Limerence 01: Mommy?

277K 6.9K 17
                                    

Diantara keramaian itu, dia termenung meratapi nasibnya. Melamunkan hal yang sudah terjadi dan yang mungkin akan terjadi.

Pelepasan wisudawan seharusnya menjadi hal yang membahagiakan, namun tidak baginya. Mayra Yulline sudah lama hidup sendiri.

"Ini." Zara memberikan botol minum kepada Mayra, wanita itu adalah sahabatnya.

"Fakta sudah di depan mata. Beruntung kita sudah mengatur strategi lebih awal dan diterima di perusahaan itu," gumam Zara.

Mayra mengangguk menyetujuinya.

Seorang anak perempuan tiba-tiba terjatuh di samping meja mereka. Dia menangis dan memegangi kakinya yang sakit.

"Astaga! Kamu baik-baik saja?" Mayra menghampirinya.

"Kamu baik-baik saja, sayang? Jangan menangis," ucap Mayra mencoba menenangkan anak itu.

Anak perempuan itu menoleh dan menatap Mayra dengan wajahnya yang sudah dibanjiri air mata.

"Mommy? Mommy!" Dia langsung memeluk erat tubuh Mayra.

Wanita itu terperanjat kaget sampai terduduk lemas ke lantai.

"Apa? Aku bukan mommymu!" Mayra mencoba melepaskan pelukan erat itu.

"Anak mu, Mayra? Kamu punya anak?" Zara benar-benar shock.

"B-bukan!" Pelukan anak itu membuat Mayra kesusahan untuk berbicara.

"Mommy! Mommy dari mana saja? Aku rindu mommy." Anak perempuan itu merengek saat Mayra mencoba melepaskannya lagi.

"Bella!" Seorang wanita tua langsung menggendong anak perempuan berumur lima tahun itu.

"Granny, lepas! Bella mau sama mommy!" Rengeknya.

Wanita tua itu kewalahan dibuatnya. Dengan sigap seorang pria menggendong anak itu dan membawanya pergi lebih dulu.

"Maaf untuk ini semua,” ucap Wanita tua itu dan pergi menyusul mereka.

"Mayra, dia putri mu?" Beberapa orang menatap Mayra yang mencoba untuk berdiri.

"Tidak!" Jawab Mayra panik.

"Kenapa kamu harus berbohong? Jelas-jelas dia menangis ingin bersamamu."

"Jadi kamu sudah menikah?"

"Kupikir dia wanita baik-baik."

"Bukan! Dia bukan putri ku! Aku tidak menikah dan tidak punya anak,” sanggah Mayra.

"Ya sudah. Kenapa harus marah?"

"Jelas sekali dia panik. Dia pasti berbohong."

Mereka pun pergi dengan bisik-bisiknya.

"Kamu yakin itu bukan putri mu?" tanya Zara menatap Mayra yang kembali duduk.

"Umurku baru 23 tahun, dan kita tidak pernah berpisah karena pekerjaan dan pendidikan. Apa kamu pernah melihatku hamil?" tanya Mayra. Dia kembali minum.

Zara tertawa dan mengangguk.

"Wajah anak itu terlihat tidak asing," gumamnya.

"Kamu ingin bilang dia mirip dengan ku?" tanya Mayra membuat Zara tertawa lagi.

"Bukan begitu maksudku. Mm, yah! Dia tidak jarang berkunjung ke toko roti sejak dua minggu lalu. Ya kan? Wanita tua itu juga pernah ikut sekali,” ucap Zara.

"Mm, benar kah? Aku pasti tidak memperhatikannya. Mungkin aku baru melihatnya sekali atau dua kali saja,” jawab Mayra.

"Omong-omong, ibuku meminta ku mengundang mu ke rumah setelah ini. Kita makan di rumah ku saja, dan menginap lah juga."

"Tidak dulu, Ra. Aku ingin ziarah setelah ini. Aku merindukan ibu dan Aluna. Terimakasih," tolak Mayra.

"Ya sudah, setelah ziarah," ucap Zara bersikeras.

"Nanti ku kabari kalau sempat." Mayra pun mengangguk.

Kedua sahabat itu pun akhirnya berpisah ke tujuan masing-masing.

Mayra menyelesaikan ziarah nya dan duduk di kursi taman.

"Mm, semua akan baik-baik saja," ucapnya. Dia memegang cincin di jemari tengahnya dan menghela nafas berulangkali. Ada kesesakan yang tidak bisa dia ungkapkan. Dia menahannya sendiri di dunia yang semakin dingin ini.

Kakinya terulur untuk pulang di lunas hari itu. Dia berjalan pulang ke rumah sederhana dan sepinya.

"Heh, Mayra! Hutang mu!" Seorang wanita paruh baya menghampirinya yang hendak membuka pintu.

"Bulan ini sudah dibayar, bu," ucap Mayra.

"Adikmu sudah lama mati, dan pengobatannya aku yang menanggung! Salah siapa membayar sedikit-sedikit, hah?" bentaknya.

Wanita itu menarik tangan Mayra dan merampas cincinnya.

"Bu! Apa yang kamu lakukan?" Mayra meraihnya namun langsung ditepis dengan kasar.

"Kembalikan bu! Itu berharga bagiku." Mayra menahan tangisnya.

"Berharga? Baiklah gadis sok jual mahal! Cincin ini akan ku tahan sampai kamu membayarkan hutang mu!" Ucap wanita itu dan langsung pergi tanpa peduli dengan Mayra.

"Siapa suruh menolak putraku? Rasakan!" Ucap wanita itu kesal.

"Sabar Mayra, jangan menangis." Mayra mencoba menenangkan dirinya dan langsung mengurung diri di rumah.

"Gaji terakhir ku di toko roti itu akan cair besok. Cincin itu akan ku ambil lagi." Mayra berulangkali menghela nafasnya.

====================
Hy Ezeng, ini Tania Ssi.

Selamat datang di karya baru ku and hope you like it 🤩

Terimakasih sudah mampir.
Jangan lupa untuk meninggalkan jejak vote dan komen biar author semakin semangat. That's so mean for me💓💓💓

Selamat membaca and love you

LIMERENCE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang