.𖤘˚20

18 1 0
                                    

Yohan menyalakan lampu kamarnya dan membiarkan Nata masuk ke dalam. Ia merapikan beberapa buku yang kembali berserakan di lantai, supaya tidak ada yang kesandung bodoh hanya karena sebuah buku tebal. Bahkan dengana danya kasur yang cukup besar, Nata memilih duduk di lantai yang beralaskan karpet berwarna hitam.

Bagi Nata, kamar Yohan sudah seperti perpustakaan kecil. Buku-buku yang ada di kamarnya lebih banyak dari yang pernah ia duga. Dari sekilas yang ia baca, buku yang dikoleksi oleh Yohan hanyalah buku non-fiksi. Lalu, kebanyakan merupakan tentang programming dan jurnalisme. Ada banyak ornament dan perabotan di kamar Yohan, selayaknya orang yang tengah memuaskan dirinya sendiri atas kegunaan pribadi.

Yohan mengeluarkan meja kecilnya dan meletakkannya di lantai. Ia membiarkan Nata terdiam di sana, sembari ia mengeluarkan laptop dari tasnya dan meletakkannya di atas meja. Ia terus diam, belum memikirkan kalimat yang ingin ia katakan kepada Nata.

"Lo mau minum apa?" tanya Yohan pelan setelah menyalakan laptopnya.

Nata menoleh sejenak dan tersenyum tipis. "Apa aja yang penting gak ngerepotin."

"Apa aja gue kasih air keran lo."

Nata tertawa kecil. "Jangan dong. Mati cacingan gue nanti. Apa aja, air putih biasa juga boleh, Han. Intinya yang gak ngerepotin lo."

Yohan menghela napas panjang lantas keluar dari kamarnya untuk membawakan tamunya minuman. Namun, matanya tertuju pada pria paruh baya yang baru saja masuk ke dalam rumah dan menatapnya dengan tajam.

Bangsat.

Yohan menutup pintu kamarnya dan beralih menuju dapur, berusaha mengabaikan kehadiran pria tua itu. ia tidak ingin memulai keributan di hadapan sahabatnya. Namun, mau bagaimanapun juga, Yohan tidak bisa menebak isi pikirn ayahnya itu. entah masalah apa lagi yang sedang dihadapi pria itu.

Yohan mulai membuatkan teh es di dapur, memanaskan air dan menunggunya hingga mendidih.

"Siapa yang datang?" tanya pria tua itu, ia mendekat pada Yohan dan menatap air yang sedang dimasak.

"Teman sekolah." Napas Yohan menderu kencang. Ia merasa tidak aman berada di sekitar ayahnya sendiri. bukan, mungkin lebih karena ia merasa dalam bahaya, apa lagi ia sedang memasak air panas. Isi kepalanya hanya dipenuhi dengan scenario terburuk, terlebih atas semua yang telah terjadi.

"Oh." Satu kata itu membuat Yohan terdiam. Pria tua itu berjalan pergi meninggalkannya sendirian di dapur.

Perlahan napasnya kembali seperti semua, bahan setelah ia menuangkan es batu ke dalam teko dan membawa dua gelas bersamanya ke dalam kamarnya. Tatapannya kembali tertuju pada Nata yang bahkan terlihat bingung atas ekspresi yang tertempel di wajahnya. Yohan menutup pintu kembali, mengeluarkan snack yang ia simpan di sebuah kotak di bawah meja belajarnya dan meletakkannya di meja kecil tadi.

"Tadi, bokap lo? Waktu lo nutup pintu kamar tiba-tiba?"

Yohan terdiam lantas mengangguk. "Gue takut lo yang diapa-apain bokap. Makanya gue tutup pintunya," jawabnya pelan sembari mengelus tengkuknya.

Nata tidak tahu harus merespon apa. Tangannya tidak bergerak meskipun telah memegang mouse. Ia ingin sekali melanjutkan kegiatannya, hanya saja perasaannya terhadap apa yang sedang dialami Yohan membuatnya kebingungan. Ia sampai mengingat percakapannya dengan Yohan setelah syuting selesai, bahkan saat Yohan baru saja selesai merapikan kabel-kabel di dalam ruangan.

"Gue sayang sama orang tua gue. Tapi, gue gak bisa maafin apa yang udah dilakuin bokap gue." Yohan terdiam saat ia menyimpan kabel-kabel tersebut di dalam lemari. Tatapannya perlahan tertuju pada Nata yang baru saja menyimpan kamera kembali ke dalam tasnya, termasuk baterai-baterainya.

"Tapi, lo gak benci sama dia, kan?"

Yohan terdiam mendengar pertanyaan itu. Dikatakan benci, rasanya tidak benar juga, tetapi ia tidak menemukan kalimat yang tepat untuk mengutarakan perasaannya. Butuh waktu sampai akhirnya ia kembali membuka suara. "Sebagai laki-laki, gue ngerti perjuangan dia, tapi sebagai anak gue benci sama sifat dia yang enggak mementingkan keluarganya."

"Lo gak mau memperbaiki hubungan kalian?"

Yohan kini meremas kedua tangannya, memikirkan baik-baik jawaban yang ingin ia keluarkan. "Mau. Gue mau semuanya balik kayak dulu. Sebelum bokap gila jabatan. Sebelum orang tua gue cerai, atau bahkan sebelum kakak gue meninggal akibat aktivis dia."

Nata tersenyum tipis. "Merubah bukan berarti balik kayak dulu, Han. Apa yang harus lo lakuin sekarang itu merubahnya untuk menjadi lebih baik. Butuh waktu, Han. Tapi lo perlu bicara sama dia baik-baik."

"Kapan? Kapan waktu yang tepat buat bicarain kayak gitu? Setelah pemilihan daerah? Setelah dia berhenti gila jabatan? Atau kapan?" Raut wajah pemuda itu dengan jelas menunjukkan keputusasaan. Seolah menunjukkan jika ia juga lelah dengan semua yang ia lakukan atau pertahankan.

"Waktu yang tepat itu, cuman lo yang tau, Han."

Nata menyelesaikan editan filmnya sampai pada tahap potongan. Hanya dengan potongan tersebut, film yang ia kerjakan sudah menampakkan tujuannya. Pemuda itu pamit pada Yohan setelah jam menunjukkan pukul 8 malam dan ia tidak enak menetap lebih lama di rumah Yohan. Apa lagi ia juga masih memiliki permasalahan dengan orang tuanya sendiri dan tidak enak jika pulang lama.

Yohan kembali menonton hasil potongan film yang mereka kerjakan. Total durasinya adalah 10 menit dan belum masuk pada credit title. Maksimal film adalah 15 menit. Harusnya dengan semua itu akan cukup untuk mengikuti kompetisi dari sutradara bernama Danu. Pemuda itu menyelesaikan tontonan potongan kasar pada film itu, lalu mendesah panjang saat menyadari semua kalimat yang ia ucapkan di dalam film.

Yohan beranjak dari kamarnya, membawa teko dan gelas kotor keluar, serta mencucinya dengan segera. Namun, ia kembali menatap ayahnya yang sedang memasak di dapur. Sebuah kebetulan yang jarang sekali terjadi.

Napasnya kembali menderu kencang, menatap minyak panas di atas wajan. Rasanya ia ngeri melihat itu, takut jika akan disiram minyak panas dan tubuhnya menjadi matang. Hanya saja, pria tua itu belum mengatakan apa-apa padanya, membuat dirinya sendiri kebingungan. Ia tidak terbiasa dengan sifat diam itu. ia lebih takut jika ayahnya akan menyerangnya lebih parah daripada biasanya.

"Kamu mau ketemu Bunda?"

Yohan membeku di tempatnya. Membiarkan air dingin mengalir ke tangannya. Ia meneguk salivanya sendiri saat mendengar pertanyaan itu, sehingga ia menoleh dan menatap wajah sedih pria tua itu.

"Besok ulang tahun kakakmu, kan?"

Yohan benar-benar tidak mengerti atas apa yang sebenarnya sedang terjadi. Pria itu tidak bersikap seperti biasanya. Caranya berbicara, caranya menatap dan caranya bergerak. Bahkan hanya dengan itu, Yohan merasa sedih atas apa yang ia pikirkan.

Ia mau. Ia sangat mau bertemu dengan bundanya. Ia ingin sekali berbicara kepada keduanya lagi. Ia juga ingin ke makam kakaknya. Ia ingin semuanya jika boleh menjadi orang yang serakah.

Yohan mematikan keran air, lantas mengangguk untuk menjawab pertanyaan tersebut. "Mau, Yah."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 22 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Riak Mimpi Para Remaja [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang