15. I know

41 2 5
                                    

Aku akhirnya pulang ke rumah, setelah mengompres mataku dengan es batu di sepanjang jalan.

Ketika membuka pintu, aku melihat pemandangan hangat yang familiar. Ada Ayah, Ibu dan Doyoung yang sedang duduk di depan televisi sambil mengupas kacang.

"Eh, kamu udah pulang?" kata Ibu yang pertama kali menyadari kehadiranku.

"Iya," aku mengangguk kecil sambil masuk dan ikut duduk di antara mereka. "Maaf ya pulangnya lama, tadi ke rumah Siwan dulu soalnya dia sakit,"

"Yaudah sana ganti baju, kita makan bareng yuk?"

"Tadi udah makan di rumah Siwan. Soalnya ada Ara di sana, dia yang masak," jawabku lagi. Yang ini sih aku bohong, aslinya, aku nggak napsu makan.

"Oh, yaudah. Mandi aja sana," lanjut Ibu. "Nggak tau kenapa kamu bau asap,"

Aku mencium bauku sendiri, lalu meringis pelan. Yah, seberapa jauh aku berbohong, tetap saja jejak yang ku tinggalkan nggak bisa menutupinya. Aku kan berdiri terlalu lama di jembatan penyebrangan.

"Iya deh," jawabku seadanya lalu naik ke atas tangga.

Di sudut mataku, aku melihat Doyoung yang akhirnya bangkit dan mengikutiku hingga ke depan pintu kamar. Aku membiarkannya.

Hari ini aku terlalu lelah karena telah membuat keputusan. Aku nggak punya energi untuk mendorongnya mundur.

"Mihi, kamu mau susu hangat gak? Aku yang bikinin?" Kata Doyoung tanpa rasa bersalah dan sudah duduk di atas ranjangku lebih dulu, sementara aku sibuk meletakkan tas dan menggantung coat.

Aku terdiam sebentar, lalu menatap Doyoung.

Haruskah aku bertanya soal ingatan Siwan padanya? Apa saja ingatan yang telah dia ubah? Mengapa dia mengubah ingatan Siwan dan membiarkan ingatanku tetap ada?

Eh.

Tunggu.

Jangan bilang kalau Doyoung masih belum tau kalau aku udah mengetahui segalanya? Makanya dia hanya mengubah ingatan Siwan karena menganggap dia membahayakan?

Aku mengerutkan kening, baru saja menyadari fakta ini.

"Mihi?"

Aku terkesiap, mengerjapkan mataku beberapa kali. "Ah! Anu .. nggak deh, gakpapa. Makasih ya, Doyoung," kataku dengan senyum canggung.

Doyoung menipiskan bibirnya, lalu mengangguk maklum. "Kamu kayaknya capek banget. Emangnya gimana keadaan Siwan?"

Aku tersenyum kecil.

Apa ini?

Apakah aku sedang di uji berdasarkan jawabanku?

"Dia baik-baik saja," jawabku kemudian.

Aku pergi ke kamar mandi sebentar untuk mencuci muka dan kaki, ganti baju dan menatap diriku di cermin. Wajahku berantakan. Seberapa lama aku mampu pura-pura dengan wajah ini?

"Doy," panggilku sambil menghampiri Doyoung yang masih duduk di ranjang. "Apakah aku cantik?"

Doyoung menatapku sebentar lalu tersenyum, menyisir rambutku dengan jari-jari nya. "Cantik," katanya pelan. "Kenapa bertanya?"

"Apakah kamu mencintaiku?"

Doyoung tersenyum lagi. "Tentu, kenapa sih?"

Aku bisa merasakan mataku yang memanas, nggak mampu membedakan apakah itu jawaban yang jujur atau tidak. Pelan-pelan, aku memeluk Doyoung, membiarkan tubuhku hilang dekapannya.

"Kamu kenapa?"

"Aku capek banget," jawabku seadanya.

Doyoung mengangguk dan nggak bertanya lagi. Dia ikut memelukku sampai lama hingga aku terlelap di sana.

Phosphenous | Kim Doyoung |✓|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang