Nata masih telentang di lantai dengan buku catatan di hadapannya. Pena masih ia pegang sembari menatap langit-langit kamar. Pikirannya pun sibuk mencari scenario-skenario kehidupan yang sudah ia jalani selama 16 tahun. Baik menyedihkan maupun menyenangkan. Sebenarnya menghabiskan waktu di Raun bersama tiga temannya justru yang paling menyenangkan. Entah mengapa, suasana ketika sudah berada di kelas 3 justru lebih menyenangkan daripada di tahun-tahun sebelumnya.
Nata menelungkupkan badannya, mulai menulis beberapa scenario yang menurutnya sebagai salah satu alur kehidupan yang berharga untuknya. Seperti ketika ia pertama kali mengikuti perlombaan dan kesulitan mendapatkan bantuan pendanaan, tetapi akhirnya dibantu oleh Isha. Atau ketika ia mendapatkan kabar bahwa dirinya tidak bisa berkuliah.
Nata terdiam setelah menulis ide cerita kedua. Ia dengan segera mencoretnya dan menghela napas lega. Ia kembali menyimpan catatannya itu dan keluar dari kamarnya. Tatapannya tertuju pada dapur yang sedang panas. Kakinya kemudian membawa dirinya pergi menuju dapur. Di sana ia bisa melihat ada beberapa kotak kue yang sudah siap untuk diantar.
"Mau diantar kemana bu?" tanya Nata pelan. Tangannya bergerak, mulai menghekter penutup kotak dan menutup kue-kue tersebut.
"Itu, apa ya namanya. Rangda Studio. Kayaknya studio foto gitu. Deket jalan sudirman seingat Ibu. Tolong kamu antar ke sana, ya? Biar ibu kirim alamat lengkapnya nanti." Ibunya itu tersenyum manis, menunjukkan kerutan di wajahnya yang semakin bertambah.
Nata mengangguk dan menuju kamar mandi untuk bersih-bersih dan bersiap. Ia bisa merasakan dapur yang turut terasa panas hawanya. Namun, rasa panas itu menghilang ketika air menyembur ke badannya. Ia mendesah panjang, merasakan kesegaran tiada batas.
Ia tidak pernah tahu ada studio foto bernama Rangda. Mungkin sebuah studio yang baru dibangun. Dirinya merasa sudah lama sekali tidak mengantar pesanan kue. Ibunya tidak menyebutkan siapa yang memesan kue, memungkinkan jika itu ada konsumen baru ibunya.
Nata buru-buru menyelesaikan mandinya dan mencari pakaian yang sangan ikonik dengan dirinya sendiri. kemeja hitam, celana jeans dan jaket hitam. Tidak lupa ia memasukkan dompet dan handphonenya. Setelah merapikan sedikit rambut keritingnya di depan kaca, Nata akhirnya keluar kembali dari kamar dan kembali menuju dapur.
"Mana yang mau diantar, Bu?" Nata sudah menatap ibunya yang baru saja selesai memasukkan 3 kotak kue ke dalam satu plasti berukuran sedang.
"Ini. Udah dibayar, ya." Ibunya itu kembali tersenyum, menyodorkan plastic berwarna biru itu ke Nata dan membiarkan anaknya mengangkutnya dengan santai.
"Atas nama siapa, Bu?"
Ibunya itu mengernyitkan dahinya kembali, membuat kerutan di wajah semakin terlihat. Sesekali beberapa helai rambutnya terjatuh akibat tertiup kipas angin. "Iska Riani."
Nata tertawa kecil. "Okey."
Setelah bersalaman layaknya anak baik-baik, Nata akhirnya berangkat menuju pengantaran kue yang berjarak 30 menit dari rumahnya. Nata menggantung plastic itu di stang kiri. Layaknya pembalap handal, ia bisa mengendarai motornya secara stabil.
Tidak ada hal serius yang ia pikirkan selama di perjalanan. Dirinya sendiri menikmati udara yang tidak terlalu panas itu menampar wajahnya. Atau kemacetan sekitar putar balik yang membuatnya harus menunggu selama lima menit atau mungkin lebih. Hingga akhirnya ia sampai di lokasi dengan waktu 10 menit lebih lambat daripada biasanya.
Nata membaca dengan jelas neon box yang tertempel di atas gedung berwarna hitam. Tertera dengan jelas nama Rangda Studio dengan ornamen-ornamen berbentuk clapper. Tak mengindahkan itu, Nata lantas masuk ke dalam gedung tersebut, menatap studio yang bahkan lebih tepat jika disebut sebagai kantor.
KAMU SEDANG MEMBACA
Riak Mimpi Para Remaja [Terbit]
Teen Fiction[Terbit di Stora Media. Bagian tidak lengkap. Tolong beli, penulis butuh makan.] "Lalu .... esensi menjadi remaja itu seperti apa?" Pranata, menduduki kelas 12 dengan ranking yang sama di antara 5 besar berangan-angan ingin menjadi pembuat film. Nam...