Prolog

97 15 3
                                    

"Kalau abis lulus nanti kalian mau ngapain?"

Jujur saja keempat remaja itu terdiam di ruangan kelas. Kepala mereka menempel satu sama lain, sembari menatap langit-langit kelas yang kosong. Udara sejuk sesekali menampar mereka melalui jendela. Beberapa kali suara bola basket yang memantul atau suara teriakan dari pemain futsal terdengar hingga ke kelas yang mereka tempati. Entahlah, itu kelas kosong yang mereka temukan sejak awal semester kelas 3. Tidak ada ekskul atau guru yang menggunakannya. Lalu dengan isengnya, mereka menggandakan kunci pintu ruangan itu dari satpam dan menggunakannya sesuka hati mereka.

Tatapan mereka beralih saat salah satu teman mereka yang berambut keriting bersuara. Pemuda itu masih menatap langit-langit kelas sembari menunggu jawaban dari teman-temannya yang lain.

"Ngapain? Maksudnya kerja atau kuliah gitu?" tanya pemuda yang berbaring di sebelahnya. Rambutnya tebal, tetapi tidak panjang. Matanya melirik pada temannya yang bertanya tadi.

Pemuda berambut keriting itu mengangguk. "Iya. Kuliah di jurusan apa atau kerja apa gitu."

Teman gadis mereka tertawa kecil, seolah baru saja mendengarkan jawaban dari anak-anak.

"Gue yah, paling jadi model atau sekolah fashion. Cuman itu yang gue bisa. Oh, sama nge-gym kali, buat ngestabilin bentuk tubuh," jawab gadis berambut panjang yang digerai itu. Rambutnya sesekali menyapu wajahnya dikala angin berhembus kencang ke arahnya.

Gadis yang di sebelahnya menghela napas panjang. Gadis itu lantas bersedekap dan kembali menatap langit-langit kelas. Rambutnya pendek seleher sedikit bergelombang, seolah semua orang menamainya gadis dengan rambut yang tidak bisa memanjang, pasalnya jika rambutnya yang sekarang bertambah satu senti saja, ia akan langsung memotongnya.

"Kalau gue, belum tau. Gue mah mana bisa jadi dokter kayak bokap nyokap. Boro-boro tau bedanya vena sama arteri, matematika kabataku aja kadang sering salah. Bisa mati orang di tangan gue anjir," ucapnya dengan tawa kecil, seolah menyatakan bahwa ia memang tidak lebih baik dari orang tua ataupun saudara-saudaranya yang lain.

Pemuda di sebelahnya turut terdiam lantas mengusap wajahnya. "Gue juga, sih. Mau mikir ngapain aja gak tau. Punya bokap politisi sampe jadi komunis gitu aja udah bikin gue pusing. Tapi gue pengen jadi jurnalis kali, kayak mbak Najwa biar politikus tolol kayak bokap gue ketangkap. Soalnya belakangan ini, gue liat, orang-orang kayak mereka makin menjadi gilanya." Lantas ia menghela napas kasar dan kembali menatap langit-langit kelas.

"Gue .... Model, mungkin? Soalnya yang bisa gue lakuin cuman itu. Dari kecil udah di les buar jadi model. Tapi .... Emangnya kalau kerja itu harus nyiksa diri ya? Gak makan, harus olahraga setiap saat, pake baju yang sesek atau terbuka. Kalau iya .... Gue rasanya gak pengen jadi model." Salah satunya kembali berbicara, tangannya mengelus-elus perut ratanya kemudian menghela napas pelan. "Kayaknya gue gendutan, deh."

Semuanya kembali terdiam, seolah memikirkan pertanyaan tadi menjadi lebih serius. Bahkan yang memberi pertanyaan juga terdiam. Mereka tidak pernah memikirkan hal seserius seperti itu. Namun, berada di tahun terakhir benar-benar harus dipikirkan kembali tentang apa yang mereka lakukan.

"Kalau gue .... Mau jadi pembuat film." Tangannya bergerak ke atas, membentuk persegi dan menutup satu matanya, seolah sedang melihat lampu dari kamera.

Semuanya beralih, menatap pemuda itu yang masih membentuk tangannya. Membuat seketika ruangan menjadi tempat syuting.

"Tapi .... Kalau belum tau mau jadi apa sekarang, gak apa-apa kah?"

Mereka terdiam kembali. pertanyaan itu juga menjadi pertanyaan yang tidak bisa mereka jawab. Bagi mereka, menjadi remaja adalah jalan untuk mencari jati diri. Namun, kelulusan akan segera tiba, jika tidak buru-buru mereka bisa menjadi pengangguran.

Lalu, esensi menjadi remaja itu yang bagaimana?

Riak Mimpi Para Remaja [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang