Yohan menatap kamarnya yang berserakkan. Yang entah kenapa diserakkan oleh pria tua yang tidak kelihatan keberadaannya saat ini. Pemuda itu hanya bisa menghela napas panjang dan mulai merapikan kembali kamrnya. Ia menguncipintu kamarnya dan membiarkan lagu yang dikomposi oleh chopin berputar di kamarnya. Sehingga ia melakukan snei membersihkan kamar dengan lagu yang biasanya ia putar setelah bertengkar hebat dengan ayahnya.
Pemuda itu memastikan ada beberapa lembaran kertas yang menghilang dari lemariya. Kertas-kertas tersebut seharusnya berisi berita-berita lama dan tulisannya mengenai laporan perbuatan buruk yang dilakukan oleh ayahnya sendiri. hanya dengan membereskan buku-buku yang berserakan sudah membuatnya kelelahan. Yohan membaringkan tubuhnya di atas kasur, menatap langit-langit kamarnya yang ditempeli dengan banyak stiker bintang yang jika lampu utama dimatikan akan menampakkan warna galaksi. Selayaknya kamar yang masih ia gunakan sejak kecil dan tidak ia ubah ataupun modifikasi.
Ia hanya sedikit merasa bingung tentang apa yang ia sedang lakukan. Jika disebut sebagai pencari validasi, itu benar adanya. Hanya saja, ia sudah mengacaukan semuanya. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan. Validasi itu tidak akan ia dapatkan lagi.
Tatapannya beralih menuju meja belajarnya yang masih berantakan. Ia mendesah panjang dan berdiri kembali. Ia mengeluarkan beberapa buku yang masih tersusun sedikit rapi di rak bukunya. Ia membuka halaman tertentu pada buku novel yang mungkin menurutnya sampah saja. Ia mengeluarkan selembaran foto yang menampakkan dua orang pemuda, yang satunya lebih tua dan satu lagi adalah dirinya yang masih anak-anak.
Yohan menghela napas panjang dan memijit batang hidungnya. "Kematianmu tidak dijadikan pelajaran, Bang," desahnya dengan rasa lelah yang benar-benar menumpuk. Ia tidak bisa menjelaskan bagaimana keluarganya itu. Ayah dan ibunya bercerai karena kegilaan ayahnya atas jabatan. Ia tidak bisa ikut dengan ibunya sejak kematian kakak laki-lakinya. Ia terpaksa tinggal bersama ayahnya yang tidak bisa melakukan kontrol emosi. Bahkan jika mulai ditampar dengan kenyataan bahwa pendukung ayahnya itu sedikit, pria tua itu akan mulai menyalahkan siapa saja yang ada di hadapannya.
Bermain dengan Sana, Isha, dan Nata merupakan pengalihan pikirannya sendiri. Termasuk menulis artikel dan programming. Bahkan setelah mendengar ide Nata untuk membuat film menjadikannya semangat untuk membantu. Ia dengan senang hati akan meluangkan waktu malam harinya jika diperlukan. Seolah akan mengorbankan apa saja untuk membuatnya keluar dari rumah dan menghabiskan waktu bersama sahabat-sahabatnya.
Hanya saja itulah kehidupan. Yohan tidak berani mendesak. Mengadu kepada Tuhan pun ia sudah lelah. Ia ingin sekali membiarkan semuanya mengalir seperti air. Hanya saja, terkadang ia ingin mengakhiri semuanya lalu bertemu kakak laki-lakinya di dalam keabadian. Rasanya ia tidak bisa melakukannya. Rasanya semuanya seperti dibatasi oleh sesuatu atau mungkin diikat dengan benang merah yang ia sendiri tidak mengerti bagaimana harus meluruskannya.
"Ah, nyebat aja."
***
Nata menguap panjang di kelasnya. Menatap buku pelajaran setebal kamus bahasa sembari tangannya tetap menulis, meskipun ia tidak yakin apakah tulisannya itu bisa dibaca oleh gurunya atau tidak. Lagi pula ia memang tidak peduli. Yang penting adalah mengerjakan daripada harus keluar satu semester dengan guru yang terlalu sensitif itu.
Isha sesekali mengusilinya, memainkan rambut keritingnya atau bahkan mencoret-coret tangan Nata. Nata hanya membalas gadis itu dengan kalimat, "jangan, Isha." sangat lembut selayaknya orang yang sudah lelah memarahi orang lain.
Pembicaraan dengan Danu membuatnya kehilangan sedikit motivasi. Namun, Danu tidak salah. Ia hanya mengatakan fakta berdasarkan data dan observasi individu. Nata hanya tidak bisa terima perkataan itu. Lagi pula, kenyataan memang sulit untuk diterima.
"Saya tidak perlu mengatakan itu pada dirimu. Kenapa? Apakah kamu tidak bisa menerapkan mental baja? Padahal itu hanya hal sederhana. Memberontak bukan berarti melawan. Dirimu hanya menunjukkan hal yang kamu suka. Apakah sulit bagimu untuk mengatakannya dengan serius?"
Danu bahkan terlihat seperti seseorang yang sulit untuk berbicara. Walau sejak awal ia memang benci merangkai kata-kata secara formal. Ia hanya pria arogan dan suka berbicara secara blak-blakan. Lalu Nata, ia baru mengetahui itu ketika tidak ada kata-kata manis yang biasanya Danu ucapkan.
"Bagi saya film itu perasaan. Tapi bagi Iska film itu adalah uang. Dirimu tidak perlu menyamakan ideologi filmku dengan ideologi filmmu. Pikirkan saja sendiri. Kenapa mesti bertanya kepada saya?"
Nata terdiam. Ia meremas celananya sendiri. Merasakan tekanan yang bapaknya katakan. Namun, tetap saja. Ia selayaknya orang yang menutup mata kirinya dan tidak bisa menerima sebuah tekanan yang harus ia terima di industri.
"Kita berbicara fakta jika dirimu tidak mengerti bagaimana orang-orang bekerja di industri perfilman. Kamu akan menemukan orang-orang yang kabur dari rumahnya dan bekerja keras untuk dirinya sendiri. Kamu akan bertemu orang-orang yang akan mencuri posisimu. Pikirkan dirimu sendiri. Pikirkan hal yang harus kamu lakukan. Lalu keluar dari ruangan ini sekarang."
Nata benar-benar tidak diberikan kesempatan untuk berbicara. Bahkan ia terus dipaksa untuk meninggalkan studio Rangda. Nata berakhir tidak menemukan jawaban atas pertanyaan yang ada pada dirinya. Ia kini dihadapkan dengan fakta bahwa tenggat lomba tinggal sebentar lagi.
Nata ingin melewati fase teknis dari industri perfilman sesungguhnya. Sama seperti yang dikatakan oleh teman-temannya. Nyatanya yang perlu ia lakukan adalah melakukan semuanya yang ia bisa. Mengerjakan semuanya sebisanya. Yang penting adalah ia sudah mencoba.
Nata berusaha tidak memikirkan apa yang dikatakan oleh Danu. Ia sudah menentukan waktu syuting yang ia inginkan. Hanya saja ia tidak bisa memutuskan semuanya sendirian. Ia perlu mengatakannya lada Isha, Sana maupun Yohan yang belakangan ini sedikit sulit untuk diajak berbicara.
Nata menoleh pada Isha, menatap kelakuan gadis itu yang seolah tidak peduli dengan pelajaran sejarah. Bahkan tangan yang lebih kecil darinya itu masih sibuk mengusili dirinya. Nata menatap tangannya yang sudah dipenuhi oleh karya Isha yang tidak jelas apa judulnya itu. Tangannya dipenuhi dengan gambar-gambar yang tidak terlalu buruk, tetapi tidak terlalu bagus juga.
"Kenapa lo gak jadi seniman aja?"
Isha tertawa kecil, seolah menahan dirinya untuk tidak ketahuan oleh guru bahwa mereka tidak memperhatikannya. Isha berusaha menutup mulutnya. Isha lantas menatap mata Nata dengan serius. "Enggaklah. Gak cocok sama gue. Lagian kalau di seni gue mau ngapain?"
Nata menghela napas kasar, tidak memutuskan untuk membalas kalimat gadis itu. Ia memutuskan untuk kembali melanjutkan pekerjaannya, menyelesaikan tugas dari guru yang sedang rapat.
Nata tidak bisa menulis dengan tenang sehingga tampak jelas kantung matanya yang membesar menatap Isha dengan kesal yang tidak kunjung berhenti mengusilinya. Namun, ia beberapa kali tetap diganggu oleh Isha meskipun ia berusaha menyelesaikan semua yang ia bisa untuk tugas pagi itu.
"Asem lu," umpatnya kesal. Ia mengusap wajahnya kasar, berusaha menghapus rasa lelah yang tertempel di wajahnya.
Isha hanya membalas umpatan itu dengan tawa dan menyimpan buku-buku ke tasnya saat bel pergantian pelajaran. Keduanya serentak menguap dan mulai menatap ke papan tulis dengan telinga yang mendengarkan penjelasan guru secara seksama yang abru saja digantikan dengan mata pelajaran sejarah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Riak Mimpi Para Remaja [Terbit]
Teen Fiction[Terbit di Stora Media. Bagian tidak lengkap. Tolong beli, penulis butuh makan.] "Lalu .... esensi menjadi remaja itu seperti apa?" Pranata, menduduki kelas 12 dengan ranking yang sama di antara 5 besar berangan-angan ingin menjadi pembuat film. Nam...