Part 4

73 10 0
                                    

11

Entah sejak kapan aquamarine itu terlihat begitu redup, seolah sesuatu telah meraup seluruh cahayanya. Tidak hanya sang aquamarine, bahkan keseluruhan wajah itu telah kehilangan sinarnya seakan sang pemilik tubuh telah menyerah pada apapun. Berkali-kali matanya mengkristal lalu berkedip-kedip, menghalau agar taka da setetes pun yang membasahi wajah. Bibir yang biasanya merona, hari itu terlihat begitu pucat, kering, seakan taka da darah yang mengalir di sana. Bahu yang begitu kecil itu terlihat ringkih, lunglai, walau terduduk di tengah keramaian tawa.

Pandangan sang pemilik tubuh tertumbuk pada liontin di tangannya, liontin yang telah menemani hari-harinya hampir dua tahun terakhir. Bukan karena cantiknya, walau dirinya yakin liontin itu berharga mahal, dibeli seseorang hanya untuk diberikan pada orang yang berharga. Ino menyayangi liontin itu karena diberikan oleh seseorang yang sangat tinggi harganya di hati Ino.

"Apa kau sudah lama?" Ino tersadar dari pikirnya begitu sebuah suara mengintrupsi. Wajahnya terangkat, menatap sosok berambut pirang yang juga tengah menatapnya. Bisa dibilang ini pertemuan pertama mereka secara langsung, di masa lalu Ino hanya mengenalnya sebagai saudara salah satu anggota tim basket di akademiknya.

"Baru saja" Ino menjawab, yang lebih terdengar seperti gumaman menciut di telinganya. Lihatlah, sosok perempuan yang tengah duduk di depannya. Wajahnya terpahat begitu baik, khas perempuan dewasa, tatapannya tajam dan pasti, seakan tak ada keraguan di sana, nada suaranya terdengar mantap, taka da sedikit pun kesan lemah dan manja. Ino menciut, seakan Ia menjadi perempuan terburuk di depan sosok ini.

"Ini" Ino mendorong sebuah kotak kecil ke hadapan Temari "Bukalah"

"Kalung?" Ino mencoba tersenyum, sesekali menggigir bibir bawahnya, sesak di dadanya semakin terasa

"Itu milikmu" selanjutnya Temari menatapnya bingung "Terjadi salah paham, dan berakhir kalung itu padaku tapi i-itu tetap m-milikmu"

"Maaf" entah kenapa bibirnya harus berucap kata itu, tapi benar ini semua salahnya. Mengira susuatu diberikan untuknya, sesuatu yang Ia kira tanda sebuah cinta, sebuah balasan, sesuatu dari orang yang Ia kira juga merasa hal yang sama. Seseorang yang mungkin tak memiliki secuilpun rasa yang Ia harapkan. Ino meringis. Rasa yang terlalu besar itu, membuatnya buta, bahkan membedakan ukuran huruf I dan T saja Ia keliru.

Lama mereka terdiam. Temari, perempuan yang selalu mempunyai kalimat cerdas untuk lawan bicaranya, entah kenapa sore itu tak menemukan satu kalimatpun. Matanya menatap sosok Ino, perempuan yang biasanya terlihat ceria, fashionable, dan cerewet seakan tak ada di sana. Seakan yang duduk di depannya, bukanlah Yamanaka Ino, sahabat calon tunangannya.

"Kau akan pergi?" Netra Temari tertuju pada koper besar di samping Ino

"Liburan" Ino mencoba tersenyum

"Berarti kau takkan datang besok?" Ino tahu Temari hanya bertanya, tidak ada sedikit pun raut di wajahnya ingin menyakiti, tapi efek tanya itu pada hatinya begitu terasa. Ino menggigit bibirnya keras, kedua tangannya saling meremas, menahan segala nyeri. Ia begitu ingin menyuarakan sebuah jawaban tapi suaranya terasa sangat jauh, maka dia memilih diam.

.....

"Tapi kau akan datang ke pernikahan kami kan?" Ino sontak mengangkat wajah, menatap langsung sosok Temari, pernikahan katanya. Sedikit rasa karat terkecap di lidahnya, Ia yakin bibir bawahnya tengah berdarah. Namun, Ia tak ingin terlihat menyedihkan maka dengan sekuat tenaga Ino membentuk senyum.

.....

"Kuusahakan"

12

"Shika, menurutmu antara aku dan Shion siapa yang lebih cantik?" Ino bertanya di suatu siang, di hari libur, di kamar Shikamaru. Manusia yang ditanya hanya menatap Ino sekilas lalu memutar mata, bosan. Puber benar-benar menghantam sahabat nya. Pikir Shikamaru. Dalam satu bulan ini, Ia telah kenyang dengan pertanyaan seperti itu.

Fate or DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang