Ayla,
Mungkin ini surat terberat untuk kutulis untuk memberitahumu sesuatu, saat kejadian itu.
Waktu terus berjalan, bahkan tidak terasa bahwa waktu kelulusan akan tiba. Masa putih biru menuju halaman terakhir namun aku berharap hubungan kita tidak ikut ke lembaran itu.
Murid-murid lain mulai menyiapkan persiapan untuk menghadapi ujian nasional. Kamu, seorang jenius yang selalu nangkring di tiga besar tidak mungkin hanya bersantai-santai untuk bertempur di hari itu.
Kita sibuk saling menyiapkan diri untuk menghadapi soal-soal yang menentukan nilai kita untuk masuk ke jenjang berikutnya.
Dan kamu ingat kan? Kita adalah angkatan terakhir yang akan melaksanakan ujian nasional karena menteri pendidikan baru saja mengeluarkan kebijakan bahwa ujian nasional akan dihapuskan.
Aku bersyukur karena aku merasa tidak adil bahwa masa depan kita hanya ditentukan oleh empat hari itu.
Ayla. Didekat hari ujian itu akan diadakan, hal yang kita tidak semua duga bahwa serangan virus yang mewabah ke seluruh dunia dengan sangat cepat.
Murid-murid yang mempersiapkan diri buat ujian nasional mati-matian merasa kecewa dan sakit hati karena pandemi itu membatalkan ujiannya.
Libur dua minggu yang sangat bersejarah.
Setelah itu banyak kegiatan dilakukan secara online, minat para pelajar kian menurun karena pembelajaran yang kurang efektif.
Hingga tiba waktunya saat kita harus berpisah, kamu masuk ke SMA yang tak jauh dari SMP kita.
Namun sepertinya tahun itu adalah tahun tergelap yang pernah kualami.
Aku kira masa depanku telah hilang. Perasaan tertinggal yang menggerogoti dada membuatku kesulitan bernapas. Aku berpikir ingin mengakhiri hidup saat itu. Menenggelamkan diri di lautan keputusasaan, menggantung diriku di bawah pohon kegagalan, dan memotong nadi harapan.
Tahun yang menjadi titik balikku. Tahun yang membuatku untuk mengganti kulit, mengupas segala keburukan di masa lalu, dan menanam karakter lebih baik untuk masa depan.
Ayla, sejak itu kita tidak pernah berkomunikasi lagi. Aku memutuskan menutup diri dari semua orang hingga waktunya sudah siap untuk menerima takdir yang sudah dituliskan Tuhan untukku.
Satu hal yang kupelajari dari itu adalah kita tidak akan tahu cara bangkit jika kita tidak pernah terjatuh, tidak tahu cara bertahan jika tidak pernah diterpa, dan tidak tahu cara menjadi lebih baik jika kita tidak pernah menjadi buruk.
Ayla, ini adalah cara Tuhan untuk menegurku yang begitu banyak melakukan kesalahan dan begitu jauh dari-Nya.
Sesakit ini ya, proses pendewasaan itu?
Aku tersenyum menulis kalimat di atas, tapi aku tetap bersyukur bahwa momen itu telah terjadi.
Ayla, aku kira detak ini sudah berhenti ternyata hanya denyutnya saja yang melemah.
Sekarang detak itu sangat kuat hingga orang-orang di sekitarku bisa mendengarnya, haha.
-Ariem
KAMU SEDANG MEMBACA
Für Ayla [END]
Short StoryKegelisahan atas kerinduan yang mengganggu, dikeluarkannya kertas dan pena untuk menuangkan paragraf berisi momen-momen bersama dan bagaimana perasaan hangat itu tumbuh. Sang penulis berharap dengan menulisnya, kerinduannya dapat menghilang perlahan...