4. Perawat

696 60 2
                                    

"Hm... kamu ngerasa aneh sama perilaku temenmu, ya? Mungkin kamu bisa cari tahu alasannya, kakak takut temenmu kenapa-napa tapi dia engga enak ngomong ke kamu."

Aku berusaha sebisa mungkin tidak mengatakan bahwa temannya memiliki niat tidak baik.

Jika Listya sudah menganggap seseorang baik, sulit membuatnya percaya hal buruk yang mungkin dilakukan oleh orang tersebut. Kecuali, Listya melihatnya dengan mata kepalanya sendiri.

"Oh gitu...", Listya mengangguk mengerti. "Yaudah, Tya nanti tanya ke temen-temen yang lain."

Setelah itu, kami pun membicarakan hal lain sembari memakan jajanan yang dibawa olehnya. Terdapat cilok, cimol, cilor, baso tusuk, crepes, batagor, siomay, piscok, bahkan sate pun ada.

"Engga salah nih, kamu bawa jajanan sebanyak ini?" tanyaku masih merasa takjub dengan banyaknya makanan yang tersedia di atas meja.

Listya menarik meja supaya berada lebih dekat dengan kasur, dia juga memasang meja kecil di tempat tidurku.

Gadis itu tersenyum lebar, "Bakal abis kok, tenang ajaaa."

"Uh... yaudah. Yang penting kamu seneng deh," aku menunjuk sate yang dilumuri saus kacang, "mau itu dong, Tya. Tolong."

Listya pun mendorong sate dengan dua tusukan supaya dagingnya terlepas. Lalu dengan satu tusuk sate, gadis itu menyuapiku. "Enak?" tanyanya setelah aku mengunyah beberapa saat.

Aku mengangguk senang. "Ini tukang sate yang depan gerbang sekolah itu, bukan? Saos kacangnya enak."

"Iyaa, Tya juga udah lama engga beli sate. Kata abangnya udah lama engga dagang tuh soalnya istrinya lahiran. Terus tadi tuh baru dagang lagi makanya Tya langsung beli," ujar Listya sebelum menggigit salah satu potongan batagor.

Tak lama, pintu terbuka menampilkan beberapa dokter yang menatap kami tak percaya.

"Ya ampun, ada yang buka stand jajanan kah?"

Sontak kami pun berhenti mengunyah dan saling menatap. Oh... kami lupa ini adalah rumah sakit. Baunya pasti akan kemana-mana. Meski ruangan ini hanya ditempati satu pasien, tapi entah kenapa aku merasa bersalah.

"Hehe. Siang, Dok. Dokter mau siomay?"

Dengan polosnya, adikku menawari siomaya yang masih terbungkus.

Anehnya dokter tersebut menerimanya dengan senang hati.

Jadi, ini baik-baik saja ternyata haha.

***

Hari ini adalah hari terakhirku menginap di rumah sakit. Selama ini aku sudah melakukan rehabilitasi untuk melancarkan gerakan tubuh supaya aku bisa beraktivitas seperti biasa.

Aku sudah bisa mengangkat kedua tanganku, menunjuk, menolehkan kepala ke kanan dan kiri, lalu aku juga bisa menggerakkan jari-jari kakiku.

Namun, proses penyembuhanku berjalan lambat dan aku lumayan bosan berada di sini.

Dokter menyarankan supaya aku dirawat di rumah saja dan datang seminggu sekali ke rumah sakit. Terlebih sudah ada perawat yang dapat membantu proses rehabilitasiku.

Isma namanya, gadis yang hanya terpaut usia 5 tahun denganku telah menjadi perawatku selama seminggu. Dia bekerja untuk mengumpulkan biaya kuliah.

Isma sangat suka berbicara, aku senang karena tidak perlu susah payah mencari topik obrolan. Terlebih, dia sangat kuat bahkan bisa menggendong tubuhku ke sana kemari.

"Kak, kata adikku ada taman di rooftop. Kita lihat ke sana, yuk!" ajakku setelah menyelesaikan urusanku di kamar mandi.

"Ayuk!" Isma menggendong tubuhku yang lemah ini ke kursi roda. "Lily juga perlu jalan-jalan, bosen kan di kamar aja."

Aku mengangguk setuju. Kami keluar dari kamar setelah Isma mempersiapkan hal-hal supaya aku tidak akan kedinginan nanti.

Rumah sakit tampak ramai dengan lalu lalang orang. Baik itu perawat, dokter, pasien ataupun keluarga pasien. Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing.

Aku mendongak menatap langit-langit rumah sakit.

Eskalator dan lift pun terlihat sibuk. Gedung berlantai 10 ini benar-benar luas ternyata. Aku yang sudah tinggal di tempat ini selama sebulan pun belum cukup untuk menghafal tata letaknya.

Untung saja Ayah, Tya dan Isma memahami tempat ini dengan baik. Jadi aku hanya perlu mengikuti mereka saja, hehe.

Isma menekan tombol panah ke atas ketika kami sampai di depan lift. Agak lama memang, lift yang kami tunggu akhirnya datang. "Lift di sini kayanya lebih gede ya, daripada di gedung sebelah."

Aku mengangguk, "Iya, mungkin karna di sini satu liftnya kalo di gedung sebelah kecil tapi ada dua. Sama aja."

Lift memiliki dinding yang transparan. Berada di tengah gedung ini membuat orang yang berada di dalam lift tidak bosan. Kesibukan orang-orang di rumah sakit dapat terlihat melalui kaca transparan ini.

Tidak denganku, aku hanya bisa menunduk dan menatap kaki menghindar untuk melihat pemandangan itu. Aku takut tinggi. Untungnya lift ini cukup bagus sehingga pergerakannya tidak terasa sama sekali.

'Ting! 10th floor'

Suara wanita terdengar membuatku mendongak. Pintu lift terbuka lalu Isma mendorong kursi rodaku keluar. Kami hanya perlu keluar dari lift maka taman rumah sakit sudah di depan mata.

Taman ini bisa dibilang tidak terlalu luas tapi cukup untuk 10 orang beristirahat. Terdapat bangku taman, bunga, serta pepohonan yang tidak terlalu tinggi. Selain itu terdapat gazebo dengan atap yang dapat menutup secara otomatis ketika hujan.

Isma membawaku ke samping bangku taman lalu ia duduk di sampingku. Aku menatap langit yang cerah namun masih memiliki awan tersebar di mana-mana.

Udaranya segar. Suhu pagi ini pun tidak terlalu dingin ataupun panas. Lalu, hanya sedikit orang yang berada di tempat ini.

Mungkin karena masih pagi.

Aku hanya melihat ada seorang dokter yang sedang duduk sambil bermain handphone di bangku yang lain.

Aku menghela napas lega. Rasanya tenang sekali. Meski aku suka tempat ini, aku tidak berminat untuk sering datang. Yah, siapa juga yang ingin berlangganan rumah sakit?

Tidak pernah terlintas di pikiranku bahwa aku akan menjadi seorang pasien. Aku menunduk, menatap kedua tangan dan kakiku yang lemah. Lalu terkekeh pelan, menyedihkan juga ternyata.

Tidak bisa melakukan aktivitas sehari-hari tanpa dibantu. Tidak bisa pergi ke sekolah. Tidak bisa menggunakan ponsel.

Rasanya seperti bayi yang baru lahir namun dengan kesadaran orang dewasa.

Melihat suasana hatiku yang suram, Isma mencoba meningkatkan mood. "Kamu mau sarapan dulu? Tadi saya liat di lantai 9 ada café baru buka."

Aku menoleh ke arahnya, lalu menangguk pelan. "Sarapannya kaya kemarin aja, Kak."

"Air anget sama roti bakar telur keju?" tebak Isma lalu menunjukku dengan jari telunjuk dan jempol, ia tersenyum jenaka membuatku terkekeh.

"Anda benar!" ujarku bersemangat dengan nada seperti pembawa acara. "Kakak juga beli aja pake kartu yang dikasih Ayah."

"Oke!" Isma berjalan menuju dokter yang duduk tak jauh dari kami. Mereka kemudian menatapku sehingga aku mengangguk dan tersenyum canggung.

Isma kembali ke arahku dengan dokter muda itu mengikuti di belakangnya. "Kalo ada apa-apa, bilang ke dokter ini ya. Kakak keluar dulu." Lalu ia pergi menuju lift.

Dokter laki-laki itu duduk di sampingku. Setelah mengangguk sopan, ia kembali menggulir layar ponselnya menggunakan jari telunjuk.

Aku melirik untuk kedua kalinya karena melihat hal itu. Unik juga.

Tidak seperti orang tua yang menggunakan kedua tangan, laki-laki itu bermain ponsel dengan satu tangan serta jari telunjuk dengan tangan yang sama untuk menggulir.

That Female Lead is My SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang