Isha mengatur ISO, Shutter Speed dan Diafragma pada kamera. Meskipun tatapannya sesekali tertuju pada Nata yang mengarahkan kedua temannya dalam segi posisi dan artistik. Gadis itu bahkan sudah hampir menyerah sebelumnya atas permintaan Nata dalam mengambil gambar video. Namun, dalam beberapa menit setelahnya, ia mendapatkan posisi yang pas aas pengambilan tersebut.
"Aman, Sha?"
Isha menoleh ke bawah, tepat ke posisi di mana ia sedang duduk di atas meja, mengatur kamera dan ketinggian yang tidak bisa ia pungkiri. Di bawah, Nata sudah tersenyum lebar, seperti tidak ada masalah yang menyerang mereka. Gadis itu hanya menghela napas panjang.
"Iya aman."
Nata tetap tersenyum. "Kalau gitu turun bentar. Gue mau direct lo."
Isha itu suka merasakan perbedaan. Bukan berniat sarkastik, tapi ia bisa merasakan jika ada yang berbeda dari sahabat-sahabatnya. Cara berbicara, cara bersikap, bahkan ketika ada perbedaan intonasi suara. Lalu saat ini, lagi-lagi ia merasakan perbedaan itu dari Nata. Suaranya lebih lembut daripada biasanya juga tatapan matanya yang lebih hangat.
Isha turun dari tempatnya setelah mematikan kamera, memastikan untuk menyimpan baterai sebelum syuting. Ia menatap Nata dengan tatap sayunya seperti biasa dan menunggu pemuda itu memberikan kejelasan.
Nata tetap tersenyum, selayaknya orang yang berterima kasih atas apa pun yang telah gadis itu lakukan untuknya. "Kayak yang lo baca di naskah, kita semua bakal in frame." Pemuda itu menghela napas panjang dan mengelus tengkuknya. "Ini mungkin bakal jadi film terjelek di dalam hidup lo, tapi jangan sampai jauhin gue ya."
Isha tertawa lepas mendengar itu. ia kira akan mendapatkan pengarahan atau hal yang lebih daripada kalimat merendah itu. "Menurut gue harusnya lo jangan kapok buat bikin film ya. karena ini baru permulaan dan lo punya potensi buat berkembang." Isha tersenyum lebar, terasa hangat bahkan juga .
Manis.
Nata berdehem pelan lalu kembali menatap naskah yang ada di tangannya. "Oke, ehm .... untuk in frame udah gue jelasin ke Sana sama Yohan dan tinggal lo aja. Urutannya itu Yohan, Sana, Isha, terus lo. Dalam script. Kita bakal buat ini kayak sesi wawancara, tapi versi santainya. Dengan kata lain, gue yang bakal masuk paling akhir setelah 2 dialog gue selesai."
Isha mengangguk dan kembali menatap naskah yang ada di genggamannya. "Baru setelah itu lanjut lo masuk ke dalam set?"
Nata tersenyum dan mengangguk. "Terus dialog bakal terus berlanjut sampai selesai."
"Kalau ada yang salah gimana?" tanya Sana sedikit khawatir jika dirinya akan mengacau.
"Gak apa-apa San. Gue mau kalian anggap kayak kita ngobrol biasanya. Enggak ada kamera di sini. Santai aja."
Keempat remaja itu saling tatap, berusaha mempercayai hal yang ingin dilakukan oleh Nata. Lagi pula ini kali pertama pemuda itu menjadi sutradara, pertama kali membuat film dan pertama kali membahas masalah yang mereka alami dan membicarakannya di depan kamera. Lalu .... Pertama kalinya ingin menyampaikan apa yang ingin mereka sampaikan. Akan ada banyak kesalahan yang terjadi dan meskipun begitu, Nata tidak mempedulikan itu semua. Bahkan untuk beasiswa itu ia tidak peduli lagi dan tidak ingin menjadikannya beban. Seperti biasa, jika itu adalah haknya, dia akan mendapatkannya, tetapi jika bukan, maka Tuhan sudah merencakan hal yang lebih baik untuknya.
"Yuk, kita mulai." Nata tersenyum lebar, sekali lagi memberikan perasaan tenang bahwa semuanya akan baik-baik saja.
"Bentar!" Sana mengeluarkan handphonenya dan membuka kamera dalam mode merekam. Ia mengulurkan tangannya, selayaknya ingin melakukan hipmi sebelum memulai syuting. Ia tersenyum, mengikuti cara Nata untuk membuat semuanya tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Riak Mimpi Para Remaja [Terbit]
Novela Juvenil[Terbit di Stora Media. Bagian tidak lengkap. Tolong beli, penulis butuh makan.] "Lalu .... esensi menjadi remaja itu seperti apa?" Pranata, menduduki kelas 12 dengan ranking yang sama di antara 5 besar berangan-angan ingin menjadi pembuat film. Nam...