Apa itu artinya?
Aku teringat bahwa aku tidak melakukan terapi semenjak Isma mengambil cuti. Jadi, apakah itu artinya aku tidak bisa mendapat hadiah jika tidak melakukan terapi?
Ha.
Aku mulai muak dengan semua ini.
"Tya," panggilku pelan, adikku yang sedang asik menghabiskan es krimnya menoleh, "ayo pulang."
"Yah, tapi es krimnya belum abis."
"Kakak kedinginan," tukasku singkat. Mendengar hal itu, adikku langsung membuang stik es krim miliknya ke tempat sampah lalu segera mendorong kursi rodaku.
"Maaf, Kak. Tya engga tau," gadis itu tergesa-gesa supaya kami segera sampai di rumah. Namun, dengan kecepatan ini, aku benar-benar merasa kedinginan.
"Engga usah cepet-cepet, Tya. Anginnya dingin," keluhku seraya merapatkan sweater yang kupakai.
"Ah, oh... Oke."
***
Jalan raya ramai seperti biasanya. Matahari berada di puncaknya sehingga keadaan di luar sangat panas tanpa adanya angin yang berhembus. Bahkan dari dalam mobil pun aku bisa melihat betapa panasnya keadaan di luar.
Ada satu lagi yang membuat jalanan menjadi lebih terasa panas. Macet.
"Pak, masih lama ya?" tanyaku kepada Pak Amar, sopir Ayah yang kini sedang mengantarku menuju rumah sakit.
"Engga kayanya, Non. Tuh, kata google macetnya 200 meteran lagi." Pria yang sudah menginjak umur tiga puluhan akhir itu melirik ke arahku berkali-kali lewat kaca untuk mengecek keadaanku.
"Oh... yaudah."
Melihatku yang terlihat tidak semangat usai mendengar informasi tersebut, Pak Amar mencoba menenangkan. "Tenang aja, Non. Nanti juga nyampe tepat waktu kok ke rumah sakitnya."
"Iya, Pak. Semoga," ujarku pelan. Semoga telat supaya aku tidak perlu bertemu dengan Dokter dan melewatkan waktu janji. Aku tidak mau dimarahi olehnya karena aku tidak latihan di rumah.
Bukan, bukan karena aku malas. Itu semua karena suasana hatiku yang memburuk akhir-akhir ini. Ditambah Isma yang masih cuti, aku jadi semakin tidak bersemangat untuk melakukan apapun.
Itu bukan malas, kan? Aku hanya, meliburkan diri.
Sebenarnya, aku tidak masalah mendengar ceramah dari Dokter, tapi aku sudah kenyang dengan omelan Ayah tadi pagi.
Ayah yang biasanya pulang terlambat, tiba-tiba kembali kerumah dan melihatku bersantai di ruang keluarga, menonton serial kartun. Padahal, waktu itu adalah jadwalku melakukan terapi di ruang olahraga.
Tertangkap basah, akhirnya aku diceramahi hampir tiga jam sampai telingaku terasa panas.
Andai saja telingaku bisa dilepas terlebih dahulu, aku akan melakukannya.
Lalu, disinilah aku. Pergi menuju rumah sakit untuk melakukan terapi dengan Dokter. Meskipun permintaan Ayah begitu mendadak, Dokter yang merupakan teman kuliah Ayah langsung menyanggupinya.
Beliau bahkan dengan senang hati memberikan terapi untukku sampai Isma kembali bekerja.
Padahal, aku tidak masalah jika janji temu itu dilakukan nanti. Aku benar-benar belum menyiapkan diri untuk bertemu orang saat ini. Pasti melelahkan. Bertemu orang.
Mataku melihat motor yang berusaha menyalip sela kecil di antara mobil, merasakan pergerakan mobil yang begitu lambat dan terkadang mengerem saat tak ada lagi ruang kosong di depannya.
Aku lelah.
Rasanya tubuhku begitu berat.
Mataku teralihkan dengan layar transparan yang berkedip merah. Sistem menunjukkan waktu hitungan mundur.
Ini adalah penyebab dari suasana hatiku yang memburuk. Akhir-akhir ini, aku sangat terganggu dengan kemunculan layar transparan itu.
Aku merasa, aku tidak lagi hidup.
Semuanya begitu bergantung pada benda transparan yang entah mengapa muncul di hadapanku. Memberikan misi demi misi seolah masa depan sudah tertulis dan aku tidak diberikan pilihan untuk menolak.
Hitungan mundur tinggal 15 menit lagi. Menarik pandanganku dari layar transparan itu, aku kembali menatap keadaan di luar yang mulai lepas dari kemacetan.
Aku tidak peduli. Aku akan mengabaikan sistem itu. Sistem yang bahkan tak bisa diajak komunikasi. Mereka hanya ingin memberikan beban tanpa memberikan pedoman.
Mengesalkan.
Kenapa harus aku?
Padahal, Listya juga mengalami kecelakaan, sama seperti diriku. Kenapa sistem menyebalkan ini hanya muncul padaku dan tidak pada Listya?
Sistem itu tidak akan mendapatkan apapun dari diriku yang lemah dan sakit-sakitan ini. Seharusnya dia menempel pada adikku saja. Gadis itu secerah matahari. Dia sangat hangat, bersemangat, serta penuh energi positif.
Tidak seperti diriku.
'10'
Jika sistem bersama Listya.
'9'
Mungkin misi yang diberikan akan lebih cepat selesai.
'7'
Mungkin juga, hal yang dilakukan pun lebih bermanfaat untuk orang lain.
'5'
Karena itu, aku tidak akan mengikuti kemauanmu.
'3'
Sampai kau sadar dan pergi.
'2'
Karena diriku.
'1'
Sungguh membosankan.
'Waktu Habis! *** akan menerima hukuman karena lalai. Hukuman akan segera diberikan!'
Suara yang dihasilkan sistem begitu marah. Aku mencoba mengabaikannya. Lagipula rumah sakit sudah di depan mata. Aku tidak lagi peduli dengan omong kosong yang hanya memanfaatkanku seenaknya.
Pintu mobil terbuka, Pak Amar telah menempatkan kursi rodaku di dekat pintu. Beliau meraihku untuk membawaku ke kursi roda.
Namun, mataku tiba-tiba terasa berat.
Rasa kantuk yang tak tertahankan muncul. Tubuhku lemas saat Pak Amar meletakkanku di kursi roda.
Aku, tidak sanggup mengangkat kepalaku.
Tatapan cemas Pak Amar, dokter dan suster mendekat, tapi tak ada satupun suara yang masuk ke dalam indra pendengaranku.
'Hukuman diberikan. Tubuh *** akan menerima dampaknya.'
Saat itu, rasanya seluruh tubuhku tertimpa batu yang sangat besar.
"AAARGH!"
Kepalaku sakit. Sakit sekali! Aku ingin menarik rambutku tapi aku tidak memiliki sedikitpun kekuatan.
"AAAH! ARGHH!"
Hanya ada teriakan yang keluar dari mulutku. Aku ingin mengatakan aku kesakitan. Kepalaku rasanya mau meledak! Tolong! Berhenti! Hentikan!
Kemudian, pandanganku berubah menjadi kegelapan.
***
Author's Note:
✨ Selamat menjalankan ibadah puasa! ✨
KAMU SEDANG MEMBACA
That Female Lead is My Sister
Genç KurguAdikku yang cantik ternyata female lead di sebuah novel?! Pantas saja dia OP T_T Di masa depan, dia akan bertemu dengan male lead. Bersaing dalam memperebutkan juara umum di SMA menjadi awal hubungan mereka. Lalu mereka kuliah dan hubungan mereka se...