Danu mengeluarkan hisapan asap terakhir dari mulutnya lantas mematikan rokoknya di asbak dan menatap Nata dengan senyuman tipis. Setidaknya lebih terlihat daripada ketika pria itu melakukan seminar. Danu memperhatikan siswa yang ada di hadapannya. Terlihat seperti anak cupu yang terlihat bingung dengan situasi yang ada.
Wanita berkacamata bulat keluar dari ruangan, lantas duduk di sebelah Danu dengan senyuman yang merekah di wajahnya. Ia mengikat rambutnya lalu menatap Nata yang terlihat gugup. Iska tertawa kecil dan meletakkan handphone serta kotak rokoknya di atas meja.
"Anak SMA itu biasanya gak tertarik seni." Iska bersuara. Ia menyenderkan tubuhnya di kursi, menatap Nata layaknya seorang ibu.
Nata mengelus tengkuknya. "Mungkin karena sulit berada di sana."
Iska tertawa kecil. "Keluarga?"
Nata mengangguk. Lantas membuat suasana hening kembali. Iska menghela napas panjang, menatap sosok Nata yang tidak memiliki kepercayadirian sedikit pun. Sangat miris baginya mengetahui bagaimana jika seseorang memiliki minat tetapi tidak memiliki dukungan sedikit pun. Ia menghela napas panjang dan menatap Danu. Perlahan dari tatapan tersebut.
"Mas mau ngomongin apa ya?" Nata menatap dua orang di hadapannya itu. Sedikit terlihat gugup, takut jika dipaksa melakukan sesuatu. Terlebih ia masih kaget dengan kebiasaan orang-orang yang ada di dalam kantor tadi. Ia beberapa kali mendengar erangan atau bahkan teriakan kasar dari orang-orang di dalam studio.
"Kenapa dirimu suka pada film saya?" Danu memperhatikan tiap garis wajah Nata, memastikan setiap sikap dan pergerakan kecil dari tubuh pemuda itu.
Nata terdiam lagi. Film pertama yang ia tonton dari Danu adalah film Hambar. Ia hanya tidak sengaja menemukan film itu di kanal YouTube. Ia tidak terlalu berminat menonton film film Indonesia. Namun, ketika mengetahui sosok sutradara ia mulai tertarik, tetapi hanya pada film yang lolos festival-festival film tertentu.
Hanya saja, ketika pertama kali ia menonton film Danu ia tahu jika itu merupakan film yang berbeda. Treatment mengenai film yang diterapkan adalah hal yang tidak pernah ia pikirkan. Bahkan setelah menyadari tujuan dari film tersebut membuatnya merasa film itu adakah cara terhalus menyampaikan sebuah perasaan.
"Treatment....treatment yang mas gunakan di film itu bagus. Saya merasa film itu memberikan perasaan tertentu"" jelasnya singkat. Ia tidak bisa menjelaskan lebih karena tidak bisa memikirkan kalimat yang lebih baik daripada itu. Apa lagi ia masih pemula, ia tidak mau disebut sebagai orang yang sok tahu oleh kedua orang pekerja film yang professional di depannya itu.
"Berarti bagi lo filmnya Danu itu punya penyampaian perasaan yang berbeda?" tanya Iska pelan.
Nata mengangguk pelan. "Ah, tapi saya juga kurang paham masalah treatment yang ada di dalamnya itu kayak gimana sih, Mbak. Soalnya saya juga belum pernah syuting."
Iska tertawa keras dan menepuk pundak Danu yang duduk di sebelahnya. "Lo udah tau sampai treatment itu udah bagus. Jarang ada yang tau sampai sana kalau masih SMA atau yang bukan dari sekolah khusus film."
Nata terdiam. Ia berpikir jika treatment adakah hal yang mendasar. Ia memang hanya pernah mendengar sekali mengenai treatment itu. Itu bahkan pada masa wawancara sutradara tertentu. Selebihnya ia tidak pernah mendengar apa-apa. Ia merasa jika ia hanya sok tahu membawa kata treatment saat melakukan tanya jawab pada Danu saat seminar waktu itu.
"Jadi dirimu mau ikut lomba itu?"
Nata menatap mata Danu sebentar. Memperhatikan betapa dalam tatapan tersebut seolah Danu sedang mencuri informasi hanya dengan mimik wajah yang ia tunjukkan.
"Jujur mau, Mas. Cuman masih bingung."
Danu tersenyum lebar dan mengeluarkan sebuah buku catatan kecil dari saku celananya. "Tentang apa?"
"Belum tau mas. Mas ngasih tema bebas tapi karena bebas itu saya jadi bingung mau bawa apa," ucapnya. Ia mengalihkan pandangannya, menatap sosok Iska yang masih santai mendengarkan percakapan mereka.
"Hal yang paling deket sama lo," ujar Iska. Ia mengeluarkan sebatang rokok dan mulai menyalakannya. "Perasaan lo. Masalah remaja. Bla bla, gue sering nonton film yang kayak gitu kalau yang produksi masih anak sekolahan." Ia menghisap rokoknya panjang dan menghembuskannya ke atas. "Hal paling sederhana adalah menyampaikan perasaan lo saat ini ke dalam film."
Nata terdiam. Ia memang sempat memikirkan itu, tetapi ia tidak tahu apa yang harus ia sampaikan. Masa remajanya sudah melalui banyak hal dan ia tidak bisa memilih salah satunya.
"Kenapa dirimu memilih film?"
Nata menatap sosok Danu yang memberikan pertanyaan besar juga di dalam hatinya. Ia memikirkannya, tetapi ia merasa itu jawaban yang bodoh. Namun, tatapan penasaran dari dua orang di hadapannya itu membuatnya ingin menjawab. Seolah hatinya sendiri memberikan ketenangan pada dirinya sendiri.
"Karena film menjawab perasaan itu sendiri. Ketika dimulai dari pertanyaan pada script, maka di visualnya berakhir pada jawaban. Film menjawab semuanya. Suara, visual, warna, dan lainnya. Rasanya nyata. Dan saya juga mau membuat film yang terasa nyata seperti itu."
Iska mengeluarkan asap kembali dari mulutnya dan tertawa kecil. "Jadi dirimu memilih sebagai buruh film atau pekerja film?"
"Pekerja film."
"Meskipun gajinya enggak seberapa dan susah buat dapat job?" tanya Iska memastikan.
Nata mengangguk, tetapi terlihat sedikit ragu.
Danu tertawa kecil dan menulis di buku catatan kecilnya. Menggunakan tangan kirinya, ia menulisnya dengan cepat, seolah tidak membiarkan siapa pun untuk menghentikan tangannya.
"Film itu memiliki esensi yang berbeda. Semakin bertambahnya tahun semakin menghilang esensi yang sesungguhnya. Kalau lo bilang untuk perasaan, maka yang lain untuk keadaan. Tapi sekarang semuanya berdasarkan teknologi. Semakin bagus resolusinya akan semakin bagus orang-orang menganggapnya tanpa ada alasan khusus. Penataan artistik, pemberian warna, atau bahkan kamera yang digunakan."
Isha mengeluarkan asap dari mulutnya. Lantas Danu selesai menulis di buku catatannya. Ia menyobek kertas tersebut dan memberikannya pada Nata.
***
Nata masih telentang di lantai dengan buku catatan di hadapannya. Pena masih ia pegang sembari menatap langit-langit kamar. Pikirannya pun sibuk mencari scenario-skenario kehidupan yang sudah ia jalani selama 16 tahun. Baik menyedihkan maupun menyenangkan. Sebenarnya menghabiskan waktu di Raun bersama tiga temannya justru yang paling menyenangkan. Entah mengapa, suasana ketika sudah berada di kelas 3 justru lebih menyenangkan daripada di tahun-tahun sebelumnya.
Nata menelungkupkan badannya, mulai menulis beberapa scenario yang menurutnya sebagai salah satu alur kehidupan yang berharga untuknya. Seperti ketika ia pertama kali mengikuti perlombaan dan kesulitan mendapatkan bantuan pendanaan, tetapi akhirnya dibantu oleh Isha. Atau ketika ia mendapatkan kabar bahwa dirinya tidak bisa berkuliah.
Nata terdiam setelah menulis ide cerita kedua. Ia dengan segera mencoretnya dan menghela napas lega. Ia kembali menyimpan catatannya itu dan keluar dari kamarnya. Bahkan ketika ia mengingat catatan dari Danu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Riak Mimpi Para Remaja [Terbit]
Ficțiune adolescenți[Terbit di Stora Media. Bagian tidak lengkap. Tolong beli, penulis butuh makan.] "Lalu .... esensi menjadi remaja itu seperti apa?" Pranata, menduduki kelas 12 dengan ranking yang sama di antara 5 besar berangan-angan ingin menjadi pembuat film. Nam...