ᝯhɑ℘tꫀꭈ (ၴႅၴ09

158 17 9
                                    

Senyum manis Jovan terukir ketika secangkir kopi beserta beberapa roti lapis yang diletakkan di atas meja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Senyum manis Jovan terukir ketika secangkir kopi beserta beberapa roti lapis yang diletakkan di atas meja. "Makasih ya . "

Yang hanya Rayna balas dengan cengiran lebar. Laki-laki yang lebih tua beberapa tahun dari Haidar itu tidak langsung mengambil cangkir kopi yang berada di atas meja. Dia hanya menatap Haidar yang menunduk sambil membaca buku lekat-lekat, lalu matanya beralih kearah Rayna, dan dia mendesah pelan.

"Rayna, " panggilnya ketika perempuan itu hendak membalikkan badan, bersiap meninggalkan mereka-mungkin ke dapur, lengkap dengan nampan yang dia bawa.
Reflek Rayna menoleh. Begitupun Haidar. Lelaki itu masih dengan posisinya memegang buku, tapi fokus nya sudah beralih ke abangnya.

"Ya bang Jovan?"

"Gue boleh ga minta tolong?"

Perempuan dengan rambut sebahu itu mengangguk singkat. Sementara Haidar mengerutkan alisnya.

Jovan menyunggingkan bibirnya. Pandangannya masih lurus ke arah gadis itu. "Ada beberapa buku yang harus gue ambil di tokonya mbak Mawar, dan lo harus lewatin beberapa blok dari sini." Ia berujar. "Lo tahu kan tempatnya? Gue bisa minta tolong nggak buat ambilin?"

"Kenapa ngga lo sendiri aja yang ambil?" tanya Haidar curiga. Jelas saja. Pertama, abangnya ini tak terlalu suka membaca buku. Kedua, ia sudah merasakan gelagat aneh Jovan yang tiba-tiba muncul di depan pintu apartemennya pagi ini. Memang itu bukan masalah besar mengingat perangai Jovan yang memang suka seenak jidat datang dan pergi seperti jelangkung. Tapi sekarang, pria yang berbalut senyum tipis itu, tanpa banyak bicara, duduk dan bergabung dengannya di meja makan sambil sesekali memperhatikan Rayna dan mencuri pandang ke arah Haidar, yah meskipun dirinya tak melihat secara langsung, tapi lelaki itu bisa menangkap dengan jelas sorot mata dengan tatapan meneliti dari Jovan.

Jovan hanya melirik sekilas kesamping. Tak lama kemudian, ia mengalihkan pandanganya ke depan. Seolah tak mendengarkan pertanyaan Haidar, dia melanjutkan. "Lo ngga keberatan kan, Rayna?"

Jempol Rayna teracung. Tentu saja dia tidak keberatan. Toko itu hanya berjarak sekitar lima belas menit perjalanan. "Oke. Gue berangkat sekarang," seraya meletakkan nampan hitam yang dipegangnya di atas meja kecil di samping lemari. Kemudian ia pergi, meninggalkan dua lelaki berperawakan sama itu duduk di meja yang sama, tanpa mengetahui telah ada badai kecil tak terlihat yang mulai muncul di antara mereka.

Sesaat setelah bunyi pintu depan tertutup, Jovan langsung melayangkan tatapan tak terbaca ke arah Haidar. Masih dengan sikap yang santai, ia menjulurkan tangan, meraih secangkir kopi hitam yang menguarkan kepulan uap lalu menyesapnya sedikit demi sedikit.

"Kalian tinggal berdua udah berapa lama?" Tanpa dasar ia bertanya, tepat ke sasaran. Dia tak ingin membuang waktu.

Haidar menyandarkan dirinya ke kursi. "Kira-kira sebulanan. Kenapa?"

"Gue ada dengar gosip kalian udah nikah."

Haidar sontak berdecak kesal. "Panjang ceritanya."

tatapan Jovan menajam. "Lo tahu masalah apa yang bisa terjadi akibat perbuatan lo?"

Buku yang sedari tadi digenggam Haidar langsung diletakkan begitu saja di atas meja. Raut wajahnya sendiri telah berubah warna. "Kenapa lo tiba-tiba ngomongin ini?" tanyanya kesal.

"Lo pikir lo bisa selamanya ngumpet di sini?" Nada bicara Jovan mulai meninggi. "Lo pergi dari rumah aja udah jadi masalah. Dan lo pengen nambah masalah lagi?!"

Rahang Haidar tarkatup rapat. Dia paling tidak suka abangnya ini kembali mengungkit-ungkit masalah kepergian dirinya. Apalagi dengan wajah menyebalkan seperti itu.

"Gue lagi ngga pengen adu mulut sama lo." Haidar sudah ingin menarik lengan Jovan dan memaksanya untuk keluar, namun pertanyaan Jovan yang terlontar berikutnya membuat niatnya terurung.

"Lo tahu siapa cewe yang tinggal sama lo sekarang?"

Alis Haidar nyaris bertaut. "Kenapa jadi bawa-bawa Rayna?"

Jovan tertawa pelan. Cenderung sinis. "Lo ngga tau kan siapa dia? Kenapa dia bisa ada di disini Sendirian dengan asal usul yang ngga jelas. Apa lo ngga tahu sedikitpun tentang cewe itu?"

Dan ekspresi diam Haidar membuat Jovan ingin sekali menggebrak meja, menyadarkan ketololan adiknya atas apa yang telah ia lakukan. Benar-benar tak habis pikir. Haidar Danuarta yang cerdas, selalu waspada, tak suka terlibat dalam urusan orang lain, kini terlalu bodoh hanya untuk sekedar mengetahui identitas perempuan yang telah berminggu-minggu tinggal berdua dengannya. Apa dia tak punya sedikit pun rasa curiga?

Sementara itu Haidar masih enggan bersuara. Dia sadar bahwa ia memang tak punya info apapun tentang Rayna. Ia memang sempat curiga. Tapi itu dulu... Sebelum akhirnya dia memilih diam. Entah karena memang tak peduli atau tak ingin memaksa. Dibiarkannya perempuan itu menyimpan hal itu sendirian. Karena Haidar tahu, dirinya sendiri pun demikian. Mereka seperti dua manusia baru, tanpa masa lalu, tanpa terikat asal usul yang rumit, bersama dan berinteraksi tanpa sedikitpun ada beban yang menghampiri.

"Cewek itu nggak mungkin turun begitu aja dari langit, Bodoh!" seru Jovan tertahan. "Cewe itu punya keluarga, punya teman, dan punya tunangan..."

Dan kata-kata terakhir Jovan sukses membuat Haidar terkejut-walaupun cepat-cepat menutupi-namun raut itu terlukis dengan jelas di wajah Haidar. Dan itu tak luput dari pandangan Jovan. Pria itu menarik napas panjang dan berat. "Haidar..." Suara Jovan mereda. "Di manapun lo berada lo tetaplah seorang Danuarta." Ia mengucapkannya. "Apapun yang lo lakukan, cepat atau lambat pasti akan menjadi sorotan." tatapannya menghujam tepat ke manik mata adiknya. "Apalagi ini udah bukan cuma tentang diri lo aja. Tapi udah mencakup keluarga lain yang sama-sama menjadi sorotan seperti keluarga kita."

Wajah Haidar langsung menegang, meminta penjelasan.

Tak merespon, Jovan malah mengambil sebuah ponsel berwarna silver di saku celananya, menyentuh-nyentuh layarnya, lalu menempelkan benda itu di telinga.

Haidar memperhatikan.

"Ya..." Pria itu mengangguk dengan serius. "Gue lagi sama dia."

Tak lama berselang, Jovan mengulurkan ponselnya ke hadapan Haidar dengan isyarat agar adiknya segera berbicara dengan seseorang di ujung sana. Haidar pun tak punya pilihan lain. Diambilnya ponsel tersebut dengan hati bertanya-tanya. Setelah benda itu beralih ke tangan, tanpa ragu ia menempelkannya ke telinga, menunggu hingga suara itu menyapa. Suara yang sontak membuat keningnya berkerut hebat.

"Halo Haidar Danuarta. Lo masih ingat gue?"

TBC

Rabu 12 Juni 2024

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rabu 12 Juni 2024

Hayoo siapa ya kira kira yang nelpon Haidar? Coba tebak

JUJUR AKU MAKIN SEMANGAT UP KALO KALIAN RAMEIN KOLOM KOMENTAR NYA 😀


CRAZY GIRL [haeryu]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang