Part 4

97 8 2
                                    

13

Hari-hari setelah malam itu terasa semakin berat. Mereka berdua tak ubahnya orang asing yang tinggal dalam satu rumah. Yoshino paling menyadari hal itu, Temari dapat merasakan wanita itu lebih memperhatikannya, atau mungkin lebih memperhatikan cucu dalam perutnya.

"Temari, bisa aku bertanya sesuatu?" Yoshino membuka pembicaraan, di suatu pagi, di saat kehamilannya memasuki bulan sembilan, menghitung hari menuju persalinannya. Alis Temari terangkat, wanita itu tak pernah mengajaknya berbicara serius.

"Kau tahu di mana Ino?" Pupil Temari melebar, Ia tahu perihal Ino tak pernah hilang dari rumah ini tapi Ia tak pernah memprediksi Yoshino akan bertanya langsung padanya. Temari terdiam, Ia sangat ingin mengelak, berkata 'tidak' tapi sudah terlalu banyak kebohongan yang Ia lakukan.

"Aku tahu, kau mengetahuinya. Katakan Temari. Aku janji takkan mengatakannya pada Shikamaru" Wanita itu memelas, menggenggam erat tangan menantunya.

...

"Kau boleh kembali ke Suna" Alis Temari terangkat, menatap ibu mertuanya "Aku tahu kau tak senang tinggal di Konoha. Aku akan memaksa Shikamaru untuk pindah setelah persalinanmu" Temari masih bungkam, tak tahu harus berkata apa. Sejelas itukah terlihat rasa tidak senangnya.

Detik detik berlalu. Pupil Temari kembali melebar menyaksikan ibu mertuanya berlutut, wajah tua itu penuh air mata "Almarhum Ibu dan Ayah Ino datang padaku, menangis, meminta tolong untuk putri mereka. Aku tahu itu hanya mimpi dan mungkin tak berarti apapa, tapi aku tak bisa diam. Aku harus bertemu dengan Ino" Mata Temari ikut berkaca-kaca melihat ibu mertua, sebesar inikah rasa cinta mereka. Batin Temari.

.....

"Katakan nak, jika kau mengetahui sesuatu. Sekali lagi aku janji takkan memberi tahu Shikamaru"

.....

.....

"Bangunlah Bu, aku akan memberi tahumu "

.

.

.

14

Hari persalinannya tiba. Ia telah berada di rumah sakit untuk persiapan, beberapa pembukaan telah dilaluinya. Ia menatap suaminya yang berjalan mondar-mandir dengan wajah frustasi sambil menatap ponsel. Mertuanya pergi sejak 2 minggu yang lalu, beralasan pada Shikamaru bahwa wanita itu akan mengunjungi kerabat mereka yang ada di Tokyo. Namun seminggu berlalu, wanita itu tak kunjung kembali, membuat putranya mengkonfirmasi keberadaan ibunya yang tak lagi di Tokyo. Dalam telepon, wanita itu berujar bahwa dia baik-baik saja, bahwa dia akan pulang secepatnya.

Hingga hari persalinannya, wanita itu tak kunjung kembali. Temari tak tahu apa yang terjadi, mungkin benar terjadi sesuatu dengan Ino membuat Yoshino tertahan begitu lama di sana. Atau mungkin Wanita itu begitu menyayangi Ino, hingga tak ingat menantunya yang akan melahirkan di Konoha.

Suaminya masih berusaha menelpon, saat rasa sakit yang begitu besar menyerang perutnya.

"Shik-aamaru" Temari mengejang, dengan sigap Shikamaru berlari keluar memanggil dokter.

Proses persalinannya berjalan lambat, beberapa kali kesadaran nya hampir hilang, samar-samar Ia melihat raut wajah khawatir suaminya. Sekuat tenaga Ia mengejang, mendorong sang janin hingga terdengar suara tangisan bayi, membuatnya bernafas lega.

.....

"Terimakasih"

.

.

.

.

Temari tersadar dari tidur begitu rasa sakit yang begitu besar kembali menyerang perutnya. Persalinannya telah selesai puluhan menit yang lalu dan tak ada masalah, harusnya tubuhnya baik baik saja tapi ini begitu sakit.

"Shika-maru" Dirinya mencoba bersuara, memanggil pria yang tengah berbaring tak jauh darinya.

"Ada apa?" Wajah itu kembali khawatir "Sa-kit" Tanpa berucap, Shikamaru berlari keluar dan kembali dengan beberapa dokter. Temari tak ingat apa yang terjadi setelahnya, rasa sakit yang semakin mendera membuatnya hilang kesadaran.

Saat netranya kembali terbuka, samar-samar terdengar dokter menjelaskan infeksi yang terjadi pasca melahirkan. Saat itu dirinya sadar bahwa waktunya takkan lama, rasa sakit itu masih terus mendera.

"Shika-maru" Pria itu mendekat, mencoba tersenyum walau ekspresi frustasi tetap di sana "Hei"

"Shika-dai, aku ingin melihatnya" Entah kapan wajah Temari penuh air mata. Putranya baru lahir beberapa menit yang lalu, harus kah Ia pergi sekarang. Ia belum menggendongnya, belum melihatnya tertawa, belum menyuapinya, belum mendengarnya memanggilnya 'mama' dan banyak hal yang masih ingin Ia lakukan dengan putranya. Harus kah Tuhan menjemputnya sekarang. Batin Temari.

Shikamaru kembali sambil menggendong anak mereka, meletakkannya di samping Temari

"Shikadai. Maafkan mama yang tak bisa lama bersamamu. Maafkan mama yang tak bisa melihatmu tumbuh besar, tak bisa melihatmu berjalan, tak bisa menemani tidurmu. Maafkan mama" Dengan bercucuran air mata, Temari mencium kening putranya, mengusap rambut hitam sang bayi "Dengarlah selalu kata-kata Papa dan Nenekmu, jangan suka membantah. Tumbuhlah menjadi laki-laki hebat seperti Papamu. Sesekali berkunjunglah ke Suna, di sana ada paman-pamanmu. Kau akan dicintai, kau akan disayangi banyak orang"

"Temari, jangan berkata seperti itu. Kau akan baik-baik saja" Shikamaru mendekat, mengusap pelan wajah istrinya yang pucat. Temari menggeleng, menatap mata kelam suaminya. Ada banyak hal yang ingin Ia katakan pada pria itu, tapi Ia tak sanggup. Maka yang bisa Ia lakukan hanya menangis, memori-memori itu kembali terulang, membuat sebongkah penyesalan menyesaki dadanya. Seharusnya dari awal dirinya tak hadir di antara mereka.

....

....

"Shikamaru maafkan aku"

.

.

.

.

The End of Sabaku's Fate

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 25 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Fate or DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang