Please say something, even though it is a lie

3.5K 372 52
                                    

Because of my days without you
I am secretly crying, what do I do?

*****

Ada yang berbeda dari Ataya.

Agam merasakannya sejak dua hari yang lalu saat Ataya mengeluh sakit. Saat itu, dirinya sengaja pulang lebih cepat dan mendapati Ataya yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan wajah basah dan melihat kearahnya dengan wajah datar.

"Kamu abis ngapain? Mas panggil ga jawab," Agam bertanya seraya mendekati Ataya yang kini duduk di pinggir kasur tanpa menjawab pertanyaannya, lalu Agam menyusul ikut duduk disebelah Ataya.

Dengan pelan Agam mengelus rambut Ataya, "Gimana keadaan kamu? Udah baikan? Apanya yang sakit?" Lalu bertanya dengan lembut, Ataya menjauhkan dirinya sambil melepas tangan Agam yang bartender di bahunya.

"Aku gapapa, Mas. Tadi udah minum obat, ini mau lanjut istirahat soalnya kepalaku pusing banget." Ataya menjawab pelan sambil menyiapkan dirinya untuk rebahan kembali ke kasur,

Agam menatap Ataya heran karna istrinya itu seakan sedang menghindari dirinya, namun Ia tidak mau bertanya lebih lanjut mengenai sikap Ataya karna mungkin memang efek sakitnya Ataya yang sedang tidak bertenaga untuk menanggapinya.

"Iyaudah, kamu istirahat dulu aja. Mas mandi abis itu siapin makan malam buat kamu minum obat nanti," Agam bangkit, melirik Ataya yang kini sudah merebahkan tubuhnya menyamping, membelakangi dirinya.

Dielusnya kepala Ataya dengan lembut seraya mengecup pelipis istrinya itu yang kini memejamkan matanya.

"Cepet sembuh, sayang."

Ataya membuka matanya pelan saat Agam keluar dari kamar. Tidak kuat menahan sesak hingga air mata mengalir di kedua matanya yang kini terpejam. Fakta bahwa mungkin Agam hanya pura-pura mencintainya dan perlakuan pria itu terhadapnya membuatnya berada diambang kebimbangan. Mungkin jika Agam bersikap seperti ini padanya dari awal, Ataya akan mempercayainya sepenuh hati, tapi kenyataan bahwa sedari awal Agam seperti enggan menerimanya, lalu perlakuan padanya akhir-akhir ini dan sesuatu yang Ia temukan soal Agam membuatnya kini tidak memercayai laki-laki itu meskipun Ia adalah suaminya. Penyesalan yang Ia rasakan karna sudah memberikan kesempatan pada Agam kini mendominasi. Seharusnya Ia tidak memberikan kesempatan itu, seharusnya memang dari awal dirinya dan Agam tidak seperti ini, dan masih banyak perandaian didalam benaknya karna kenyataan bodoh itu. Dari awal Ia memang tidak pernah ada dalam rencana hidup Agam, dan kehadiran dirinya hanya akan membuat hidup Agam semakin berantakan apalagi kenyataan bahwa kini Ia mengandung anaknya. Seharusnya Ataya menyadari itu dari awal, sehingga hal ini tidak akan terjadi, tapi kenapa Ia buta?

Kenapa Ia bisa memaklumi segala sikap Agam dulu?

Kenapa Ia masih tetap mencintai laki-laki itu padahal Agam sendiri tidak pernah melihatnya?

Kenapa Ia tidak pernah menyadari bahwa dari awal memang bukan dirinya yang Agam mau?

Kenapa dia harus memaksakan diri agar dapat diterima oleh Agam?

Ataya seperti baru saja tertampar oleh kenyataan, Ia seringkali mengingatkan dirinya untuk tidak memercayai siapapun justru kini tertipu oleh ekspektasinya sendiri bahwa Agam dapat berubah, bahwa suaminya itu bisa membalas perasaan dan mencintainya. Ekspektasi yang bahkan menghancurkan dirinya. Ataya membencinya, bukan hanya kepada realita yang menerpa hidupnya saat ini, tapi kepada dirinya sendiri, juga kepada Agam, suaminya. Ia tidak bisa lagi berada di tempat dimana Agam slalu ada dipandangannya bahkan bersikap seolah laki-laki itu mencintainya padahal kenyataannya tidak. Ia tidak bisa lagi mentoleransi kebodohan dirinya yang mengharapkan cinta Agam seperti dulu. Ia tidak bisa lagi ada di posisi seperti ini, sudah cukup pengorbanannya selama ini, untuk Dara dan untuk pernikahannya dengan Agam. Ia rasa sudah ada diambang batas kesabarannya.

ᴅʀᴀᴡ ᴀ ʟᴏᴠᴇ | JaeroséTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang