Sudah jam 3 pagi dini hari ketika Nata akhirnya meregangkan tubuhnya dan menguap panjang. Tatapannya masih tertuju pada laptop yang ia pinjam dari Yohan yang sudah berisi tulisan-tulisan. Layar laptop terasa seperti memanggil dirinya terus menerus. Isi kepalanya pun seperti rampung begitu saja dengan kebisingan yang selama ini hanya mempersulit dirinya. Rasanya seperti ingin berterima kasih kepada siapa pun yang telah ia temui selama ini. Nata lantas menggulingkan tubuhnya dan terlelap untuk menemui orang-orang di dalam mimpinya.
Jujur saja jika Danu bukanlah sutradara pertama yang ia tonton filmnya. Bahkan ia pernah menonton film tahun 1991. Ia sudah menonton banyak film yang menurutnya bagus saja. Danu pun awalnya hanya seperti pembuat film yang biasa saja tanpa kelebihan apa pun. Namun, ada sebuah perasaan yang baginya bisa disebutkan sebagai penggerak ekosistem. Terlebih, ketika ia mengerti adanya perbedaan kasta tentang anak daerah dengan anak kota yang memiliki akses terhadap pembuatan film yang jauh lebih baik. Antara pengajar maupun fasilitas. Ketika mengenal Danu, Nata berakhir mengagumi pria itu. Bukan sekedar filmnya, tetapi membuktikan jika anak-anak daerah juga bisa melakukan lebih.
Nata masih belum mengatakan jika ia akan menjadi pembuat film kepada orang tuanya. Meskipun demikian, ia merasa akan ditolak mentah-mentah setelah tau jika bapaknya tidak bisa menguliahkannya. Lalu, hal itulah yang terjadi saat ini. Ketika Bapaknya masuk ke kamarnya dan melihat kertas-kertas yang berserakan serta laptop yang tidak bapaknya ketahui milik siapa.
Nata terbangun setelah bapaknya menepuk pundaknya, sedikit lebih keras daripada biasanya, seolah sedang memarahinya. Nata menatap bapaknya itu. Membutuhkan waktu sampai bisa mencerna atas apa yang sebenarnya sedang terjadi. Sampai akhirnya ia melihat kertas-kertas yang ada di genggaman bapaknya.
"Kenapa pak?" tanyanya pelan. Berusaha memastikan atas apa yang ingin bapaknya ucapkan.
"Ini apa, Yo?" Bapaknya itu menyodorkan kembali kertas yang ada di tangannya. selayaknya hal yang ia takutkan benar-benar terjadi. Ditambah ia tidak punya jawaban untuk berbohong.
Degupan jantung Nata menjadi cepat. Membuat pemuda itu beberapa kali menarik napas dan menelan salivanya sendiri. Berusaha memikirkan alasan yang masuk akal. Namun, hasilnya nihil, ia tidak bisa menemukan jawaban apa-apa di kepalanya.
"Itu....script untuk film pak," jawabnya pelan. Berusaha menjawab sebaik yang ia bisa.
"Nak....bapak tidak bisa nguliahin kamu."
Nata kembali meneguk salivanya, berusaha menerima kenyataan tersebut. Ia masih belum terbiasa. "Iya, pak. Rio tau. Tapi--"
"Kamu mau jadi apa, Yo, kalau bikin film? Film itu untuk anak-anak kota saja. Orang-orang kaya. Kamu, tidak perlu ikut-ikut begitu lah."
Kalimat Nata terpotong. Mendengarkan hal begitu jelasnya membuatnya sedih. Ia tidak meminta untuk dikuliahkan. Ia bahkan hanya ingin mengikuti lomba dan dukungan.
"Yo, belajar yang rajin saja. Bikin film tidak bikin kamu pintar."
"Rio tau, Pak." Nata menatap bapaknya itu dengan serius meskipun masih tertempel rasa sedih di wajahnya. "Tapi Rio pengen bikin film dari dulu dan gak ada salahnya dengan itu!"
"Tidak ada yang salah memang, tetapi buang-buang waktu. Lalukan kegiatan yang lebih berguna."
Nata menghela napas panjang. "Pak, apa susahnya sih dukung Rio? Emangnya dukung bikin film aja ngabisin duit bapak? Enggak pak. Rio tau kita kesusahan dan Rio berusaha ngertiin bapak dan ibu. Tapi apa susahnya sih dukung Rio yang lagi nyari hobi ya, yang bisa aja jadi pekerjaan?"
Bapaknya itu menatap dirinya dengan sedikit terkejut. "Bapak dukung kamu buat ngelakuin pekerjaan yang justru lebih ngehasilin uang daripada bikin film."
"Bikin film bakal ngasilin duit! Sabat, Pak. Rio lagi merintis!" seru Nata seketika. Tampak dengan jelas alisnya mengkerut, dan urat lehernya yang terlihat. Seolah menunjukkan dengan jelas betapa emosinya pemuda itu.
"Ngasilin apa? Film tidak ada gunanya. Belajar lebih berguna."
Nata mendecak kesal. Ia memasukkan laptop Yohan ke dalam tas. Ia bahkan merampas kertas-kertas yang ada di tangan bapaknya dan memasukkannya ke dalam tas. "Hidup gak sekedar uang doang pak!" serunya dengan emosi yang memuncak dan membawa tubuhnya pergi entah kemana.
Rasanya hati pemuda itu sangat kacau. Ia tidak bisa menjelaskannya dengan benar. Ia kesal, sedih, marah dengan percakapan bersama bapaknya. Padahal keduanya sudah jarang berbicara, tetapi bapaknya malah memperburuk suasana di antara mereka berdua. Nata benci dengan kenyataan itu. Bahkan dengan menunjukkan betapa tidak berartinya film di pandangannya itu membuatnya kesal.
Apakah berseni memang seburuk itu?
Nata mempertanyakan itu dengan jelas. Ia tidak bisa menjawabnya sendirian. Dengan hati yang masih sedih, Nata mengendarai motornya menuju sebuah studio yang berjarak 30 menit dari rumahnya. Ia tidak peduli apakah perlu membuat janji untuk menemui sosok sutradara yang menginspirasinya.
Nata sampai di studio itu setelah memarkirkan motornya di basement. Kakinya bergerak cepat untuk masuk ke dalam studio. Ia mulai menekan tombol lift dan menuju lantai 7 untuk mencari sosok pria berambut gondrong. 1 ruangan yang ada di lantai itu terkunci.
Nata tidak bisa melihat apakah ada orang di dalam ruangan itu atau tidak. Pemuda itu mulai merasa panik sendiri. Bahkan dirinya sendiri tidak mengerti mengapa ia bisa merasa panik. Nata kembali masuk ke dalam lift dan menuju ke lantai 8, tepat rooftop atau tempat merokoknya Danu berada. Di sana, Nata bisa menemukan 2 orang pria yang sedang merokok dan berbicara di sana.
Selayaknya melihat bintang, Nata buru-buru mendekat pria tersebut. Satunya pria gondrong lurus dan satu lagi pria keriting selayaknya afro. Nata menatap keduanya itu dengan tatapan panik, napas yang menderu kencang serta keringat dingin.
"Nata?"
"Mas!" setu Nata seketika. Ia berusaha menenangkan dirinya sendiri, menarik napas panjang dan menatap keduanya secara bergantian.
Udara di sekitar mereka masih berasap, tetapi Nata seperti tidak peduli lagi dengan itu. Ia meremas bajunya sendiri dan menunggu dirinya siap untuk mengutarakan emosinya. Giginya menggertak, membuat pria berambut afro itu mendekatinya.
"Duduk, Nat. Santai aja. Lo kenapa?" tanya pria itu yang bahkan Nata sendiri tidak tahu siapa nama pria itu.
"Mas. Kenapa film? Kenapa pada akhirnya mas milih film? Kenapa pada akhirnya mas justru membuat film? Emangnya apa gunanya seni perfilman? Mas, saya harus apa mas?"
Danu mengernyitkan dahinya, tidak mengerti kenapa pertanyaan itu muncul dari Nata. Ia tidak menduga lebih tepatnya jika Nata akan bertanya lagi. Namun, kali ini terasa berbeda. Seolah ada kejadian buruk yang baru saja terjadi. Danu berusaha memutar otaknya untuk memikirkan apa yang harus ia jawab atas pertanyaan itu. Apa lagi memikirkan jawaban yang akan membuat anak-anak yang belum menemukan jati diri puas.
Danu terdiam. Ia tidak suka pertanyaan tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Riak Mimpi Para Remaja [Terbit]
Jugendliteratur[Terbit di Stora Media. Bagian tidak lengkap. Tolong beli, penulis butuh makan.] "Lalu .... esensi menjadi remaja itu seperti apa?" Pranata, menduduki kelas 12 dengan ranking yang sama di antara 5 besar berangan-angan ingin menjadi pembuat film. Nam...