.𖤘˚05

15 6 0
                                    

Nata menatap ke luar jendelanya. Di sana sosok wanita paruh baya sedang menjemur pakaian. Sesekali ditambah dengan suara tawa antara ibu-ibu tetangga. Setelah beberapa kali sengaja mengerjapkan matanya, ia akhirnya keluar dari kamarnya, sembari menguap panjang, menggaruk kepala dan menggaruk perutnya. Tubuhnya bergerak menuju dapur, mencari sesuatu yang bisa ia telan di pagi hari yang bahkan sudah terlalu lewat untuk sarapan. Namun, melihat tidak ada sesuatu yang bisa ditelan di bawah tudung saji, Nata berakhir membuat kopi dan duduk lesehan di depan televisi bersama satu adiknya yang tengah menonton kartun.

Nata masih mengelola isi kepalanya, sampai akhirnya ia tersadar ketika melihat jam di atas televisi.

"Hah!" teriaknya tiba-tiba, membuat adiknya yang baru berumur 11 tahun itu terkejut dan memukul pahanya.

"Abang! Apaan sih?" seru adiknya itu. tatapannya sinis dengan detak jantung yang masih saja cepat.

Nata berdiri dengan cepat, menggunakan celana olahraga dan menatap adiknya. "Abang belum antar kue." Pemuda itu lantas keluar dari rumah dan menatap ibunya.

"Bu! Kue yang mau di antar yang mana?"

Ibunya yang baru saja selesai menjemur pakaian dan membawa keranjang terdiam dan menghela napas panjang. Wanita paruh baya itu lantas masuk ke dalam rumah. "Udah ibu antar."

Nata terdiam. Ia cukup kaget dengan jawaban yang diberikan oleh ibunya. pemuda itu lantas mengekor ibunya yang menuju dapur. "Kok gak bangunin Rio? Kan bisa Rio yang antar?"

Ibunya itu diam kembali, melanjutkan aktivitasnya sebagai pembuat kue. Dimulai dari mencuci tangan, hingga menuangkan tepung-tepung, telur, margarin, dan bahan pembuatan kue ke dalam mesin mixer. Wanita paruh baya itu lantas menghela napas panjang dan mnatap anak pertamanya itu.

"Kamu janji ke ibu, kalau kamu gak bakal pulang malam kalau mau bantu ibu. Tadi malam kamu pulang jam berapa? Terus tadi pagi kamu bangun jam berapa sampai gak sholat shubuh gitu?"

Nata terdiam. Tangannya sibuk mengelus tengkuknya yang dingin. Dirinya merasa bersalah mendengar penjelasan dari ibunya. Lalu mulutnya tetap terdiam hingga detik berikutnya. Nata kebali membawa tubuhnya duduk lesehan di depan televisi dan meminum kopinya yang sudah tidak hangat lagi.

Rencana untuk meluluhkan hati ibunya gagal dan Nata tidak berani mengungkapkan apa yang ada di kepalanya saat itu. baik ke adik-adiknya, ibunya, apa lagi ayahnya.

***

Hanya saura napas Nata yang terdengar sangat berisik di Raun, ruangan kosong yang digunakan sebagai markas oleh Nata dan temannya. Membuat ketiga temannya yang lain akhirnya menatap pemuda itu dengan sedikit kesal.

"Kenapa, sih?" Sana akhirnya mengeluarkan suara saat gadis itu tengah mengikat ulang rambutnya yang panjang.

Nata menatap sahabatnya itu kemudian kembali menghela napas dengan kasar.

"Apaan sih?" Akhirnya ketiga sahabatnya itu berseru bersama-sama karena kesabaran mereka sama-sama setipis tisu. Semua pandangan tertuju pada pemuda berambut keriting itu. bahkan Yohan yang tengah memperbaiki code programmingnya harus berhenti karena merasa ada yang salah dengan sahabatnya itu.

Nata terdiam, menatap ketiga sahabatnya itu sembari jari-jarinya saling bergelut untuk mengelopek kulit di sisi kuku. Ia masih memikirkan kalimat di kepalanya, padahal ketiga sahabatnya itu sudah tahu jika ia sedang mengalami masalah yang sangat jarang dibicarakan ke sahabatnya sendiri. Pemuda itu akhirnya menacak-acak rambutnya dalam upaya menemukan cara bicara yang baik.

"Gue mau ikut lombanya mas Danu. Gue mau dapat beasiswanya. Gue mau sekolah film. Gue mau kerja di dunia perfilman."

Tidak ada basa-basi atau kata pengantar dari kalimatnya. Seolah yang terpikirkan olehnya hanyalah cara menyampaikan keinginannya dengan jelas. Tidak peduli apakah terkesan egois atau keras. Lagipula sejak awal ia bukan pembicara yang baik.

Ketiganya menatap Nata dengan santai. Sedikit kesal tetapi tetap kembali pada kegiatan mereka sebelumnya.

"Kirain apaan," celetuk Sana. Gadis itu kembali memainkan handphone-nya.

"Iya .... cuman itu aja. Makanya gue butuh bantuan."

Bantuan gimana? Yohan mengernyitkan dahinya, menunggu jawaban dengan cepat. Padahal ia bukan merasa bingung dengan penjelasan Nata, melainkan karenaadanya eror dalam coding yang ia kerjakan.

"Bantuin gue buat bikin filmnya."

Sana seketika terbatuk, kembali menoleh pada Nata, meninggalkan handphone-nya yang sedang memutar sebuah video. "Gue? Gue mana bisa bikin film, Nat!"

Nata menatap gadis itu dengan penuh harap. "Gak yang berat-berat sumpah. Semua ide cerita dari gue. Cuman buat pemainnya itu kalian."

"Hah?" Kini Yohan yang berseru kaget. Ia meninggalkan laptopnya yang dipenuhi dengan garis merah. Tatapannya dengan jelas menunjukkan kebingungan yang ada di dalam kepalanya. "Gak. Enggak. Gue mana mungkin bisa jadi pemain, anjir. Jangan gila lo!"

Nata mengacak-acak rambutnya lagi. "Bisa, Han. Gak berat-berat kok."

Isha memperhatikan ketiga temannya itu. Ia merasa jika sahabtnya itu tidak bermaksud menolak, tetapi mereka berdua tidak yakin bisa membantu Nata atau tidak. Gadis itu akhirnya merapikan poninya sedikit. "Emang ide ceritanya udah ada?"

Nata terdiam. Ia tidak bisa menjawab itu. ia berakhir mengelus tengkuknya dan menggeleng. "Gue masih nyari ide."

Ketiga sahabatnya itu kembali serentak menghela napas lega.

"Untuk kamera gimana? Alat buat ngedit?"

Nata menoleh, menatap Sana yang akhirnya penasaran dengan dirinya. Pemuda itu sontak menggeleng dengan cepat. "Belum ada sih .... jadi ya kemungkinan kalau boleh gue pinjam hp kalian sama laptop juga .... soalnya hp gue gak kuat buat dipake ngedit .... walau gue juga gak tau ngedit di laptop kayak gimana."

Ketiga sahabatnya itu terdiam lantas saling tatap.

"Oh, ya udah, pake kamera gue aja. Kebetulan di rumah ada kamera," ujar Sana. lalu tatapannya kembali tertuju pad ahandphonenya., layaknya tidak ada masalah yang terjadi dalam beberapa menit yang lalu.

Yohan masih menatap Nata lalu mengangguk. "Laptop pake punya gue aja juga gak apa-apa. Lombanya udah mau selesai, jadi pasti bisa lo pake buat ngedit." Sang bermata sipit itu tersenyum lebar, membuat matanya menghilang dari pandangan.

Perlahan, Nata merasakan telah mendapatkan kepercayaan dirinya, meskipun hanya sedikit. Namun bantuan dari sahabatnya itu telah meberikan semangat kepadanya.

"Berarti kalian mau jadi pemainnya?" Nata tersenyum lebar, menunggu jawaban dari sahabt-sahabatnya itu.

"Enggak."

"Gak."

"Males, gak dulu."

Nata menghela napas kasar lagi. Ia menyenderkan kepalanya ke lemari, menatap kecewa teman-temannya yang masih menolak untuk menjadi pemain di filmnya. Pemuda itu kemudian mengacak-acak rambutnya, sambil sesekali ia mengusap wajahnya. Membiarkan dirinya tenggelma untuk memikirkan ide cerita yang akan ia jadikan film pendek berdurasi 10 menit nantinya.

Perlahan, Nata akhirnya berbarin di atas lantai. Telinganya sibuk mendengarkan saura ketikan laptop dari Yohan atau cekikikan tawa dari Sana. tatapannya tertuju pada Isha yang membaca sebuah novel sastra klasik karya Agatha Christie. Nata tersenyum tipis, lantas menatap langit-langit ruangan hingga akhirnya bel istirahat berakhir berbunyi.

Riak Mimpi Para Remaja [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang