10. Hadiah Pencapaian

432 47 0
                                    

Tak ada jawaban.

"Ini bohong, kan?" tanganku bergetar saat mendekati layar transparan itu. Pikiranku tentang hal ini pasti tidak benar. Tidak mungkin kemungkinan ini benar. Tidak tidak.

Aku menutup mata lalu menarik napas pelan. Tenanglah Lily. Mari berpikir dengan jernih.

Mataku kembali menatap layar transparan itu yang perlahan mulai menghilang. Aku masih mengingat isi dari hadiah pencapaian.

Jika perkiraanku benar, tubuhku akan membaik ketika aku menyelesaikan misi dan mendapatkan pencapaian. Misi yang diberikan mungkin berkaitan dengan alur novel kehidupan Listya dan aku berkaitan dengan alurnya.

Bagaimana jika hal itu tidak terjadi? Apa aku akan terus berada dalam kondisi seperti ini?

"Ha ha, tidak mungkin."

Kini aku menyadarinya. Buku novel itu, lalu layar transparan dan suara robotik yang muncul sesuka hati. Mereka benar-benar membatasi kehidupanku supaya mengikuti keinginan mereka.

Firasatku sejak awal terbukti benar, mereka tidak bisa dipercaya sepenuhnya. Namun, aku perlu mencoba berbagai kemungkinan. Aku harus mengumpulkan dan menyimpulkan berbagai situasi yang mungkin untuk memahami cara kerja dari sistem itu.

"Ah, kalau gitu..."

Aku melirik buku di tanganku. Perasaan bersemangat dan tekad yang kuat membara di hatiku. Jika aku ingin mencoba berbagai kemungkinan, pilihannya sudah dipastikan.

Keesokkan paginya.

Ibu datang ke kamar untuk membantuku mandi dan sebagainya. Setelah aku siap, kami berdua pergi menuju mini bar yang anehnya masih sepi tanpa seorang pun di sana.

"Ayah sama Tya kemana, Bu?" tanyaku ketika kami sampai di sana. Mengedarkan pandangan sekitar, aku tidak menemukan tanda-tanda keberadaan mereka.

"Oh, kayanya belum pulang. Bentar lagi juga lari paginya selesai."

"Hm... gitu ya, tumben lama."

Setiap akhir pekan, ayah dan Tya tidak pernah absen untuk melakukan lari pagi. Dulu, aku sering ditarik oleh keduanya supaya ikut lari—tidak jalan bersama. Tentu dengan senang hati aku menolaknya.

Aku lebih suka melarikan diri dengan alasan membantu ibu—yang juga sama-sama membuat alasan memasak sarapan. Lari pagi di waktu sebelum fajar menyingsing benar-benar bukan gayaku.

Melakukan peregangan saja sudah cukup. Lagipula aku hanya akan menjadi beban dua orang yang gila olahraga itu.

"Ibu masak bubur kacang ijo, kakak mau sarapan duluan?"

Aku mengangguk menyetujui tawaran ibu.

Tutup panci terbuka memperlihatkan uap yang mengepul keluar. Semangkuk bubur kacang hijau yang masih hangat disajikan di atas meja mini bar. Perlahan-lahan aku mulai menyuap bubur tersebut.

Rasa hangat, manis, dan gurih menyebar memenuhi indra perasa. Dinginnya udara pagi yang masuk melalui ventilasi kini tidak lagi terasa dan tergantikan oleh hangatnya bubur kacang hijau.

Ibu juga mulai sarapan di sampingku setelah meletakkan air hangat dan teh manis di atas meja. Di tengah kedamaian yang memenuhi mini bar, pintu terbuka diiringi dengan keributan.

"Tuh kan, ayah sama adek kalo dateng pasti ribut." Gumaman ibu terdengar sehingga membuatku terkekeh pelan.

Aku menoleh ke arah pintu dan melihat kedatangan ayah dan Listya.

"Kan tapi Tya juga mau."

"Tanya Ibu dulu boleh apa engga."

"Nanti kalo kucingnya duluan pergi gimana?"

"Cari kucing yang lain aja, gampang kan?"

"Iih, tapi Tya maunya kucing yang tadii."

Kucing? Entah apa yang mereka ributkan tapi hal tersebut membuat Ibu mendelik tajam.

"Kenapa lagi?" tanya ibu ketika ayah dan Listya mendekat.

"Itu, Tya pengen melihara kucing katanya. Soalnya tadi ketemu kucing lucu pas lagi lari. Kucingnya anteng duduk di depan warung kelontong Bu Tika, tuh Bu. Yang udah lama engga jualan."

Mendengar penjelasan ayah, ibu menatap Listya yang menduduk menatap sendal rumah. Ia sesekali melirik ke arah ibu, untuk memastikan reaksi ibu ketika mengetahui keinginannya.

"Boleh, ya Bu? Tya janji bakal ngurus kucingnya baik-baik, beneran."

Dengan mata penuh harap, Listya menatap ibu supaya mengizinkannya memelihara kucing. Aku menatap adikku tak percaya, apa dia lupa aku takut hewan berbulu itu?

"Boleh ya, Bu. Pleaseeee," mungkin gadis itu merasakan tatapan dariku, ia menoleh ke arahku. "Nanti kucingnya juga bisa nemenin kakak kalo hari-hari biasa, ya kan Kak?"

Dahiku mengerut, tidak setuju. "Kamu kan sekolah, Tya. Nanti siapa yang ngurus pas kamu sekolah? Aku gitu?"

Mendengar ucapanku, Listya mengangguk mantap. "Kan, kakak suka kucing juga. Waktu dulu kan kalo main ke rumah nenek, kakak sering main sama kucing-kucingnya nenek."

"Ha?" aku terkejut mendengar hal itu, sejak kapan aku suka kucing? Aku ini takut kucing karena pernah melihat bayi kucing yang baru lahir.

"Kamu doang yang suka kucing. Aku engga suka kucing, kok." Aku agak kesal karena hal itu. Bisa-bisanya dia lupa bahwa aku takut akan keberadaan hewan berbulu itu.

Memang, kucing terlihat lucu saat melihatnya di sosial media tapi bukan berarti aku tidak takut melihatnya secara langsung.

Namun, entah kenapa semua mata memandang ke arahku dengan tatapan heran. "Eh? Kenapa ngeliatin Lily semua?" tanyaku bingung.

"Kakak, sejak kapan kakak engga suka kucing?" tanya Listya diikuti dengan keheningan yang menyelimuti. Aku menatap ayah dan ibu secara bergantian yang juga melihatku seolah mempertanyakan hal yang sama.

Aku bingung, "Lily emang engga suka kucing, kan?"

Tunggu, kenapa aku jadi tidak yakin begini?

Ketiga orang tersebut saling memandang lalu kembali menatapku. Apa ini? Kenapa suasananya jadi aneh?

"Mung-mungkin Lily udah engga suka lagi kucing, iya kan? Haha, udah udah. Ayo ganti baju dulu, haha! Kamu ada latihan karate kan jam 9? Ayo! Cepet ganti baju terus sarapan, ya kan Bu?"

Ayah dengan cepat mendorong Listya pergi, ia masih merengek ingin memelihara kucing tapi ayah tidak mengindahkannya.

Mengalihkan pandanganku dari kedua orang yang menghilang dari balik tembok, aku menatap ibu yang sedang termenung.

"Bu, emang Lily suka kucing ya?" aku jadi tidak yakin dengan kesukaan atau ketidaksukaan milikku sendiri. Melihat betapa kekehnya Listya dan respon aneh keluargaku, aku merasa bingung.

Ibu tersenyum menanggapi pertanyaanku, "Kakak sendiri ngerasanya gimana?"

"Lily sih ngerasa engga suka sama kucing," lalu aku begidig saat membayangkan keberadaan kucing di sekitarku jika Listya benar-benar memelihara hewan itu. "Ngebayanginnya aja ngeri, jangan kasih izin Tya buat melihara kucing ya, Bu."

Aku merasakan sentuhan hangat ketika ibu mengelus puncak kepalaku lembut. "Iya, tenang aja. Nanti juga adek lupa sama kucing kalo udah latihan karate lagi."

Hembusan napas lega keluar dari hidungku, bahuku yang semula tegang kini merosot karena rasa waspada menghilang. Aku melirik ke arah Listya dan ayah pergi. Benar juga, Listya pasti akan lupa tentang hal itu.

Namun, rasanya ada yang kulewatkan. Apa ya?

***

That Female Lead is My SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang