[4] Kesempatan Berharga

39 9 2
                                    

Jika pada kenyataannya tidak pernah ada kisah yang dimulai, biarkan aku memulainya di dalam tulisanku.

***

Hari rabu siang, Dineshcara menyembunyikan wajahnya di lipatan tangan. Ia sudah duduk di kursi belajarnya menghadap laptop selama hampir dua jam, tapi belum juga mendapatkan ide untuk tulisannya.

Dineshcara sudah memiliki konsep untuk karya barunya, tapi ia masih bingung bagaimana cara untuk mengeksekusinya? Secara gadis itu tidak pernah menempatkan seseorang yang hadir di dalam kehidupannya sebagai sosok yang memberikannya inspirasi. Apalagi dia ia tempatkan sebagai tokoh utamanya.

Ternyata karya yang sepenuhnya fiksi tidak sesulit sebuah karya yang terinspirasi sepenuhnya dari seseorang.

Dineshcara membuka ponsel dan mengirimkan pesan kepada Minara. Si pemilik kunci dari segala kebingungannya.

Minara Duta Milkita

Nar, bisa ke rumah gue sekarang gak? Gue ada milkita satu renceng nih.

SERIUS?!

OTW NGEBUT!

Dineshcara tertawa pelan. Jika sudah menyangkut tentang permen, Minara akan sangat bersemangat. Apalagi yang gratisan. Lagian siapa juga yang akan menolak jika diberi secara cuma-cuma?

Untung saja Harini—mamanya selalu menyetok berbagai makanan, minuman, sampai berbagai jenis permen pun ada di rumah. Sengaja disiapkan untuk Dineshcara dan adiknya.

Dineshcara kembali menatap laptopnya. Berpikir setidaknya bisa menyelesaikan sinopsis karyanya saja ia sudah bersyukur. Ya kalau boleh sampai pada tokoh dan penokohan, serta hal-hal dasar lainnya.

Tidak sampai sepuluh menit sejak Dineshcara meminta Minara untuk datang, gadis itu sudah sampai di depan pintu dan mengetuknya. Jika saja Dineshcara mood-nya sedang berantakan, Minara bisa dimarahi habis-habisan lantaran harus membuatnya berjalan keluar dari kamar hanya untuk membukakan pintu si tuan putri.

"MASUK, NAR, GAK DIKUNCI KOK!"

Teriakan Dineshcara terdengar sampai ke luar membuat Minara yakin dan berani untuk masuk karena sudah mendapatkan izin. Gadis dengan style rambut dikuncir kuda itu segera menerobos masuk sembari terus memastikan takut-takut ada ayah Dineshcara.

Tanpa basa-basi apapun Minara juga langsung membuka pintu kamar Dineshcara. Merebahkan tubuhnya di atas ranjang sembari menikmati dinginnya AC. Sungguh, suhu udara di luar sangatlah panas dan jika bukan karena permen milkita yang disebut-sebut oleh Dineshcara, Minara tidak akan rela panas-panasan seperti ini.

"Mana permennya?" tanya Minara setelah merasa lebih baik dan bisa beradaptasi dengan suhu ruangan di kamar milik Dineshcara.

"Ambil aja di meja dekat kamar mandi," jawab Dineshcara mempersilakan Minara untuk beranjak mengambil permen.

"Ih masa gue harus ke dapur dulu? Gue udah enak nih di sini adem, Din."

"Bukan kamar mandi luar, Minara. Kamar mandi yang ada di kamar gue. Tuh di situ ada meja, di atas meja itu ada banyak makanan sama minuman. Lo bawa aja ke sini." Dineshcara berbicara sembari menunjukkan letak meja dan kamar mandi yang ada di kamarnya.

Setelah mengerti dengan arahan Dineshcara, Minara segera beranjak. Berlari kegirangan akhirnya ia bisa memakan lagi permen kesukaannya. Di masa sekarang, Minara mulai kesulitan menemukan permen kesukaannya ini. Jika bukan karena kebetulan pun ia tidak bisa menemukannya.

Prolog Tanpa EpilogWhere stories live. Discover now