Nanti, tentangmu akan aku kenalkan pada hujan. Tentang bagaimana sikapmu, bagaimana cara tuturmu yang lembut itu.
***
"Gue harus jadiin lo pacar dulu nih?" tanya Ishara memastikan ia tidak salah mendengar.
"Eh, tapi bukan maksudnya aku nembak Kak Ishara loh, ya! Aku anti nembak cowok duluan, Kak," elak Dineshcara.
Ishara terkekeh mendengar apa yang dikatakan Dineshcara katakan. Memang bukan tugas Dineshcara—sebagai seorang perempuan untuk mengajak laki-laki berpacaran. Walaupun mungkin bisa saja itu terjadi pada kisah orang lain, tapi Ishara tidak akan membiarkan perempuan melakukan hal tersebut padanya.
"Tunggu sebentar lagi, ya, Din?"
Dineshcara mendongak, memberanikan diri menatap manik kecokelatan milik kakak kelasnya yang baru saja lulus beberapa minggu yang lalu. Tatapannya seolah meminta penjelasan maksud dari kata tunggu yang Ishara katakan.
"Emangnya Kak Ishara mau ke mana?" Gadis itu justru membalikkan pertanyaan.
"Ha? Enggak ke mana-mana, ma–maksud gue ... tunggu aja dulu, ya? Masih mau nunggu, 'kan, Din?"
Dineshcara hanya membalas dengan senyuman tipis dan berhasil membuat Ishara membuang napas lega. Gak apa-apa nunggu berapa lama pun kalau akhirnya aku bisa sama kamu, Kak, batinnya.
***
Perkataan Ishara siang tadi selalu terdengar dan berputar di ingatannya. Entah berapa lama lagi Dineshcara harus menunggu laki-laki yang disukainya sejak duduk di bangku kelas tujuh saat putih biru.
Tak apa, setidaknya ia menunggu pun atas permintaan Ishara. Dineshcara tidak mempermasalahkan perihal ia yang harus menunggu, yang terpenting ia tidak menunggu selesainya hubungan orang lain.
Cukup saat awal ia menyukai Ishara saja hal itu terjadi karena setelahnya ia berusaha melupakan perasaannya. Jika hal itu harus terjadi lagi, Dineshcara berjanji tidak akan pernah menyimpan rasa untuk Ishara lagi sedikit pun.
Jika orang lain dapat menatap matanya dengan baik, bahkan hanya dengan ujung matanya saja pasti akan mengerti mengapa ia bisa sejatuh ini kepada sosoknya yang begitu tenang.
Ah, sudahlah. Sudah cukup Dineshcara memikirkan hal-hal yang sudah terjadi. Ia baru saja teringat belum memposting fotonya dengan Ishara.
Dineshcara memilih untuk membuka galeri di ponselnya dan mencari foto yang pas untuk diposting. Sebelum itu, ia juga menambahkan lagu yang cocok di foto tersebut. Setelah dirasa cukup puas, Dineshcara segera mempostingnya di akun Instagram miliknya—tentu saja di second account, akun di mana ia berani mengeskpresikan dirinya dan Ishara pun bisa melihatnya.
Gadis itu tidak memiliki cukup keberanian untuk menambahkan Ishara di dalam mention. Biar saja orang-orang yang bermutualan dengannya di akun tersebut yang dapat melihatnya. Jika ia nekat menambahkan Ishara dalam mention, bisa semakin banyak saja yang mengetahui tentangnya dan Ishara. Sebenarnya Ishara tak masalah jika akan ada banyak yang tahu, tetapi akan sangat bermasalah kepada Dineshcara.
Tidak lama dari Dineshcara memposting itu, notifikasi di ponselnya sangat ramai dan mempertanyakan hubungannya dengan Ishara yang sebenarnya. Bagaimana Dineshcara bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu di saat Ishara sendiri baru saja memintanya untuk menunggu.
Bodoh! Dineshcara merutuki dirinya sendiri. Benar, ia bodoh karena telah memposting yang tak seharusnya.
Saat tengah menggulir notifikasi-notifikasi itu, Dineshcara berhenti di notifikasi dari Ishara. Laki-laki itu tetap kukuh memintanya untuk menambahkannya ke dalam mention.
YOU ARE READING
Prolog Tanpa Epilog
Teen Fiction"Aku menunggumu hingga hari esok. Jika esok kamu belum juga kembali, maka setiap hari adalah esok." -Dineshcara Elakshi. Bercerita tentang seorang gadis yang mengagumi kakak kelasnya dan bertekad akan mengabadikan sosok kakak kelasnya itu ke dalam s...