2. Bab 3 dan Bab 7?

986 69 0
                                    

"...ketemu sama dia.....dia nantangin Tya buat....aneh kan?"

Sayup-sayup aku mendengar suara familiar itu. Aku merasa sudah sadar, tetapi aku kesulitan membuka mata.

Sepertinya aku sedang berbaring dengan tangan kananku digenggam oleh seseorang. Mungkin itu adikku. Aku berusaha membuka mata meskipun terasa berat.

Perlahan, cahaya masuk dan penglihatanku semakin jelas. Hal pertama yang kulihat adalah wajah khawatir adikku.

"Ka-kakak?! Kakak udah sadar? Oh... dokter. Aku harus panggil dokter!" setelah mengatakan hal itu, adikku berlari keluar dengan tergesa-gesa. Mataku masih terasa berat tapi aku tidak ingin menutup mata.

Aku melihat sekitar. Ruangan serba putih ya... aku jadi teringat mimpiku tadi. Tidak seperti ruangan serba putih di mimpiku, tempat ini memiliki furnitur yang sedikit berwarna dengan bau disinfektan khas rumah sakit.

Dari tempatku berbaring, aku bisa melihat pepohonan yang rindang dari balik jendela. Langitpun terlihat cerah dengan beberapa awan yang menghiasi.

Syukurlah, aku tidak lagi bermimpi.

Berada di ruangan serba putih tanpa ada warna lain seperti di mimpi membuatku merasa takut. Aku merasa lega dapat melihat warna lain di sekitar.

Tidak lama kemudian, dokter datang dan memeriksa keadaanku.

Aku dikabarkan tidak sadar selama hampir seminggu. Kecelakaan itu membuatku terluka parah, sementara Listya hanya mengalami luka ringan. Orang yang menabrak kami juga terluka parah di seluruh tubuhnya karena mengendarai motor dengan kecepatan tinggi.

Untungnya, orang itu baik-baik saja selain mengalami luka di seluruh tubuh.

Dokter meminta Listya untuk menghubungi orang tua kami setelah itu beliau menyuruhku beristirahat lalu beranjak pergi.

Listya menelepon ayah dan ibu, mengabarkan aku sudah sadar. Setelah itu, gadis yang masih menggunakan seragam olahraga itu duduk di kursi samping tempat tidur dan memegang tanganku erat.

"Kamu engga papa?" tanyaku dengan suara serak. Mungkin karena terlalu lama tidak berbicara aku kesulitan mengeluarkan suaraku. Tubuhku pun terasa lemas dan sulit digerakkan. Namun, aku tidak terlalu khawatir. Aku pasti baik-baik saja karena dokter pun menyarankan supaya aku istirahat.

Tentu, dengan senang hati aku akan beristirahat.

Mendengar ucapanku, Listya mengangguk dengan semangat. "Iya, Kak. Tya engga papa." Dia menepuk-nepuk lengannya yang kuat dan memamerkan bekas luka di sikunya dengan bangga. Katanya, "tadi aja Tya udah latihan karate, tau Kak. Keren, Kan?"

Aku tersenyum, syukurlah adikku ceria seperti biasanya. Aku sempat panik karena keadaanku yang tidak cukup baik dengan gips dan perban di sana-sini. Sudah kuduga, adikku memang kuat secara fisik. Meskipun begitu...

Mataku menatap iris hitam adikku lekat. "Tya..." panggilku pelan. Gadis itu segera mendekat untuk mendengar suaraku lebih jelas.

"Engga papa..." aku mengelus tangannya dengan ibu jariku, "jangan ditahan... nangis aja engga papa."

Setelah aku mengatakan hal itu, tangis Listya pecah.

"Kenapa cuma aku yang engga kenapa-napa? Kenapa Kakak lebih sakit daripada aku? Kenapa engga aku aja yang sakit gantiin Kakak?"

Dia menyalahkan diri sendiri karena tidak bisa menghindar dari motor dengan benar. Dia merasa takut kehilanganku karena aku tidak sadarkan diri berhari-hari. Dia merasa bersalah.

Aku merasakan air mata menetes di tanganku. Gadis kecil ini... dia menunduk dan menempelkan dahinya pada punggung tanganku. Menangis dengan puas di sana dan aku hanya bisa mengelus tangannya dengan lembut.

That Female Lead is My SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang