meminta Arusu untuk mengurangi kegiatan Barbie sama saja dengan memancing amarah mertua dan suaminya.

"Supaya Barbie bisa banyak hal dan jadi pintar, makanya Barbie harus sering belajar."

Dada Amaya terasa sesak saat mengatakan hal tersebut, sebagai seorang ibu dia merasa begitu tidak berguna untuk anaknya, bahkan keluhan anaknya saja tidak bisa ia tanggapi. Amaya tidak memiliki kuasa atas anak-anaknya meskipun ia adalah ibunya.

"Tapi capek, Mama."

Amaya memeluk Barbie dengan erat, keluhan yang diucapkan anaknya dengan suara lirih membuat wanita itu semakin merasa sedih.

Ini adalah salahnya, seharusnya ia bisa mengendalikan semua itu. Jika saja dia tidak menikah dengan Casildo, maka anak-anak yang akan ia lahirkan tidak akan merasa tertekan seperti ini. Mungkin anak-anak Casildo tetap akan merasakan hal yang sama, tetapi dia bisa melindungi anak-anaknya.

Barbie, Hela dan Saschya akan merasakan hal yang sama, dan itu semua karena dirinya. Apa yang harus Amaya lakukan untuk menghindari semua itu? Apa ada yang bisa dia lakukan? Atau dia hanya bisa pasrah menyaksikan anak-anaknya melakukan berbagai kegiatan saat mereka seharusnya masih bersenang-senang dengan mainan?

"Barbie mau tidur sekarang? Mama temani," kata Amaya setelah sedikit menjauhkan tubuhnya dari tubuh Barbie, tetapi tangannya masih melingkari punggung anak itu.

Barbie mengangguk dan Amaya langsung menggendong putri sulungnya itu, meskipun berat Barbie sudah tidak bisa dikatakan ringan lagi, Amaya tetap berusaha memberikan hal tersebut.

"Mama sayang banget sama Barbie," bisik Amaya setelah membaringkan Barbie.

"Barbie juga sayang banget sama Mama, jangan tinggalin Barbie ya, Ma?" pinta Barbie penuh harap.

Amaya mengangguk sambil tersenyum, kemudian menarik selimut yang berada di bagian bawah tempat tidur hingga sampai ke perut Barbie.

"Sekarang tidur ya, supaya besok bisa bangun pagi. Mau jalan pagi nggak sama Mama?" tanya Amaya.

Barbie mengangguk dengan antusias lalu mulai memejamkan matanya, berharap dia segera terlelap agar bisa bangun pagi di keesokan harinya.

Amaya mengusap kepala Barbie, menatap wajah polos putrinya yang harus menanggung beban karena menyandang nama Daphney di belakang namanya.

"Seharusnya nama itu tidak pernah kita pakai, Nak," bisik Amaya kemudian ikut memejamkan matanya.

🐰🐰🐰

Rabu, 3 Januari 2024

Daphney FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang