Part 1

70 6 0
                                    

Berada dalam pesawat di saat senja merupakan salah satu pemandangan yang menarik untuk seorang Shikamaru. Tentu, ini bukan yang pertama kalinya. Tak terhitung senja yang Ia habiskan di atas pesawat, namun biasanya hanya Ia lewatkan dalam tidur. Baru kali ini rasa kantuknya hilang, pergi entah ke mana.

Pesawat itu telah take off sejak 20 menit yang lalu, tentu saja Konoha telah tertinggal jauh di belakang. Ini hanya perjalanan biasa, berulang kali pikirannya mengingatkan. Namun jauh di lubuk hati Shikamaru tahu, bahwa ini bukan perjalanan biasa. Tempat yang akan Ia tuju, bisa saja akan membawanya ke masa lalu, mengenang kembali seorang sahabat, seseorang yang pernah Ia sakiti.

"Dad, aku bosan" Shikamaru tersenyum pada anak berambut nanas yang duduk tepat di sampingnya, tampilan mereka berdua sangat mirip, kecuali matanya "Kau bisa tidur, aku akan membangunkanmu saat kita sudah dekat"

"Baiklah, bangunkan aku 15 menit sebelum kita mendarat" Shikamaru hanya tersenyum, dan tak lama kemudian terdengar dengkuran halus, membuat Shikamaru lagi lagi tersenyum. Siapapun pasti bisa menebak, hubungan apa yang Ia miliki dengan anak berumur 6 tahun di sampingnya. Dia, senyumnya, adalah salah satu harta berharga yang Shikamaru miliki di dunia ini.

Kembali menatap langit yang semakin menjingga, Shikamaru menghembuskan nafas halus. Banyak senyum yang ingin Ia lindungi, senyum Ayah-Ibunya, senyum istrinya dan senyum seseorang di masa lalu, walau pun semua gagal. Tak ada satu pun senyum yang dapat Ia pertahankan, bahkan dirinya penyebab senyum itu hilang.

Sungguh, demi apapun, tak pernah ada maksud dirinya ingin menyakiti. Shikamaru tak pernah ingin melihat salah satu dari mereka meneteskan air mata, terlebih karena dirinya. Namun Ia naif, mungkin juga munafik, Ia membiarkan dirinya kehilangan salah satu yang paling berharga. Dirinya berbahagia dia atas mendungnya sebuah langit biru, redupnya sebuah tawa, dan hilangnya sebuah senyuman.

Ia tahun dalam kisah ini, dirinya yang paling bersalah.

1

Shikamaru sengaja datang satu jam lebih awal ke tempat latihan, agar Ia bisa tidur dengan tenang. Tapi baru saja Ia memejamkan mata, telinga nya menangkap suara pintu yang terbuka, lalu derap langkah yang begitu bergema, Ia yakin itu bukan suara sepatu olahraga, suara yang dihasilkan terlalu tajam dan teratur. Shikamaru menghembuskan nafas kasar, siapa lagi, itu pasti sahabatnya, suara itu pasti suara heels Ino. Shikamaru terbangun dari posisi tidurnya, meski Ia pura pura tidur pasti Ino tahu.

"Halo" Shikamaru memalingkan wajah, demi mendengar suara yang sangat asing, itu bukan suara Ino. Mulutnya sedikit terbuka menatap sosok yang berdiri sekitar 1 meter di depannya. Rambutnya pirang, sama seperti Ino, namun tak ada biru di sana, hanya mata kelam yang begitu tajam, begitu memikat, raut wajahnya tegas, tak sedikitpun ada kesan lemah dan manja. Sangat berbeda dengan yang Shikamaru temui setiap harinya.

"Aku mencari adikku, Gaara. Saabaku Gaara" Perlu beberapa detik untuk Shikamaru mencerna kalimat itu, adik katanya, tentu saja, raut wajah nya cukup menggambarkan bahwa usianya lebih tua beberapa tahun dari Shikamaru.

"Dia belum datang, latihan biasanya dilakukan satu jam lagi" Shikamaru berucap.

Tentu dia menyadari, sosok di depannya berbeda, sosok perempuan dewasa. Tak ada nada centil dan manja dalam suaranya, begitu mantap dan tegas, setegas wajahnya yang menawarkan sedikit senyuman. Dan tanpa Shikamaru sadari, kedua sudut bibirnya sedikit terangkat, wajahnya menghangat, dan untuk pertama kalinya jantungnya berdetak begitu kencang.

"Aku Temari, Saabaku Temari" Perempuan itu menjulurkan tangan dan sebuah senyuman

.....

.....

"Shikamaru, Nara Shikamaru"

.

.

.

2

Shikamaru menatap laki-laki yang tengah menyodorkan sebuah kertas berwarna kepadanya "Kau kan dekat dengan Ino, aku minta tolong yah" Shikamaru memutar mata, bosan. Entah ini yang keberapa kalinya, dia bosan menjadi perantara untuk mereka yang menyukai sahabatnya. Urusan ini telah menajdi keseharian Shikamaru sejak mereka memasuki masa remaja, masa di mana virus merah muda menyebar begitu cepat.

Tentu, jauh-jauh hari Ia telah menyadari, bahwa sahabatnya akan tumbuh menjadi sebuah bunga yang begitu indah. Tapi Ia tak berekspektasi akan semerepotkan ini. Terlebih, sahabatnya itu terlalu pemilih, jadilah Shikamaru dan Choji, sebagai sahabat gadis itu yang terkena imbasnya. Tak ada satu pun dari mereka yang Ino lirik, namun tak membuat mereka menyerah, bahkan semakin hari, semakin membludak.

Shikamaru melirik Choji yang hanya memasang wajah polos dengan mulut masih mengunyah sesuatu, sangat tak membantu. Pikir Shikamaru "Hn" Dengan enggan Shikamaru menerimanya, laki-laki itu tersenyum, mengucapkan beberapa terimakasih lalu pergi.

"Anak kelas sebelah, salah satu anggota tim sepak bola" Choji berucap "Orangnya baik"

"Katakan itu pada Ino" Shikamaru menghembuskan nafas kasar "Mendokusei, aku tak mengerti mengapa mereka begitu tergila-gila" Choji terkekeh

"Ino itu cantik"

.....

.....

"Aku tahu"

"Sayangnya, dia hanya melirik satu orang"

.

.

.

3

"Hai" Shikamaru berbalik, mata kelamnya langsung terdikstrasi dengan sosok yang tengah berdiri di depannya "Aku dengar kau menang" sosok itu berjalan mendekat "Kau mengalahkan adikku" sebuah tawa kecil terdengar di akhir kalimat, membuat Shikamaru juga tersenyum. Kini mereka hanya berjarak kurang dari setengah meter.

"Hanya sebuah keberuntungan, mereka juga tim yang hebat" Shikamaru harus menghentikan dirinya untuk tersenyum, sungguh tersenyum sangat bukan dirinya.

Shikamaru telah lama mempersiapkan diri untuk hari ini. Sejak pertemuan pertama mereka, sosok Temari tak pernah hilang dalam benaknya, namun Ia tak ingin membuat semuanya terlalu cepat. Melalui Gaara, hubungan mereka berlangsung via telepon.

Shikamaru mengagumi bagaimana gadis yang dua tahun lebih tua dari usianya itu mengurus kedua adiknya, tanpa orang tua, walaupun tak menutupi fakta bahwa mereka berasal dari keluarga bangsawan Suna. Shikamaru mengagumi bagaimana tegasnya, bijaksananya, gadis itu dalam mengambil sebuah keputusan sebagai seorang kepala keluarga.

"Jadi bagaimana Suna?" Perempuan itu berucap setelah keheningan beberapa detik.

"Panas" dan terdengarlah tawa itu, tawa yang begitu merdu di telinga Shikamaru, tawa yang mungkin Shikamaru siap tukarkan dengan apapun "Maaf, kau begitu jujur" masih terdengar tawa kecil, dan tak ada sedikitpun raut tersinggung di wajah Shikamaru, hanya senyuman di sana.

"Kau harus sering tertawa" Temari memalingkan wajah, focus pada laki-laki di sampingnya, tawanya berganti dengan raut wajah heran "Kenapa?"

"Kau cantik saat tertawa" seketika keduanya dilanda keheningan dan Shikamaru menyesal telah mengucap kalimat itu, mungkin Temari mendengarnya sebagai sebuah godaan murahan.

"Temari" Shikamaru berucap sambil memberanikan diri menggenggam kedua tangan gadis di sampingnya, membuat seluruh atensi gadis itu berpusat padanya. Shikamaru menarik nafas, dan menghembuskannya pelan.

"Aku tahu ini merepotkan, dan akan lebih merepotkan lagi jika tak dikatakan" Temari hanya tersenyum, terlalu banyak kata merepotkan di sana. Batinnya. Dan detak jantung Shikamaru tak bisa lebih cepat lagi, bahkan Ia takut Temari akan mendengar detak jantungnya.

"I love you" Senyum Temari semakin melebar, genggaman keduanya semakin erat dan perlahan jarak diantara keduanya semakin terkikis. Selanjutnya, Shikamaru merasakan sebuah pelukan hangat yang sesaat membuatnya mematung.

....

"Love you, too"

.

.

.

Fate or DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang