.𖤘˚19

4 1 0
                                    

Sana tidak terlihat di sekolah setelah syuting. Yohan menyatakan jika ia mengantar Sana selamat sampai tujuan. Yakni tempat les Sana, meskipun telat 10 menit daripada biasanya. Sana tidak meberikan kabar apa-apa bahkan setelah malam tiba. Semuanya hanya beranggapan jika gadis itu kelelahan. Hanya saja, sudah masuk hari ketiga dan Sana tak kunjung menampakkan batang hidungnya.

"Gue rasa dia dikurung sama mamanya," ujar Yohan. Kakinya bergerak tidak tenang, bahkan dari wajahnya sudah terlihat jelas jika ia sangat khawatir pada gadis itu.

Nata sedang memilih video yang ia rekam dan menghapus video-video yang tidak penting di laptop Yohan. Ia juga sama khawatirnya, tetapi ia percaya pada Sana.

Sore itu sebelum semuanya bubar dan hanya ada dirinya dan Sana. hal yang dibicarakan gadis itu saat di set membuatnya memikirkan banyak hal. Nataingi sekali memberikan pendapat, hanya saja ia tidak ingin dicap sebagai orang yang ikut campur masalah orang lain.

"Gue itu mikir kalau semuanya normal aja," ujar Sana saat ia mendatangi Nata yang duduk di lorong sekolah. menunggu Yohan merapikan kabel-kabel di dalam ruangan. Bukannya tidak berniat membantu, tetapi Yohan sendiri yangbilang ingin melakukannya sendirian dan mengusir ketiga temannya itu dari ruangan.

"Dulu, nyokap yang mau jadi model. Cuman dia kecelakaan, lehernya kena luka bakar dan dia ga bisa jadi model. Mungkin yang turun ke gue itu hasrat untuk menjadi model, tetapi bukan keinginan gue," lanjut Sana. ia meminum sodanya sedikit, lalu kembali terdiam.

"Kalau gue tiba-tiba kehilangan arah dan gak mau jadi model lagi gue harus apa, ya?"

Pertanyaan itu turut membuat Nata terdiam. Ia bukannya tidak ingin menjawab pertanyaan itu dengan jujur. Hanya saja keluarganya dan keluarga Sana adalah dua keluarga yang berbeda. pemikiran antar keluarga tentunya juga berbeda, meskipun Nata mengerti atas apa yang dirasakan oleh Sana.

"Hidup selayaknya manusia," jawab Nata pelan. Ia menatap sosok Sana yang tingginya hampir sama dengannya. Tubuh kurus, rambut panjang dan paras yang cantik. Jujur saja pasti banyak siswa yang tertarik pada gadis itu, termasuk sahabatnya sendiri.

Dulu, gue pernah bikin gue sama nyokap. Haha. Rasanya kayak mimpi, tapi nyata. Sifat nyokap yang hangat waktu bikin kue coklat. Rasanya gue pengen jadi pembuat kue waktu itu. cuman ya, gini lah akhirnya.

Nata mengernyitkan dahinya. "Akhirnya? San, lo bahkan belum memulai kehidupan itu yang sebenarnya!"

Nata mundur beberapa langkah dan merentangkan tangannya. Senyuman lebar tertempel dengan jelas di wajahnya. "San, kejar apa yang lo mau. Jadi pembuat kue, lanjut. Tunjukin ke mereka seberapa kuat perasaan lo untuk itu. seberapa keras lo untuk mencapai itu. enggak ada kata terlambat selagi lo masih mau mencoba."

"Tapi hidup itu sementara, Nat."

Nata tetap menempelkan senyuman di wajahnya. "Justru karena sementara itu, lo harus menikmatinya, San. Nikmatin dengan apa yang lo mau dan harapkan. Jangan lupa minta doa sama Tuhan dan berharap orang tua lo bisa ngertiin keinginan lo."

Sana terdiam. Ia masih tidak bisa mempercayai dirinya sendiri. hanya saja, ia tidak mengerti. Mengapa Nata memiliki sifat yang berbeda daripada sebelumnya.

"Nat?"

Nata menoleh ke asal suara. Menatap Yohan yang sudah menatapnya dengan bingung.

"Tenang aja. Percayain semuanya ke Sana."

"Tapi, kan—"

"Lagian, lo kapan mau nembak Sana?"

Yohan terdiam. Wajahnya tiba-tiba memerah seperti kepiting rebus. Jelas sekali pemuda itu terlalu pandai menyembunyikannya selama ini. "Lo . lo .... lo tau dari mana?"

Nata tertawa puas melihat ekspresi tersebut. ia beralih dari laptop dan menatap Yohan. "Han, kita udah temenan berapa lama sih? emangnya gue gak tau gitu kalau lo sering liatin Sana kalau lagi gue foto? Emangnya gue gak tau kalau lo sering cabut sama Sana nemenin dia les model segala macam? Seorang Yohan yang biasanya males nemenin gue justru mau habisin waktunya bareng cewek?"

"Ah! Udah-udah! Asem!" Yohan menutup telinganya yang juga memerah. Ia berusaha meredakan rasa malunya yang sudah ketahuan oleh sahabatnya. Padahal ia ingin menyimpannya untuk dirinya sendiri dan tidak memberitahukan kepada siapa-siapa.

"Lo sendiri."

Nata meredakan tawanya saat Yohan kembali berbicara. "Ya?"

"Lo sendiri sama Isha gimana?"

Nata terdiam dan memiringkan sedikit kepalanya. "Isha? Isha kenapa?"

"Bukannya lo suka sama Isha?" tanya Yohan sedikit kebingungan. Ia tida mengerti kenapa sahabatnya itu begitu santai, padahal ia juga memegang rahasia tentang menyukai itu.

Nata menggeleng. "Enggak tuh?"

"Yang bener aja! Lo kan sering pulang pergi bareng Isha. Cabut juga selalu barengan."

"Ya .... Terus?"

"Lo .... gak suka sama Isha?" Yohan tidak mengerti dengan ekspresi itu. ia benar-benar tidak yakin jika Nata tidak memiliki perasaan apa-apa untuk Isha.

Nata tersenyum tipis. "Dulunya iya. Tapi cuman pas awal awal masuk SMA doang. Setelah kita temenan, gue tau background keluarga dia gue jadi mikir .... ah, dunia kita beda. Keluarga dia keluarga dokter, Han. Gak jauh-jauh memang, tapi kalau gue mau pacaran sama dia rasanya gue gak sejajar sama dia. Lagian juga, hidup ga melulu soal cinta, kan?"

Yohan terdiam seketika. Ia yang mendengar itu merasa sakit hati sekali. Padahal dirinya bukanlah Isha yang menyukai Nata apa adanya. Yohan tau jika Nata itu peka terhadap perasaan sahabat-sahabatnya, tetapi untuk yang satu ini, mungkin Nata tidak bisa merasakannya.

Nata terdiam kembali, lantas berdehem dan fokus kembali pada laptopnya. Ia memikirkan kembali apa yang ia katakan. Kebohongan yang benar-benar pandai ia tutupi. Bohong rasanya jika ia sudah tidak menyukai Isha. Semakin lama mereka berteman semakin dalam perasaannya. Ketika Isha mengalami maslaah dengan keluarganya, Nata ingin menjad salah satu orang yang bisa diandalkan oleh gadis itu. meskipun harus memabtasi dirinya, Nata tahu apa yang ia lakukan.

Pintu ruangan diketuk empat kali, menampakkan sosok Isha degan sekantong gorengan dan 4 teh es.

"Tante yang jualan Pop ice lagi gak jualan, sob. Teh es aja ya!" Isha meletakkan barang bawaannya di lantai dan duduk di sebelah Yohan. Gadis itu mengeluarkan handphone-nya dari saku dan menatap layar notifikasi. Tidak ada nama Sana yang terlihat, membuatnya hanya bisa menghela napas panjang dan kembali menatap dua sahabatnya itu.

"Kenapa? Kok pada diam?" Isha mengernyitkan dahinya.

Nata menatap sisi mata Isha yang sedikit berair, lantas mengalihkan pandangannya ke laptop. "Enggak, lagi mikir aja tadi," ujarnya pelan.

Nata ingin sekali fokus kembali pada film pendeknya. Sialnya. Sungguh sialnya ia membawa topik menyukai itu. benar-benar, ia tidak mau merusak pertemanan di antara mereka, padahal sebentar lagi mereka akan lulus. Ia malah membuat gadis yang ia sukai mendengarkan kaliamt yang berbalikkan dari keinginannya. Namun, apa daya, nyatanya memang begitu.

Nata mendesah pelan. Hidup gak melulu soal cinta, Nat.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Riak Mimpi Para Remaja [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang