Nata tidak bisa tidur tenang sehingga tampak jelas kantung matanya membesar. Ia sesekali menguap dan berusaha terlelap sebelum bel masuk berbunyi. Namun, ia beberapa kali diganggu oleh Isha. Gadis itu sesekali menarik rambut Nata sehingga pemuda itu tidak bisa tertidur dengan lelap. Bahkan dengan wajah yang terlihat sangat melelahkan, Nata masih berusaha untuk tidur meskipun akhirnya bel masuk berbunyi.
"Asem lu," umpatnya kesal. Ia mengusap wajahnya kasar, berusaha menghapus rasa kantuk yang tertempel di wajahnya.
Isha hanya membalas umpatan itu dengan tawa dan mengeluarkan buku-buku dari tas kecilnya. Berbeda dengan Nata yang mengeluarkan buku dari lacinya, seolah tas yang ia bawa tidak ada isinya. Keduanya serentak menguap dan mulai menatap ke papan tulis dengan telinga yang mendengarkan penjelasan guru secara seksama.
Pagi mereka di awali dengan angka-angka trigonometri yang sangat dibenci oleh Isha. Pelajaran yang diajar hanya membuatnya kesal dan menyadari betapa lemahnya ia pada mata pelajaran tersebut dan membuatnya harus menghadapi kenyataan bahwa ia lebih bodoh daripada saudara-saudaranya yang lain.
Gadis itu perlahan mencoret-coret bukunya sembarangan, tidak mencatat materi apa pun ke dalam buku catatannya yang telah menipis. Ia hanya mengisinya dengan coretan acak atau sesekali menggmbar tidak jelas. Tatapannya sesekali terlihat kosong sambil sesekali ia melenguh panjang. Lagi pula 2 jam pelajaran memang memberatkan untuk menghitung trigonometri.
"Btw .... Tentang sutradara yang datang itu namanya siapa?" Nata kembali bersuara ketika jma pelajaran kedua berakhir dan guru yang mengajar telah keluar dari kelas. Pemuda itu lantas meregangkan tubuhnya dan menatap Isha yang baru saja menyimpan buku ke dalam tasnya.
Isha menoleh, kemudian ia berusaha mengingat-ingat kembali hasil rapat kemarin. "Danu Wangsa."
Nata terdiam. Nama sutradara itu memang tidak seterkenal Angga Dwimas Sasongko, Pritagita, Christoper Nolan, dan yang lainnya. Namun, Nata terdiam seperti sedang diingatkan kembali atas suatu film pendek, sangat pendek yang hanya lima menit di warnet. Film yang hanya menunjukkan karakter orang buta yang menjelaskan perasaannya. Lalu nama sutradara tersebut, Danu. Danu Wangsa. Orang yang sama yang membangkitkan mimpi untuk menjadi pembuat film.
"Seminarnya buat seluruh siswa, kan? Bukan angkatan tertentu?"
Isha mengangguk sembari mengusap wajahnya dan menguap kembali. "Minggu depan, tuh. Kenapa? Lo minat banget sama perfilman ya? kok gue gak pernah tau."
Nata terdiam kemudian tersenyum kecut. "Karena gak penting juga, sih. Gak bakal tercapai juga cita-cita gue."
Isha tertawa kecil kemudian melipat tangannya di atas meja. Tatapannya masih tertuju pada Nata yang terlihat malu mengatakan sebuah mimpi. "Penting, sih. Yah, pas besok dia datang jangan lupa ambil kesempatan apa aja. Tanya semua yang mau lo tanya. Bisa jadi itu jalan lo buat capai cita-cita lo."
Nata mendengarkan itu dengan seksama. Tentu saja. di kepalanya ingin menanyakan 1001 pertanyaan kepada pria brnama Danu itu. ia ingin mengetahui semuanya. Ia ingin mencapai cita-citanya sebagai pembuat film dan ia sangat ingin tahu itu. Pelajaran berlanjut dan Nata kembali kehilangan fokusnya dengan memikirkan pertanyaan-pertanyaan yang akan ia lontarkan pada sosok Danu.
Nata terdiam kembali di Raun, nama ruangan yang mereka gunakan, bersama Yohan yang kembali mengetik di laptopnya. Temannya itu sedang asik merapikan program koding untuk dapat dikumpulkan dengan segera tanpa terasa beban berat sedikit pun. Disebut bermimpi sebagai programmer sebenarnya tidak juga, ketiga temannya tidak pernah tahu apa mimpinya yang sebenarnya. Di saat itulah, pertanyaan mengenai mimpi terlewat di pikiran Nata.
"Jadi programmer, enak gak, Han?" Nata mendongakkan kepalanya, menatap sosok pria berkacamata yang fokusnya masih pada layar laptopnya.
Merasa diajak berbicara, Yohan menoleh dan menatap Nata yang berbaring santai di sebelahnya. "Tergantung konteks enak itu yang gimana di lo."
Nata berdecih, merasa jawaban Yohan benar. "Kalau gitu lo mau jadi programmer?"
Yohan yang dari tadi sibuk mengetik kini terdiam. "Enggak tau. Gue bisa ngerjain semuanya. Gue bisa design, bisa ngoding, bisa sejarah, bisa matematika. Jadi menurut gue itu bukan suatu cita-cita gue? Lebih kayak oengen ngembangin skill aja."
"Kalau disuruh nentuin cita-cita atau hal yang pengen lo lakuin setelah lulus sekarang lo bakal jawab apa?"
Yohan mengernyitkan dahinya, berusaha mengerti kalimat tersebut sebisanya."Gue belum tau. Gue sejak kecil diajarin buat bisa ngerjain semuanya dan sekarang gue jadi bingung dengan apa yang gue suka. Bapak gue politisi dan yang dia tekanin ke gue supaya bisa jadi anggota dewan. Tapi gue gak mau."
"Terus lu mau jadi apa?"
Pemuda berkacamata itu menghela napas panjang dan kembali mengetik di laptopnya. "Emangnya kenapa? Lo udah kayak mikirin tugas anak TK, nanya cita-cita orang."
Nata lantas tertawa kecil. "Enggak, nanya aja. Gue takut kalau belum nemuin jati diri kayak sekarang itu bakal susah pas lulus nanti."
Yohan meletakkan laptopnya di lantai, lantas menatap sahabatnya itu. "Masih ada waktu, Nat. Lo bisa mikirin itu baik-baik. Jangan terburu-buru, enggak ada hasil yang bagus kalau lo ngerjainnya terburu-buru gitu."
Mendengar kalimat itu, Nata kembali terdiam. Ia tidak pernah menyangka jika akan dinasehati begitu oleh sahabtnya sendiri yang mungkin mengalami masalah yang sama dengannya.
***
"Maaf ya, bapak mungkin gak bisa kuliahin kamu."
Tepat ketika Nata baru saja duduk di tikar dan mengangkat piringnya berisi lauk-lauk, bapaknya mulai berbicara. Fokus Nata yang sebelumnya hanya ingin menyantap makan malamnya menjadi tidak selera sedikit pun ketika mendengarnya. Seolah rasa lapar yang sudah ia tahan sejak di sekolah hilang begitu saja.
"Kamu masih punya 3 adik, Yo, belum lulus sekolah juga. Tapi kalau kamu dapat beasiswa penuh, kamu bisa kuliah. Semoga kamu mengerti ya, Nak."
Isha salah. Kalimat yang muncul di kepalanya pertama kali setelah mendengarkan itu adalah kalimat seperti itu. Isha yang mengatakan padanya jika mimpinya penting, tetapi nyatanya sekolah adik-adiknya justru lebih penting. Sebagai anak yang lebih tua, ia tentunya harus lebih mengerti itu. beban dan tanggung jawab sebagai abang tertua harus ia emban. Ia masih harus membantu ayahnya untuk membayar biaya sekolah adik-adiknya itu.
"Iya, Pak. Gak apa-apa." Kalimat singkat itu yang mengakhiri percakapan keduanya. Nasi yang sebelumnya masih hangat di piringnya itu jadi dingin karena terlalu lamanya Nata termennung, mengolah perkataan dari bapaknya itu.
Diam. Nata menatap langit-langit kamarnya setelah menghabiskan 20 menit untuk menghabiskan makan malamnya. Pada akhirnya ia harus mengalah. Ia tidak marah, ia tidak juga kesal. Mungkin ia merasa kecewa bahwa untuk mencapai mimpi semua itu terbatas. Selama ini, ia hidup dengan keluarga yang pas-pasan. Ia bisa bersekolah, punya rumah dan bisa makan, ia tahu jika ia harus mensyukuri itu. Namun, berkuliah atau meneruskan minat bakatnya tidak mungkin bisa tercapai. Ia harus melakukan hal yang lebih.
Meskipun begitu, ia tidak mengerti kenapa mimpi itu ada jika orang yang bisa mencapainya itu terbatas?
KAMU SEDANG MEMBACA
Riak Mimpi Para Remaja [Terbit]
Teen Fiction[Terbit di Stora Media. Bagian tidak lengkap. Tolong beli, penulis butuh makan.] "Lalu .... esensi menjadi remaja itu seperti apa?" Pranata, menduduki kelas 12 dengan ranking yang sama di antara 5 besar berangan-angan ingin menjadi pembuat film. Nam...