CH 04 - Unknown Facet Realm II (Part 07)

1 1 0
                                    



Celoteh hampa tanpa dasar, dusta yang dicampur dengan kenyataan untuk menipu lawan bicaranya. Korwa sangat memahami hal tersebut setelah berbicara dengan Irwin selama beberapa menit terakhir. Dari ekspresi wajah, tatapan mata, gestur tubuh, bahkan sampai nada bicara, semuanya tampak tidak natural seakan dibuat-buat.

Korwa membuka kedua telapak tangan di atas pangkuan, kemudian menimbang kepentingannya sendiri dengan semua risiko yang ada. Mulai enggan untuk mengambil keputusan, bimbang, cemas, dan akhirnya termenung dalam sunyi.

Getaran ombak mulai terasa semakin jelas, begitu pula aroma wewangian herbal yang mengisi ruangan. Mengusik konsentrasi, kemudian perlahan merusak akal sehat layaknya abrasi. Mengikis bibir pantai dengan lambat, namun sangat pasti dan kuat.

"Sebentar ...."

Irwin bangun dari tempat duduk. Ia lekas berjalan menuju Lydia, lalu menarik kerah perempuan rambut hitam itu dan melemparnya ke sofa.

"Uwah? Hmm?" Lydia terkejut. Ia dengan bingung menatap Irwin, lalu sedikit memiringkan kepala dan berkata, "Apa tidak masalah, Kakanda? Jelas-jelas kita disadap, loh."

"Tidak apa! Biarkan saja menguping ...." Irwin kembali duduk tepat di sebelah Adiknya. Ia mulai menyilangkan kaki, lalu bersandar pada sofa dan menghela napas panjang. "Mereka sendiri yang akan repot," ujarnya dengan nada angkuh.

"Kamu sudah menyadarinya, ya?" Korwa perlahan menundukkan wajah, lalu tersenyum kaku dan kembali termenung dengan ekspresi resah. "Seharusnya saya tidak melibatkan mereka," ujarnya lemas. Ia berusaha memeras semangat yang tersisa, lalu mengangkat wajahnya dan menatap lurus dengan sorot mata sayu.

"Teman?" Irwin bertanya dengan nada dingin, memberikan tatapan apatis dan mulai melebarkan senyum licik. "Mengejutkan! Ternyata kamu punya teman⸻!"

"Mereka sahabat saya ...." Korwa menjawab dengan tulus, menunjukkan ekspresi sedih dengan senyuman lembut. Ia berhenti berpura-pura ataupun berlagak kuat, menunjukkan sisi lemahnya seraya berkata, "Sahabat yang tidak tergantikan."

"Begitu, ya?" Irwin meletakkan tangan kanan ke lehernya sendiri, menyentuh permukaan Choker dan berkata, "Anggap saja ini balasan karena telah memenggal ku kemarin."

"Itu ...." Korwa hanya bisa menahan napas. Ia ingin menyanggah dan memastikan hal tersebut, namun tenggorokannya sudah terlalu kering untuk berdebat. Seakan melipat semua masalah yang ada dan membuangnya jauh, perempuan rambut ungu cerah itu perlahan menundukkan kepala seraya berkata, "Tolong maafkan saya ...."

"Tidak masalah ...." Irwin sedikit lega karena masalah itu tidak dipertanyakan. Sembari duduk dengan tegap dan menatap ke arah pintu, pemuda rambut hitam itu dengan nada santai lanjut berkata, "Kau melakukannya dengan sangat rapi. Jujur, kalau alat ini hilang bisa repot."

Irwin berhenti menyentuh Choker. Sembari menoleh ke arah Lydia, pemuda rambut hitam itu mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum.

"Masih mau dilanjutkan?" Lydia sekilas mengerutkan kening, menatap jenuh dan lekas menggelengkan kepala. Ia mengeluarkan Kubus Data dari tas jingjing, lalu meletakkannya kembali ke atas meja sembari berkata, "Jangan salahkan saya kalau ini semakin kacau ...."

"Bu Korwa tidak perlu cemas. Anggap saja informasi tidak masuk akal itu sebagai ketulusan kami." Irwin kembali menatap lawan bicaranya. Seraya menajamkan tatapan dan berhenti memasang senyuman palsu, pemuda rambut hitam itu dengan nada serius lanjut berkata, "Ini ada kaitannya dengan pertanyaan kedua yang ingin Bu Korwa ajukan."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 13 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Siklus SakralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang