11. Keputusan

419 39 1
                                    

Untuk permintaan maaf karena terlambat update, minggu ini dua chapter hehe.

Selamat membaca~

***

"Kamu yakin sama keputusan kamu?"

Malam harinya, kami sekeluarga berkumpul di ruang TV untuk menonton pertandingan voli. Kegiatan yang rutin kami lakukan setiap akhir pekan ini menjadi kesempatanku untuk mengatakan hal yang menjadi pikiranku selama seminggu ini.

Aku duduk di sofa bersama ibu sementara ayah dan Listya duduk di atas karpet sambil memakan kacang. Pertandingan voli belum dimulai. Oleh karena itu aku langsung mengatakan keputusanku.

"Iya," ujarku menjawab pertanyaan ibu.

"Alasannya?"

Aku menatap adikku yang juga sedang melihatku. Ia terlihat terkejut dengan keputusanku tapi tidak mengatakan apapun.

"Soalnya, aku masih mau berangkat sekolah bareng sama Tya." Alasan sederhana yang mendasari keputusanku.

Ya, aku ingin tetap sekolah formal. Selain karena aku ingin menghabiskan masa remajaku bersama adikku, melihat perkembangannya di sekolah dari hari ke hari, aku juga ingin menjaganya dari dekat.

Dengan adanya kemampuan yang entah bagaimana aku dapatkan ini, setidaknya, jika aku tahu adikku akan mengalami masalah, aku bisa menghentikannya merasakan rasa sakit yang lebih besar.

Aku tahu adikku sangat kuat. Namun, tidak berarti bahwa dia tidak merasakan sakit.

Senyuman cerah di wajahnya tidak boleh hilang karena orang lain menyakiti hatinya. Tidak akan kubiarkan hal itu terjadi.

Mungkin, rasa sakit bisa membuat seseorang bertambah kuat. Hanya saja, aku ingin adikku tidak merasakan sakit yang begitu berat. Dia selalu menanggung semuanya sendiri. Jadi kupikir, jika aku berada di dekatnya, dia bisa membagi pikiran hingga perasaannya denganku.

"Ta-tapi Kak, nanti temen-temen kakak bakal jadi kakak kelas kakak."

Senyuman tipis terukir di wajahku, "Engga masalah, lagian mereka bukan orang yang bakal ngeledekin aku cuma karena aku engga naik kelas."

Sebenarnya, setelah kupikirkan lebih dalam, tidak naik kelas dan melihat teman sekelas menjadi kakak kelas tidak begitu memalukan. Itu semua tidak penting dibandingkan hanya diam saja di rumah tak bisa melakukan apapun.

Memang benar, Listya selalu menceritakan kisahnya tanpa pernah berbohong. Namun, aku memiliki firasat itu tidak akan berlaku lagi.

Karena aku pernah 'mengkhianati' kepercayaannya dulu, ingat ketika aku mengatakan bahwa Listya berkelahi kepada ibu, kemungkinan dia tidak akan seterbuka dahulu. Mungkin.

Selain itu, bersekolah bisa membuatku lebih leluasa untuk melakukan percobaan untuk memahami sistem lebih banyak. Tidak banyak yang bisa kulakukan jika hanya berada di rumah saja dengan perawat di sisiku.

Setidaknya ketika berada di sekolah, aku jadi lebih bebas bergerak.

Mendengar percakapanku dengan Listya, ayah angkat bicara. "Gimana kalo pindah sekolah aja? Walaupun mereka engga ngeledek, tapi tetep aja takutnya kamu ngerasa engga nyaman." Lalu sorot mata ayah beralih ke arah ibu.

"Kayanya ada sekolah lain yang punya fasilitas kursi roda, kan Bu?"

Ibu mengangguk membenarkan. "Iya, ada. Tapi agak jauh dari rumah, yah... paling 30 menit naik mobil. Gimana menurut kakak?"

Sebelum aku menjawab, muncul notifikasi.

'Misi baru: sekolah di SMA Cahaya Bakti'

Aku pun menatap notifikasi itu bingung. Sistem sepertinya mengarahkan aku untuk bersekolah di tempat itu. Apa ini ada kaitannya dengan alur cerita? Mungkin saja sekolah itu menjadi latar dari novel dimana pemeran utama bertemu.

Aku merasa itu bukan ide yang buruk. Dimana saja boleh, asalkan aku bisa bersekolah bersama Listya.

"Boleh, namanya SMA Cahaya Bakti ya kalo engga salah?" ibu pun mengangguk, membenarkan.

"Kalo gitu!" Listya tiba-tiba berdiri sambil mengepalkan tangannya, "Tya juga bakal ikut pindah bareng kakak!"

Deklarasi yang diucapkan Listya bergema memenuhi ruangan. Aku dan ibu mendengus geli sementara ayah malah ikut berseru menyengati.

"Uwooh! Semangat adek! Jangan sampe ketinggalan sama kakak!"

"Iyaa, uwooh!"

Kedua orang itu mengangkat kedua kepalan tangannya ke atas sambil berseru. Ibu yang tidak tahan lagi pun segera menyela, "Belajar aja dulu yang bener, biar lulus SMP. Terus ikut ujian masuk SMA, baru tuh seneng silahkan."

Listya merengut karena ditampar oleh kenyataan. Ia hanya dihibur oleh tepukan singkat dari ayah yang berada di sebelahnya.

"Berarti, sekarang sampai tahun ajaran baru, tugas kakak yaitu ningkatin kesehatan. Jangan males terapi, oke?"

Aku mengangguk lalu memberikan jempol, "Oke!"

"Oh! Volinya dah mau mulai!"

Kami menonton pertandingan voli dengan semangat. Tanpa terasa, malam pun berlalu begitu cepat. Akhir pekan tiba-tiba sudah berakhir dan waktunya untuk kembali ke aktivitas seperti biasa.

Pada malam itu, aku menerima notifikasi dari sistem.

'Side Story: Kucing'

***

Rumah begitu sepi karena penghuninya telah pergi. Ayah pergi menuju kantor, ibu juga sudah berangkat ke kampus untuk mengajar, sementara Listya berangkat paling akhir seolah tidak tega meninggalkanku sendirian.

Isma sedang mengambil cuti karena ibunya sakit. Ia harus mengurus ibunya dan akan kembali ketika ibunya sudah bisa ditinggal seperti biasa.

Yah, sendirian di rumah tidak terlalu menyedihkan. Aku suka ketenangan. Paling aku agak kesulitan untuk berpindah sehingga ibu menugaskan bibi pengurus rumah untuk tinggal seharian.

Biasanya bibi datang hanya ketika pagi dan sore saja. Namun, selama Isma cuti, ia akan menemaniku di rumah.

Saat ini aku sedang berada di halaman rumah. Menikmati matahari pagi yang begitu hangat menyinari dunia.

Angin pun tidak terasa dingin dan sesekali menggelitik rambut pendekku yang terurai.

Aku agak kepikiran dengan misi semalam. Side story ya....

Judulnya membuatku merasa tidak nyaman. Aku sering melihat kanan dan kiri, merasa waswas atas kemungkinan munculnya kucing dari antah berantah karena notifikasi itu.

Karena tidak ada narasi yang muncul mengiringi datangnya misi baru, aku semakin merasa tidak tenang.

Mataku melirik pagar besi berwarna hitam itu. Kucing tidak mungkin masuk, kan?

"Meow..."

Haha. aku pasti berhalusinasi. Aku menutup mata saat merasakan sesuatu yang berbulu menempel di kakiku.

"Meow... kurr..."

Kumohon. Jangan lakukan ini padaku. Jantungku berdegup kencang. Bulu kuduk mulai terasa meremang di sekujur tubuhku.

Aku ingin berteriak memanggil bibi, tapi rasanya tenggorokkanku tercekat.

"Piscok! Heh, sini kamu!"

That Female Lead is My SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang