"Baru mulai sudah kacau ...." Lydia membaringkan tubuhnya ke atas ranjang, sedikit meregangkan tubuh dan lanjut mengeluh, "Kalau Kakanda tidak bisa memperkirakan kejadian tadi pagi, berarti dia berada di luar hukum kausalitas Almah, 'kan?"
"Hmm ...." Irwin menjawab dengan lesu, duduk di atas kursi di dekat jendela kamar. Suara ombak tidak bisa menenangkan suasana hatinya, getaran yang terasa melalui lantai seakan mengusik kesabaran. "Ini menyebalkan! Kita tertinggal satu langkah," gumamnya seraya menghela napas. Sejenak memejamkan mata dan mendongak.
Kamar tersebut terletak pada lantai satu Asrama Pengajar, hanya berjarak beberapa ratus dari bangunan utama Akademi dan Universitas. Dingin mulai menyelimuti, pemberlakuan jam malam di sekitar lingkungan tersebut menciptakan suasana senyap yang unik.
Lampu kamar menyala terang, memberikan kesan tenang dengan cahaya kebiruan. Sedikit meredup saat ombak laut menerpa bangunan yang berdiri di atas susunan Batu Apung.
Ruangan tersebut memiliki kesan arsitektur khas Almiah, didominasi perabotan dari batuan sedimen dan kayu. Beberapa ornamen berupa dekorasi gipsum terpasang pada plafon kamar, berbentuk lis dan tempat lampu cekung.
Lantai terbuat dari kayu yang dilapisi pernis, begitu pula pintu dan beberapa furnitur lainnya. Terlihat elegan dengan dominasi warna cokelat gelap, bercampur putih keabu-abuan dari hiasan sedimen.
"Kita masih aman, 'kan?" Lydia lekas duduk, sedikit menyipitkan mata dan lanjut bertanya, "Kausalitas Unfar di planet ini masih belum hilang kendali, 'kan?"
"Tenang saja, Makhluk Primal itu belum bangkit ..." Irwin menghela napas. Setelah menggelengkan kepala, ia lekas berdiri dan berjalan sempoyongan menuju Adiknya. "Bisakah kita memulainya sekarang? Unfar milikku sudah mulai tidak stabil," ujarnya seraya mendorong perempuan rambut hitam tersebut ke atas tempat tidur.
"Ah, dia melakukan sesuatu kepadamu? Atau efek samping⸻!"
Irwin langsung membungkam mulut Lydia dengan ciuman, memasukkan lidahnya dan mulai menyalurkan Unfar. Pada saat bersamaan, perempuan rambut hitam itu pun menggerakkan lidah dan memulai sirkulasi pertukaran. Menstabilkan aliran Unfar milik Kakaknya melalui siklus perputaran dua arah.
Air liur mereka saling bercampur, menyatu dan masuk ke dalam tubuh masing-masing. Saat proses penstabilan selesai, mereka berhenti menggerakkan lidah dan lekas menjauhkan bibir. Memalingkan wajah dengan canggung.
"Terima kasih, Lydia. Aku rasa ini sudah cukup ...." Irwin segera turun dari tempat tidur, menarik napas dalam-dalam dan berkata, "Maaf selalu merepotkan kamu ...."
"Tidak perlu formal begitu, Kakanda. Kita saudara kandung, 'kan?" Lydia memalingkan wajahnya yang memerah. "Meski ada pengecualian di antara kita berdua, hal seperti ini cukup wajar bagi diriku! La-Lagi pula! Kakanda takkan berpikir yang tidak-tidak saat melakukan hal itu, bukan?" tambahnya dengan suara gemetar.
"Ah, begitulah ...." Irwin menatap datar. "Mari kita ulas kondisinya sebentar," ujar pemuda itu sembari berdiri, kemudian berjalan menuju jendela dan menunjuk ke luar.
"Bulan?" Lydia memiringkan kepalanya dengan heran. "Ah, kita hanya punya waktu sebulan?" tanyanya memastikan. Mengangguk paham seakan memahami maksud Kakaknya.
"Ya, itu tidak sepenuhnya salah ...." Irwin kembali duduk pada kursi, lalu menyilangkan kakinya dan lanjut menjelaskan, "Waktu kita tidak banyak. Sebelum penyimpangan itu diidentifikasi sebagai ancaman oleh Oria dan Maria, kita harus mengatasinya dengan hati-hati."
KAMU SEDANG MEMBACA
Siklus Sakral
FantasiSejarah yang terlupakan, peradaban baru umat manusia, dan warisan keangkuhan. Perdamaian tanpa tujuan hanya akan mendatangkan dekadensi masyarakat, menggiring mereka menuju akhir berikutnya. Siklus kehancuran dan penciptaan dunia. Mereka menyembunyi...