If I was by your side, no matter what the task may be
I feel as if I can do it. I get that feeling.***
Ataya kembali bangun dengan perasaan hampa, dilihatnya ke penjuru ruangan. Kosong. Tidak ada kehidupan sama sekali. Ataya mengecek jam di dinding, pukul 6.45 pagi. Seharusnya Agam sudah berangkat dari tadi mengingat kantornya yang lumayan jauh dari apartement dan jam masuk kantornya pukul 07.30 pagi.
Ataya berjalan keluar kamarnya menuju sofa depan televisi, mendudukan dirinya seraya menyalakan televisi. Sebelum menikah, Ataya memutuskan untuk resign dari pekerjaannya sebagai Accounting Officer disalah satu perusahaan asuransi milik pemerintah di Jakarta. Sebagai bentuk pengabdiannya terhadap suami kata Mama, supaya Ataya lebih focus mengurus suami dan keluarganya di rumah. Toh, penghasilan Agam juga sudah lebih dari cukup untuk membiayai keluarga Mereka yang berprofesi sebagai Bussiness Analyst disebuah Bank Pemerintah.
Agam memang tidak meminta Ataya untuk tetap bekerja ataupun resign, Dia menyerahkan semua keputusan kepada Ataya sendiri. Melihat bagaimana situasi keadaan rumah tangga Mereka saat ini, agaknya Ataya menyesal karna sudah memutuskan untuk resign dari kerjaannya. Dia jadi tidak punya pekerjaan yang bisa menghabiskan waktu di apartement sendiri selain membaca buku dan beres-beres. Mengurus suami? Agam saja tidak pernah melibatkan dirinya sama sekali, jadi siapa yang mesti Ataya urus?
Agam ini orangnya tertutup dan pendiam sekali, kecuali dengan Dara setaunya, laki-laki itu bisa bercerita banyak dan tertawa lepas setiap kali Ataya melihatnya bersama dengan mendiang kakaknya itu. Tapi sekarang, Ataya tidak pernah melihat senyuman dibibir laki-laki itu, bahkan Dia semakin menutup dirinya. Ataya tau, kehilangan sosok orang yang dicintainya pasti memberikan luka yang amat besar, apalagi sudah beda alam begini. Kalau sedang rindu, raganya tidak bisa kita lihat dan kita peluk lagi, lalu kepada siapa rindu nya akan berlabuh?
Ataya juga sering merindukan kakaknya itu, kalau sudah begitu, Ataya Cuma bisa nangis sendiri di kamar, menikmati kerinduan terhadap kakak satu-satunya itu dan juga memikirkan nasib kehidupan rumah tangga Mereka. Ataya harus bagaimana? Agam seolah tidak bisa di gapai bahkan didepan matanya sendiri, laki-laki itu terlalu jauh untuk Ataya.
"Ka Dara... Taya gatau harus gimana lagi, harusnya Taya ga ngikutin kemauan kakak ya, kalau gini akhirnya," Taya—panggilannya, menunduk sedih, dan tak terasa air matanya menetes keatas pahanya.
Suara pintu terbuka mengagetkan Ataya, dilihatnya Agam keluar dari kamarnya dengan penampilan kusut, rambut yang berantakan, wajah pucat dan cara jalannya pun seperti orang linglung.
"Mas Agam ga kerja?" Ataya bertanya dengan pelan,
Agam menoleh kearahnya dan menggeleng, "Kenapa?" Ataya menghampirinya saat dilihat Agam yang hampir terjatuh saat berjalan menuju dapur.
"Gapapa," Agam memegang kepalanya yang dirasanya pusing sekali, Ataya yang melihatnya langsung meraih pundaknya dan menuntunnya untuk duduk di sofa.
"Badan Mas panas banget. Kita ke dokter ya, Mas?" Ataya khawatir sambil menempelkan tangannya di kening Agam, memeriksa suhu tubuh lelaki itu.
"Gapapa, Ta. Cuma pusing biasa," Agam berkata lemah, kepalanya ia sandarkan ke kepala sofa sambil memejamkan matanya.
Ataya berinisiatif mengambil handuk kecil dan air hangat di baskom, lalu menempelkan handuk tersebut ke kening Agam setelah dicelupkan ke dalam air. Setelah itu, Ia sedikit berlari kearah dapur untuk menyiapkan bubur. Ataya terlihat mondar-mandir masuk ke dalam kamarnya dan ke dapur. Agam yang mendengar suara langkah gadis itu membuka matanya, menyadari ada sesuatu yang dingin di keningnya dan juga Ataya yang sedang berjalan kearahnya membawa semangkuk bubur dan juga obat di nampan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ᴅʀᴀᴡ ᴀ ʟᴏᴠᴇ | Jaerosé
RomanceAtaya tidak pernah menyangka bahwa orang yang dinikahinya adalah calon kakak iparnya sendiri, kekasih dari kakaknya Dara, yang meninggal seminggu sebelum pernikahan keduanya terlaksana. Yang Ataya tidak sangka lagi, kenapa Agam mau menerima pernikah...