"Namanya Lenn, dia temen sekelas Tya. Tya sering ketemu dia waktu di luar sekolah terus suka bawain Tya plester," senyuman sinis muncul di wajahnya, "terus kakak tau? Orang gila itu ternyata bikin taruhan sama anak cowok lain di kelas."
"Hahahahaha!" aku—bahkan Isma yang baru saja masuk, terkejut mendengar suara tawa keras yang penuh dengan kekesalan milik Listya. "Tya kira, taruhan engga bermutu kaya gitu cuma ada di sinetron! Tapi di dunia nyata juga ada.
"Jadi, Kak!"
Mataku membulat saat Listya mengepalkan tangannya di depan wajah, matanya menatapku sungguh-sungguh seolah ada api yang membara di sana. "Izinin Listya kasih pelajaran ke orang-orang gila itu."
Aku menghela napas pelan, aku tahu suara adikku keras tapi masih saja aku terkejut karenanya. Mataku menoleh ke arah Isma untuk meminta pertolongan. Namun, dia memilih mundur dari medan perang.
Ya ampun. Lagi-lagi aku meredamkan kobaran api ini sendirian.
"Listya..." aku meraih kepalan tangannya dengan kedua tanganku untuk diturunkan, "Kamu engga perlu izin kakak buat mutusin sesuatu."
Aku mengerti kenapa dia meminta izinku. Sebelumnya aku pernah berkata bahwa aku tidak akan menutupi aksinya jika dia kembali berkelahi. Siapa yang tidak khawatir mengetahui adik perempuannya senang berkelahi.
Hanya saja, aku tidak ingin mengaturnya tanpa memperhatikan pendapat gadis itu.
"Semuanya terserah kamu, soalnya ini kan hidup kamu."
Mata yang semula berapi-api, kini terlihat berkaca-kaca. "Kakak..."
Aku tersenyum melihatnya, dia sudah tenang sekarang. "Pikirin dulu alasan kamu ngelakuin sesuatu. Kalau kamu ngerasa apa yang kamu lakuin itu benar, yaudah. Tapi, inget apa pesan Ayah?"
"Jangan berlebihan."
Aku mengangguk membenarkan ucapan Listya, "Betul, hal yang berlebihan engga pernah berakhir baik."
Listya menunduk sembari menatap tangan kami berdua. Aku membiarkan dia berpikir dengan tenang. Tidak lama, senyuman penuh keyakinan terpatri di wajah adikku. Gadis itu mengangguk lalu bangkit. "Aku pergi dulu, Kak!"
"Oke, hati-hati."
Dia mengambil totebag yang tersampir di atas sofa lalu berlari keluar kamar, tanpa menutup pintu kembali. Ternyata Isma berada di depan pintu, mungkin tidak berani untuk masuk sampai percakapanku dengan Listya berakhir.
Isma mengalihkan tatapannya dari Listya lalu menatapku bingung, "Kamu ngebolehin Tya berantem?"
Aku mengangkat kedua alisku, "Kapan aku ngelakuin itu?"
Isma terkekeh pelan, ia membantu mengatur tempat tidur supaya aku bisa tidur siang. Aku merasa lelah menerima energi Listya yang tidak main-main.
"Abis tidur siang, kamu ada jadwal rehabilitasi. Jadi, tidur yang nyenyak Lily."
"Uh'um, makasih Kak Isma." Suaraku terdengar lirih setelah menguap lebar. Sebelum aku terlelap dalam mimpi, suara elektronik yang sudah lama tak terdengar kini kembali muncul.
"Selamat! Anda telah menyelesaikan 'Bab 7: Alasan Listya Tak Percaya Laki-laki (1)'. Sampai jumpa di pencapaian selanjutnya!"
Bukannya senang, aku merasa tidak nyaman dengan pemberitahuan itu.
***
Keesokkan harinya.
Aku dan Listya menunggu ayah di lobi rumah sakit. Ayah sedang mengurus kepulanganku dari rumah sakit sehingga kami menunggu di sini.
Melirik adikku yang duduk di samping, dia sedang bermain game di ponsel. Serius sekali sehingga membuatku malas menganggunya. Akhirnya aku hanya melihat orang-orang dari balik lensa kacamataku.
Melihat lalu-lalang perawat membuatku teringat Isma. Isma libur hari ini. Meski Listya kuat, tapi dia tidak secekatan Isma dalam merawatku. Huhu, aku kangen Isma.
Saat melihat kanan dan kiri untuk membaca poster ataupun tulisan apapun yang ada di rumah sakit. Aku melihat koridor sepi di ujung sana.
Terlihat dua orang berpakaian jas putih seperti dokter pada umumnya, hanya saja satu orang menunduk dan satu lagi terlihat memarahi orang lainnya.
Aku memakai kacamata sehingga aku bisa melihat dengan jelas wajah kedua dokter tersebut.
Sepertinya... dokter kemarin sedang dimarahi. Kasian juga.
Tidak lama, dokter yang lebih senior itu pergi masih dengan amarah yang tercetak di wajahnya. Dokter kemarin itu duduk dengan lemas di bangku koridor. Ia memijat pelipisnya pelan, aura di sekitarnya sungguh berawan.
Aku mengalihkan pandanganku ke tempat ayah berada. Antrian di depan ayah masih ada dua orang, masih lama.
"Tya, kakak mau nyapa kenalan kakak sebentar."
Listya melirik singkat, "Di mana?"
"Tuuh, di koridor situ. Dari sini juga keliatan," ujarku seraya menunjuk koridor tempat dokter itu duduk.
Adikku kembali melirik arah telunjukku, kemudian ia fokus ke layar ponsel. "Mau Tya temenin?"
"Engga usah, sekalian kakak latihan make kursi rodanya. Kamu liatin kakak aja dari sini," jawabku lalu mengambil permen dari saku jaket Listya dan memilih satu di antaranya dengan kata-kata semangat di kemasannya, "Kakak minta permennya, ya."
"Ya, jangan lama-lama Kak."
"Oke."
Aku menekan tombol power untuk menghidupkan baterai kursi roda elektrik yang kugunakan. Lalu tanganku menggerakkan kursi roda menggunakan tuas kendali dengan gerakan yang kaku.
Perlahan namun berhasil, aku bergerak menuju koridor yang jarang dilalui itu. Aku masih belum terbiasa menggunakan kursi roda secara mandiri.
Untungnya tanganku sudah bisa menggenggam sesuatu sejak pagi ini sehingga pergerakan kursi roda lebih baik daripada sebelumnya.
Berhenti di hadapan dokter yang sedang menunduk itu, aku menyodorkan permen di depan wajahnya. "Dokter mau permen?"
Mendengar suaraku, dokter itu mendongak. Ia memberikan senyuman tipis yang terkesan dipaksakan. Matanya beralih menatap permen mint rasa stroberi di tanganku. "Makasih, tapi..."
Aku melihat bahwa laki-laki itu hendak menolak, aku segera meluruskan persoalan ini. "Eii... Saya tahu kok dokter engga boleh nerima apapun dari pasiennya, tapi kan saya bukan pasiennya dokter. Jadi..."
Aku mengguncang permen di tanganku, "engga papa, kan? Ada kejutan loh di belakang kemasannya."
Laki-laki itu mengangkat salah satu alisnya, ia mengalah. Tangannya meraih permen di tanganku lalu membaca tulisan di belakang kemasannya.
"Pfft!"
Aku mengerjapkan mata, bingung. "Ke-kenapa dokter ketawa?"
Seingatku tulisan di kemasannya adalah untuk menyemangati laki-laki yang sedang murung ini. Rasanya tidak sampai membuatnya tertawa...
Dokter laki-laki itu menunjukkan kemasan yang bertuliskan, kam-se-u-pay. "I-itu, kok!?" aku panik dan merogoh saku baju, benar saja. Permen yang bertuliskan kata semangat berada di saku sebelah kanan, bukan kiri.
"Ma-maksudku... bukan itu! Beneran, Dok! Harusnya yang ini!" ujarku seraya menunjukkan kemasan permen bertuliskan 'Badai Pasti Berlalu'.
Aku ingin mengambil permen dari tangan dokter dan menggantinya dengan permen di tanganku. Namun, dokter itu menghindar dengan mengangkat tangannya.
"Dok-dokter? Ini... ganti, ganti permennya."
Bukannya memberikan permen, dokter itu malah tersenyum semakin lebar sehingga deretan giginya yang putih terlihat. "Saya lebih suka yang ini, lebih fresh."
Huwaaa! Malunyaa!
Pipiku terasa terbakar karena malu. Ah! Terserahlah! Yang penting tujuanku tercapai. "Ya-yaudah kalo dokter maunya gitu," aku mendongak menatap dokter dihadapanku.
Awan kelabu yang semula mengelilinginya kini telah hilang. Syukurlah dia tidak lagi murung.
![](https://img.wattpad.com/cover/358249424-288-k32719.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
That Female Lead is My Sister
Teen FictionAdikku yang cantik ternyata female lead di sebuah novel?! Pantas saja dia OP T_T Di masa depan, dia akan bertemu dengan male lead. Bersaing dalam memperebutkan juara umum di SMA menjadi awal hubungan mereka. Lalu mereka kuliah dan hubungan mereka se...