Geora menyeka air mata yang membasahi pipinya. Seragam serta rok sekolahnya sudah berubah warna, rambut panjangnya yang dikepang dua sudah lepek dan bau busuk dari telur. Kaki kanan gadis itu memerah dan terdapat beberapa lecet menghiasi kakinya.
"Sialan lo cewek miskin!" Kata-kata itu adalah hal yang biasa baginya. Sejak kecil dia sudah mendengar kata-kata itu, tetapi tetap saja berbohong jika Geora tidak sakit hati dengan makian yang selalu orang-orang tujukan untuknya.
"Udah guys pergi di sini bau!"
Semua orang meninggalkan Geora sendiri, seketika hening terasa. Angin menerpa wajah gadis bernama Geora, dengan perasaan campur aduk gadis dengan baju kebesaran itu memejamkan mata berusaha tetap sabar menerima perlakuan-perlakuan tidak menyenangkan seperti ini.
"Sakit," keluhnya.
Kakinya tadi sempat ditendang oleh orang-orang yang membullynya. Geora meringis saat menyadari penampilannya sungguh menyedihkan, apa lagi dia harus membersihkan semua ini di sekolah.
Geora sengaja menyiapkan baju ganti di loker, karena dia sudah tau pasti mereka semua akan membullynya. Lagi pula apakah gadis miskin sepertinya memang pantas diperlakukan seperti ini? Jika bisa memilih Geora tidak ingin memiliki takdir hidup menyedihkan seperti saat ini.
Geora cepat-cepat menuju toilet yang memang jarang dipakai tak jauh dari belakang sekolah. Dia akan membersihkan rambutnya di sana dulu, dia meringis kembali saat menyadari rambutnya benar-benar bau.
"Ah, kapan aku punya rambut indah kayak orang-orang." Geora kembali mengeluh. Ya, memang bukannya orang miskin sepertinya hanya bisa mengeluh atas hidup yang sangat menyedihkan ini?
Geora menelan pil pahit kehidupan. Andai saja dia memiliki ayah, andai saja keluarganya masih seperti dulu mungkin saja saat ini dia bisa hidup dengan tenang dan penuh kenyamanan seperti orang-orang di sekitarnya.
Geora juga tidak bisa bernapas lega, karena banyak sekali murid di sekolahnya ini yang menjadikannya target bully. Mungkin yang tadi hanya beberapa orang yang selama ini membuat hidupnya menderita.
Dia tatap pantulan wajahnya di cermin. Dia tersenyum tipis, senyum seakan menertawakan nasibnya yang seperti ini. Rasanya sampai Geora terbiasa bercermin dengan keadaan menyedihkan seperti ini.
"Kapan aku bisa bahagia?" lirihnya penuh harap.
***
Geora menghela napas pasrah saat di depannya sudah ada salah satu siswa yang berpengaruh di sekolah. Namanya Nakula, pemuda dengan wajah tampan dan kehidupan sempurna. Sayangnya tidak seperti wajahnya yang terlihat sempurna, nyatanya Nakula merupakan pribadi yang buruk, bahkan benar-benar buruk.
"Eh ada cupu?" Nakula tersenyum sinis menyentuk ujung rambut Geora dengan wajah jijik.
"Bau banget sih lo!" Lagi-lagi tanpa perasaan Nakula mendorong tubuh Geora kasar, untungnya Geora dapat menyeimbangkan tubuhnya.
"Bawain tas gue!" Geora dengan sigap menangkap tas Nakula. Tas pemuda itu sangat enteng, seperti biasa pasti Nakula hanya membawa satu buku tulis.
Geora mau tak mau mengekori Nakula yang berjalan menuju kantin. Pasang mata langsung tertuju pada mereka berdua, tetapi tentu saja dengan tatapan berbeda. Mereka seakan mengejek Geora yang sudah seperti pesuruh Nakula.
"Beliin minum, pakai uang lo." Geora menghela napas pasrah dan akhirnya mengangguk.
Dia meletakkan tas hitam Nakula di atas meja, lalu menuju penjual minuman. Dia merogoh kanton bajunya, di sana hanya tersisa uang sepuluh ribu.
"Satu ya, Bu." Geora menatap sedih selembar uangnya. Padahal dia berusaha menghemat dan uang itu akan dia pakai besok. Sayangnya dia tak bisa melawan Nakula, karena melawan pemuda itu sama saja seperti mencari mati.
"Makasih, Bu." Geora tersenyum tipis saat merasakan dingin di tangannya, pasti sangat segar pikirnya.
"Lama banget!" Lamunan gadis itu buyar. Dia meringis saat melihat wajah tak bersabar Nakula di depannya.
Tanpa berkata pemuda itu langsung menyeruput minumannya, tak mempedulikan Geora yang sejak tadi menatapnya.
Geora berdiri di sebelah Nakula, sama sekali tak berani duduk. Terakhir kali saat dia duduk di kursi sebelah Nakula, dengan tidak berperasaan Nakula menarik kursinya paksa hingga Geora terjatuh dan ditertawakan seluruh kantin.
"Udah gue mau pulang." Nakula meraih tasnya dan pergi begitu saja. Dia sama sekali tak menghiraukan keberadaan Geora.
Geora menunduk dalam saat mendengar tawa dan bisik-bisik di sekelilingnya. Masih dengan menunduk Geora berusaha ke luar dari kantin, dia tak sanggup jika terus diperlakukan seperti ini.
Lahir sebagai anak kesayangan, dan tumbuh menjadi seorang anak dipenuhi kebencian adalah hal yang tak mudah. Geora rindu akan kehangatan yang dulu sempat dia rasakan walau sementara.
Dia sekarang sendirian, hanya ada Hanin sahabat baiknya. Tetapi Hanin beberapa hari ini izin untuk libur ke rumah neneknya. Karena itu Geora merasa benar-benar kesepian saat ini.
Semua orang menatapnya dengan tatapan hina dan jijik. Geora tidak sehina itu, dia sama seperti remaja-remaja lainnya, sayangnya Geora tidak pernah bahagia.
Geora bertanya-tanya apakah suatu saat nanti dia bisa bahagia, akankah semua ini berlalu. Geora mencoba terus bangkit, tetapi sayangnya mentalnya selalu dihajar habis-habisan hingga rasanya sudah babak belur.
Geora tersenyum tipis, menatap langit yang hari ini begitu cerah. Bisakah harinya secerah langit hari ini, setidaknya walau hanya untuk sehari. Sehari saja, Geora ingin sebuah kebahagiaan yang selama ini tidak pernah dia dapatkan.
Annyeong
Aaa makasih yang udah baca dan vote. Ayo dong komen, semakin kalian komen semakin cepat aku update.
Thanks guys!
KAMU SEDANG MEMBACA
Pancarona
Fiksi PenggemarGeora membenci Nakula yang selalu membullynya dan bersikap kasar. Geora juga harus dihadapkan dengan Reka yang dingin dan tidak jauh sikapnya dengan Nakula. Hanya satu harapan Geora untuk ke luar dari penderitaannya, yaitu mendekati Batara ketua OSI...