.𖤘˚06

11 3 0
                                    

Nata menatap soal ulangan harian yang ada di mejanya. Ia sama sekali tidak ingat bahwa hari ini akan diadakan ulangan harian mata pelajaran sejarah Indonesia. Nata dibuat bungkam oleh 10 soal yang ada di papan tulis. Matanya membeku menatap kertas dan papan tulis secara bergantian. Ia tidak mengingat materi apa-apa di kepalanya selain lomba film yang diadakan oleh Danu.

Nata menoleh pada Isha, gadis itu sudah menyelesaikan setengah soal dengan lancar. Menatap itu, Nata jadi ebrdecak kesal dan menyenderkan tubuhnya di kursi. Ia menatap sosok pengajar yang sudah memperhatikannya dengan tatapan tajam. Nata kemali menunduk dan menatap kertasnya yang masih kosong.

Duh, kampret.

Jam istirahat tiba setelah Nata hanya berhasil menjawab 5 soal ulangan dengan seadanya atau dengan akal logikanya yang entah benar atau tidak. Ia menatap papan tulis yang sedang dihapus tulisannya dengan tatapan kosong. Seolah jiwanya telah dihisap untuk ulangan harian sejarah tersebut.

Melihat sahabatnya yang begitu Isha hanya bisa mendesah panjang dan menepuk pundaknya. "Tenang, 50 juga nilai."

"Jangan gitu, lah!" Nata menepis pelan tangan gadis itu, membuat Isha tertawa kecil.

Gadis itu lantas meletakkan minuman bersoda di atas meja Nata dan tersenyum tipis. "Udah, santai aja."

Nata menghela napas panjang setelah mendapat bujukan minuman favoritnya. Ia kembali merilekskan tubuhnya dan menyenderkannya pada kursi. Ia tetap menatap papan tulis dengan tatapan kosong, seperti orang yang pertama kali mengikuti ujian dan terlalu memikirkannya.

"Btw."

Nata menoleh, menunggu Isha untuk melanjutkan kalimatnya yang bahkan baru dikeluarkan dalam 1 kata.

"Mas Danu itu kan sutradara. Berarti yang bakal dapat beasiswanya yang jadi sutradara atau gimana?"

Pemuda berambut keriting itu terdiam. Ia ingat sesuatu tentang itu pernah dijelaskan oleh Danu. Nata cepat-cepat menyalakan kembali handphone-nya dan membaca persyaratan yang ada. Ia lantas menghela napas lega dan menatap Isha kembali. "Katanya yang daftar. Jadi nama pendaftar nanti yang bakal dapat beasiswa. Karena bakal ngejelasin tentang filmnya dalam bentuk treatment. Semacamnya deh."

Isha ber-oh ria lalu mengangguk-angguk. Ia kembali meminum teh kotaknya. "Terus ibu bapak lo udah tau?"

"Tau apa?" Nata mengelus tengkuknya, merasa tau kemana percakapna sedang dibawa.

Gadis itu terdiam sejenak kemudian menghela napas panjang. "Tau lo mau ikut lomba ini atau mau kuliah film."

Nata mendesah pelan dan menggeleng. "Gak perlu tau kali. soalnya bakal ngira ngabisin duit. Kasian kalau sampai mereka kepikiran."

Isha berdiri dari tempatnya dan emremas kotak teh yang sudah kosong. "Ya udah kalau gitu." Lantas gadis itu berlalu keluar dari kelas.

***

Suasana di studio menggambarkan betapa padatnya rumah produksi menjelang pra-produksi film terbaru. Beberapa tim dari produksi sibuk bolak-balik mencetak kertas kontrak dan kembali masuk ked alma ruangan berkaca yang tertutup dengan stiker blur, sehingga tidak ada yang bisa melihat ada kejadian apa di dalam.

Beberapa anggota departemen tetap mulai sibuk mengumpulkan tim tambahan sehingga departemen produksi bisa memberikan kontrak kerja sebelum masa pra produksi dimulai. Layaknya studio yang baru saja selesai hiatus, mereka merasa disibukkan dengan agenda tiba-tiba.

"Produsernya bisa Mbak Hani. Gue udah kontak dia. Kalau Mba Via lagi gak bisa, lagi ngurusin film lain." Sosok pria berambut gondrong dengan kacamata hitamnya itu menguap panjang saat membaca beberapa kertas kontrak yang baru saja dicetak oleh departemen produksi. Tangannya lantas begerak, mencoret beberapa kata dan menggantinya.

Riak Mimpi Para Remaja [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang